Saya tiba di kantin kampus pukul 10 pagi,
suasananya masih tak begitu ramai.
Begitu masuk,
saya disambut aroma kopi panas berpadu dengan asap rokok,
hhmmm segera saya berjalan ke arah rak makanan.
Nasi goreng, 2 potong chicken nugget, dan 2 potong sosis goreng,
serta segelas teh manis panas menjadi menu sarapan
saya pagi ini.
Tempat duduk di dekat kasir, yang menghadap ke lapangan
sepak bola adalah tempat yang saya pilih.
Sembari menikmati makanan dengan hati yang sedikit khawatir,
karena siapa tahu saya akan bertemu dosen, atau kawan lama,
atau bahkan adik angkatan.
Satu hal yang saya takutkan adalah bertemu orang-orang,
yang bisa saja mereka akan menanyakan beberapa hal yang pribadi,
seperti misalnya...
kapan lulus?
lho, masih disini aja?
udah kerja dimana?
masih ngekost di tempat lama?
Aduh! pertanyaan-pertanyaan diatas nampaknya mudah untuk dijawab,
namun tidak bagi saya.
Saya tidak suka orang lain bertanya atau mencampuri urusan pribadi,
lebih takut lagi,
kalau-kalau saya menjadi topik perbincangan.
Hhhmmm nasi goreng di piring masih setengah,
saya masih terus menikmati sembari melihat-lihat
pemandangan sekitar.
Di sebelah kanan meja,
ada tiga orang cowok, memakai kaos berkerah,
warna cerah, dipadu dengan celana jeans, dan sepatu snikers.
Tidak tampak piring makanan di meja mereka,
hanya ada beberapa cangkir kopi hitam, dan aneka macam gorengan,
dan dengan posisi duduk yang santai,
mereka mulai menghisap rokok, minum kopi,
dan mengobrol.
Saya tak kenal siapa mereka, namun sempat tertangkap mata
beberapa kali mereka melemparkan pandangan ke arah saya,
apa cara berpakaian saya aneh?
apa ada sisa butiran nasi di pinggir mulut?
apa saya lupa menutup restleting celana?
apa potongan rambut saya yang aneh?
apa mungkin saya mengoles gel rambut terlalu banyak?
ah, ada apa ya?
Sepuluh menit kemudian,
datanglah 2 cewek, dan 2 cowok yang bergabung
dengan trio kaos berkerah.
Mereka bercanda dan tertawa sangat keras,
semula saya menahan diri untuk tidak
melempar pandangan ke arah mereka namun lama-lama
saya jadi sangat penasaran.
Oh ternyata mereka bermain kartu,
jadi sekarang ada 5 cowok dan 2 cewek,
semuanya menghisap rokok dengan santainya,
seolah-olah hidup mereka begitu indah dan tak ada beban.
Terkadang,
saya iri melihat orang yang bisa tertawa lepas, tanpa rasa cemas,
saya berpikir...
mungkin kuliah mereka beres, keadaan financial baik,
semuanya baik-baik saja dan tidak ada masalah.
Dua cewek di meja sebelah kanan,
menurut saya tak begitu menarik,
mereka berkulit gelap namun rambutnya diwarnai,
uhm...itu perpaduan yang kurang pas.
Rambut berwarna-warni paling cocok dimiliki
oleh orang-orang berkulit putih,
belum lagi mereka merokok, penilaian saya tentang
cewek yang berani merokok di tempat umum
adalah cewek yang tidak beretika.
Saya memperlambat ritme menyuapkan sendok demi sendok
ke dalam mulut,
sembari masih terus mengamati orang-orang di sekitar,
mumpung tidak ada yang kenal,
jadi saya agak tenang dan bisa duduk lebih lama lagi.
Saya tak tahu harus bercerita darimana,
mengapa terdampar di kota kecil seperti Salatiga.
Satu sama lain cenderung saling tahu, saling kenal,
dan saling ingin tahu,
hal itu sangat menyiksa batin.
Sudah 10 tahun lebih di universitas ini,
namun saya belum juga berhasil memperoleh
gelar sarjana.
Dosen pembimbing sangat menyulitkan saya,
dengan idealisme yang membuat
kuliah juga skripsi terhambat.
Sudah beberapa kali saya ingin pindah universitas,
pindah kota tempat tinggal,
namun orang tua saya masih mendesak untuk
meneruskan hingga selesai.
Ah serba salah jadinya,
mau tetap di Salatiga namun saya sudah malu,
malu pada bapak kost yang seringkali tanya,
mengapa saya tak kunjung lulus kuliah.
Malu pada teman-teman satu angkatan,
yang sudah bekerja diluar kota, menikah,
dan punya anak.
Malu pada adik-adik angkatan setiap kali
mereka bertanya sebenarnya apa masalah saya,
sehingga 10 tahun pun belum cukup untuk
menyelesaikan kuliah.
Saya malu pada ibu kantin, ibu penjual kue, ibu warung makan
langganan saya,
setiap kali mereka bertanya,
kapan lulus?
skripsinya susah ya?
mereka bertanya seolah tak berpikir bagaimana
hancurnya perasaan saya.
Sebenarnya jurusan elektro bukanlah
jurusan yang saya inginkan,
saya ingin masuk kedokteran,
namun pada saat itu orang tua belum mempunyai
dana yang cukup.
Walaupun kuliah di jurusan elektro,
tapi hati saya masih merindukan kedokteran.
Kemudian mereka sedikit mendesak agar saya masuk jurusan
elektro,
karena mereka beranggapan jurusan ini mempunyai
jenjang karir yang cukup bagus untuk kedepannya.
Alhasil saya hanya bisa menuruti apa kata mereka,
namun hati nurani masih menolak,
apa yang saya jalani sekarang bukanlah keinginan
pribadi melainkan karena desakan orang tua.
Kemana saya pergi, beban tersebut selalu mengikuti,
saat berada di kost,
saya banyak menghindar bertemu bapak dan ibu
pengurus kost untuk menghindari
pertanyaan yang membuat saya marah.
Saat di kampus,
saya sudah tak punya teman satu angkatan, mereka sudah lulus
kuliah bertahun-tahun yang lalu,
saya menghindar untuk bertemu dosen pembimbing,
bertemu adik angkatan, sampai tukang jual jajanan,
karena tidak tahan dengan pandangan mata mereka
yang terkesan meremehkan saya.
Saya merasa...
mereka meragukan kecerdasan juga kemampuan akademis,
mereka bertanya-tanya apa saya berasal dari keluarga berada
hingga kuliah 10 tahun pun masih berlanjut tanpa
putus di tengah jalan.
mereka menganggap saya mungkin penyuka sejenis
karena gaya berpakaian yang lebih rapi
dibanding mahasiswa elektro yang lain,
dan entah apalagi yang mereka pikirkan
tentang saya?!
Bila saya harus berangkat ke kampus untuk
konsultasi dengan pembimbing,
sepanjang jalan dari kost ke kampus,
saya lebih banyak menyibukkan diri,
melihat dan menekan tombol handphone,
walaupun sedang tak ingin.
Hal itu saya lakukan untuk menghindari
dari menyapa dan disapa,
saya takut menyapa dan disapa karena
bisa saja mereka bertanya mengenai kehidupan pribadi.
Daripada harus bersandiwara, berpura-pura baik,
tapi sebenarnya saya tak ingin bertemu dan menjawab pertanyaan mereka,
lebih baik saya jalan kaki dengan posisi
kepala menunduk dan selalu memegang handphone.
Itulah hal yang paling aman menurut saya
untuk dilakukan sepanjang berjalan kemanapun,
karena pada dasarnya saya selalu was-was akan
pertanyaan yang diajukan kepada saya.
Dengan berusaha cukup keras,
saya menyelesaikan kuliah ini.
Disisi lain saya merasa,
para dosen pembimbing kurang membantu,
dalam berbagai hal,
mereka justru mempersulit, sehingga posisi
saya semakin terhimpit.
Untuk menghibur keadaan,
saya membayar lebih demi menjadi anggota
di sebuah hotel untuk club olahraga,
lebih tepatnya,
saya cukup berani mengeluarkan banyak uang,
untuk menjadi member fitnes dan berenang.
Saya beranggapan,
mereka-mereka yang berani membayar lebih
bukanlah orang yang sembarangan, orang kampungan,
seperti bapak kost dan teman-teman yang sering
mencampuri urusan.
Maka dari itu setiap harinya paling tidak
saya habiskan 6 sampai 7 jam
untuk berada di hotel.
Dengan begitu saya tak terlalu seting nampak
di kost dan di kampus,
teman-teman dan bapak kost takkan bisa
menebak kemana saya pergi.
Di dalam hotel, saya mendapatkan kenyamanan,
bertemu dengan orang-orang baru,
dan saya bisa mengenalkan diri
dengan identitas palsu.
Skripsi yang menjadi mimpi buruk pun
tak kunjung selesai,
malah saya harus mengulang beberapa mata kuliah
bersama mahasiswa baru karena peraturan universitas.
Beberapa kali saya ingin bunuh diri,
berpikiran untuk menenggak racun serangga,
atau bahan kimia yang mematikan,
namun selalu gagal di tengah jalan.
Ya ampun...
untuk apa terus hidup kalau
posisi saya semakin dipersulit.
Jangankan untuk ke kampus dan ke kost,
ke tempat ibadah pun saya merasa tidak aman.
Bisa saja beberapa orang yang mengenal saya,
berada dibdalam satu tempat ibadah,
pada jam ibadah yang sama pula,
wah...
jujur saja, sungguh tak nyaman dengan hal itu,
saya takut kalau-kalau saja saya dijadikan
bahan pembicaraan.
Alhasil saya sudah tidak pernah beribadah lagi,
lebih baik pergi ke tempat ibadah yang baru,
yang sekiranya banyak orang-orang baru,
yang tak mengenal saya.
Saya tak habis pikir,
bagaimana dengan mudahnya mereka ingin tahu
urusan pribadi saya,
bagaimana mereka bisa begitu mencurigai
bahwa saya penyuka sesama jenis.
Rasanya ingin mati saja,
tapi saya paling tak tahan dengan rasa sakit.
Dalam hidup,
sudah berulang kali saya sakit hati, disakiti,
dan dibuat sakit
oleh perkataan maupun tindakan orang lain.
Samapi kapan saya harus menanggung beban ini,
sampai kapan lagi harus berpura-pura kaya,
agar saya diterima oleh beberapa orang tertentu
untuk menjadi temannya.
Saya lelah...
#NB
Tulisan ini terinspirasi dari kisah hidup seorang teman,
saya belum tahu harus berbuat apa, namun saya
sangat ingin menunjukkan padanya,
bahwa hidup itu indah, hidup itu anugerah, jadi nikmatilah!
Monday, June 9, 2014
Wednesday, June 4, 2014
( andai ) Saya punya toko buku.
Sedari dulu saya suka pergi ke toko buku,
walaupun tak suka membaca dan membeli buku.
Aneka permainan menarik disediakan disana,
ada penjual makanan dan minuman juga.
Masih segar dalam ingatan,
saudara sepupu saya sering mengajak ke toko buku.
Yang langsung saya tuju adalah sebuah mesin,
seukuran kulkas pintu satu, warnanya merah,
dan di dalamnya terdapat ratusan atau mungkin ribuan kartu
bergambar dragon ball, sailormoon, and card captor sakura.
Suasana toko buku tersebut,
selalu ramai apalagi di akhir minggu,
banyak anak-anak kecil membeli mainan, dan berkumpul
menjadi satu bersama saya di depan mesin kartu tersebut.
Toko buku itu terdiri dari 3 lantai,
lantai pertama untuk permainan, pernak-pernik, alat tulis,
dan lain sebagainya.
Lantai kedua khusus untuk buku-buku dengan bermacam-macam genre.
mulai dari novel hingga buku tentang sejarah politik.
Dan kemungkinan besar lantai tiga adalah untuk kantor,
dan gudang penyimpanan.
Saya paling suka berada di lantai 1,
karena tempat itu sangat sesuai dengan harapan saat itu,
tempatnya luas, dilengkapi pendingin ruangan,
berbau harum, dan terdapat banyak macam mainan yang dijual,
ah surga!
Walaupun pada masa itu saya belum paham tentang uang,
berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli koin,
guna menghidupkan mesin berwarna merah tersebut.
Kedua kakak sepupu saya dengan senang hati mengeluarkan uang untuk
membeli koin,
dan dengan sabar mereka menemani saya bermain sampai puas.
Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di toko buku itu,
saya sudah tahu bahwa rasa suka ini akan bertahan lama,
dan memang benar,
sampai sekarang toko buku...
memiliki daya tarik tersendiri bagi saya pribadi.
Kalau dulu saya suka berpetualang di bagian mainan,
dan alat-alat tulis,
sekarang...saya lebih suka berlama-lama di bagian buku.
Apalagi kalau koleksi bukunya lengkap,
dalam artian tersedia bermacam-macam genre,
dan buku-buku lama juga masih tersedia.
Di blog sebelumnya, saya sudah sempat menulis tentang
membaca,
bagaimana awalnya saya suka membaca, dan
mengapa membaca begitu penting bagi saya.
Meskipun tidak sedikit uang yang harus dikeluarkanu
untuk membeli buku,
bagaimanapun juga saya akan tetap membelinya.
Salah satu genre buku yang saya suka adalah novel percintaan,
ada banyak macam novel...novel fiksi, kisah nyata, filosofi,
pembunuhan, politik sampai horor.
Diantara sekian banyak jenis novel,
saya belum atau sepertinya tidak akan membaca yang horor.
Novel percintaan bukan hanya menyajikan cerita-cerita sedih,
galau, ataupun cengeng,
tergantung pada gaya kepenulisan sang penulis,
maka dari itu saya sangat selektif dalam memilih sebuah novel.
Mungkin ada dari anda yang beranggapan,
ah dimana-mana novel percintaan ya sama saja,
intinya sama, ceritanya kurang lebih mirip
drama atau sinetron.
Eittsss...tunggu dulu, memang ada banyak yang seperti itu,
namun banyak juga yang sama sekali beda.
Saya justru mendapat banyak pengetahuan dari novel percintaan,
dan segala macam masalah yang dituliskan disana...
membuka mata saya lebar-lebar,
selama kita masih hidup di dunia,
segala jenis masalah memungkinkan untuk terjadi.
Kembali lagi ke toko buku,
saya juga suka saat berada di toko buku yang mempunyai
ukuran lorong yang lebar,
memudahkan untuk jongkok, berlutut, memilih buku-buku
yang ada di bawah.
Sejauh pengamatan saya,
belum semua toko buku memiliki fasilitas seperti itu,
jadi terkesan sempit, penataan bukunya tak beraturan,
bukunya sangat berdebu,
sehingga sangat tidak bersahabat bagi saya yang mempunyai
alergi debu.
Keteraturan penataan sesuai genre buku memang harus dipelajari,
dan membutuhkan waktu yang lama,
saya bisa mengerti akan hal itu,
namun justru seringkali hal itu menyesatkan,
saat sebuah toko menaruh di rak genre yang kurang tepat,
pembeli akan sangat sulit untuk menemukannya,
ujung-ujungnya pembeli batal membeli
buku yang dia inginkan atau harus membuat pusing
karyawan toko buku yang pengetahuannya tentang buku sendiri
sangatlah minim.
Belum lagi kalau melihat beberapa karyawan yang sengaja
dengan enggan melayani pembeli,
sorot mata tak bersemangat, langkah kaki berat,
ah mau jadi apa masa depan negara ini kalau
sumber pengetahuan dilayani oleh para pemalas.
Saya berpikir bahwa toko buku adalah salah satu
sumber pengetahuan,
disana terdapat berbagai macam pengetahuan tentang apa saja
yang saya inginkan.
Bagi anda yang kurang puas dengan apa yang didapatkan
di sekolah, di universitas sampai di tempat kerja,
coba cari di toko buku,
semoga anda bisa menemukan keajaiban,
seperti saya menemukannya disana juga.
Selain keajaiban, saya juga sering mengalami kekecewaan,
entah karena cara bersikap para karyawan,
kurang berfungsinya pendingin ruangan,
sampai kurang luasnya lorong per lorong.
Sesuai dengan judul blog kali ini,
andai saya punya toko buku,
hhhmmmm membayangkannya saja membuat
kegembiraan saya buncah,
seperti baru mendapat kiriman uang ratusan juta secara tiba-tiba.
Bangunannya tak harus luas,
yang penting bersih, dan penataannya harus teratur,
saat toko dalam kondisi ramai,
sebaiknya sebagian karyawan ada yang melayani pembeli,
dan menata ulang tatanan buku yang sudah berantakan.
Mungkin hal ini sangat sepele atau bahkan belum pernah terpikirkan,
namun menjaga susunan buku tetap rapi,
bisa mengundang pembeli untuk lebih betah dan pada akhirnya
membeli sesuatu.
Bayangkan saja saat berada di toko buku dengan tatanan yang
sudah tak karuan dan tetap dibiarkan,
tentu saja hal tersebut akan berdampak langsung
pada minat para pembeli.
Yang saya lihat selama ini adalah,
para karyawan enggan untuk merapikannya kembali,
entah karena tidak ada instruksi atau memang karena malas.
Buku yang masuk dalam kategori promo, alias discount juga
tak kalah penting.
Yang banyak terjadi selama ini adalah,
lorong untuk buku promo berantakan, berdebu,
biarpun setengah harga buku tetaplah buku,
manfaat dari sebuah buku tak bisa dilihat dari harganya yang
mahal atau murah.
Belum lagi pandangan mata meremehkan yang dilemparkan
oleh para karyawan tatkala saya masuk di lorong buku discount.
Jika saya yang mempunyai toko buku,
saya akan tetap berusaha fokus pada goal akhir,
potongan harga yang diberikan agar stocknya habis bersih,
maka dari itu saya akan menaikkan daya jual dengan merapikan dan
membersihkannya,
dan menasehati para karyawan agar tetap melayani dengan
sebaik-baiknya.
Selain penataan yang diusahakan selalu rapi,
fungsi dari pendingin ruangan juga sangat menjadi perhatian.
Saya pernah merasakan bagaimana tersiksanya
berada di sebuah toko buku,
koleksinya bisa dibilang lengkap,
harganya murah, alat-alat tulisnya pun punya kualitas bagus,
namun penataannya amburadul dan tidak dilengkapi
pendingin ruangan.
Alhasil saya belanja buku seperti ibu-ibu yang berebut
belanja sembako murah,
saya tak sempat mengamati buku mana yang bagus, siapa yang menerbitkan,
saya hanya melirik sebentar covernya,
kalau terlihat meyakinkan akan saya beli.
Lebih parah lagi jikalau toko buku tanpa pendingin ruangan tersebut,
berada di kota yang cuacanya panas,
ah saya tak akan bisa bertahan lebih dari 20 menit.
Maka dari itu di musim kemarau maupun musim hujan,
fungsi pendingin ruangan harus memndapat perhatian
dan perawatan yang bagus,
tak baik juga kalau pendingin ruangan tak pernah dibersihkan,
karena tak semua pengunjung toko buku,
tahan dengan debu.
Andai saya punya toko buku,
fungsi pendingin ruangan akan sangat saya perhatikan,
perawatan juga dilakukan dengan rutin,
tak hanya kejar setoran tapi harus mengelola bagaimana
merawatnya agar pembeli semakin kerasan.
Kalau perlu dalam dua minggu,
ada satu hari khusus untuk melakukan perawatan dan pembersihan
dengan para karyawan dengan konsekuensi
bahwa hari itu tak ada pemasukan.
Tiga hal yang sudah saya tulis diatas kelihatannya
tak terlalu penting,
namun selama ini 3 hal tersebut belum ada yang
melakukannya dengan berkelanjutan.
Ditata ulang hanya untuk saat-saat tertentu saja,
atau hanya saat diawasi oleh bos,
saat tidak ada bos para karyawan akan kembali pada kebiasaan lama.
Saya memandang,
bahwa para pengunjung dan pembeli di toko buku adalah
sekelompok orang yang haus akan pengetahuan,
mereka tak cukup puas dengan apa yang sudah didapatkan,
maka dari itu...
mereka rela mengeluarkan uang lebih
untuk membeli pengetahuan.
Sudah semestinya,
saya sebagai pemilik buku akan menyambut dan melayani mereka
dengan sepenuh hati,
rasanya terharu bila ada orang yang masih mau berusaha
mencari pengetahuan dan mengembangkan bakat.
Saat ini saya belum punya modal uang untuk membangun toko buku,
namun saya mempunyai modal kemampuan dan komitmen
untuk melayani dengan lebih baik lagi.
Andai saya punya toko buku yang luas,
saya akan sediakan satu ruangan serbaguna,
bisa dijadikan ruangan untuk penulis yang akan mengadakan
meet and greet bersama para pembacanya,
sekaligus saya menyediakan fasilitas MC, atau mereka bisa membawa
MC favorit sendiri.
Saya ingin mengadakan lomba baca puisi, lomba baca dongeng,
baca undang-undang dasar 1945, lomba mewarnai, lomba melukis tembok atau
kanvas.
Untuk hadiahnya akan disediakan oleh para sponsor,
yang terketuk pintu hatinya, mau bekerja sama atau bahkan
menyumbangkan sedikit keuntungan.
Andai saya punya toko buku,
saya akan semakin sering mengadakan discount untuk
semua macam genre buku,
karena yang saya temui,
buku yang didiscount adalah buku yang tak laku dipasaran,
kalau saya akan berlaku sebaliknya,
pada hari-hari tertentu,
saya akan memberi discount pada buku new release dan best seller.
Kurangnya minat para pembeli akan buku discount,
adalah karena kualitas buku itu sendiri.
Oh ya, andai saya punya toko buku,
saya akan berusaha mencoba memiliki satu team
yang gemar membaca buku
( tentu saja saya termasik didalamnya )
untuk menyortir buku mana saja yang akan masuk ke toko
dan buku mana yang sebaiknya tidak dijual di toko saya.
Sejauh pengamatan saya,
di pusat-pusat perbelanjaan memang toko buku
jauh lebih sepi dibandingkan dengan
outlet baju, makanan, asesoris,
maka dari itu saya punya kerinduan untuk mengubah pemikiran
banyak orang,
ternyata hang out di toko buku itu asyik juga!
Andai saya punya toko buku,
saya takkan berada di belakang meja kantor,
setiap harinya saya akan terjun ke lapangan seperti karyawan lainnya,
saya akan berbaur dengan para pembeli,
memberi informasi tentang buku bacaan yang saya tahu,
ataupun sekedar ngobrol dan menambah relasi.
Saya akan sangat berusaha menganggap para pembeli
bukan sekedar pembeli,
namun menempatkan posisi saya pada mereka,
sama-sama mencari pengetahuan,
dan rela membayar lebih untuk mendapatkan itu.
Sekali lagi,
saya belum punya modal uang sebanyak itu untuk
mewujudkan impian ini,
namun saya akan tetap bermimpi, dan memperbaiki konsep
yang saya miliki,
juga yang tak kalah penting adalah...
memperbaharui komitmen untuk melayani.
Kedepannya bila memang benar,
saya memiliki sebuah toko buku,
saya yakin akan srmakin banyak orang yang ingin membaca buku,
dengan begitu bangsa kita juga akan maju :)
Semangat!!
walaupun tak suka membaca dan membeli buku.
Aneka permainan menarik disediakan disana,
ada penjual makanan dan minuman juga.
Masih segar dalam ingatan,
saudara sepupu saya sering mengajak ke toko buku.
Yang langsung saya tuju adalah sebuah mesin,
seukuran kulkas pintu satu, warnanya merah,
dan di dalamnya terdapat ratusan atau mungkin ribuan kartu
bergambar dragon ball, sailormoon, and card captor sakura.
Suasana toko buku tersebut,
selalu ramai apalagi di akhir minggu,
banyak anak-anak kecil membeli mainan, dan berkumpul
menjadi satu bersama saya di depan mesin kartu tersebut.
Toko buku itu terdiri dari 3 lantai,
lantai pertama untuk permainan, pernak-pernik, alat tulis,
dan lain sebagainya.
Lantai kedua khusus untuk buku-buku dengan bermacam-macam genre.
mulai dari novel hingga buku tentang sejarah politik.
Dan kemungkinan besar lantai tiga adalah untuk kantor,
dan gudang penyimpanan.
Saya paling suka berada di lantai 1,
karena tempat itu sangat sesuai dengan harapan saat itu,
tempatnya luas, dilengkapi pendingin ruangan,
berbau harum, dan terdapat banyak macam mainan yang dijual,
ah surga!
Walaupun pada masa itu saya belum paham tentang uang,
berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli koin,
guna menghidupkan mesin berwarna merah tersebut.
Kedua kakak sepupu saya dengan senang hati mengeluarkan uang untuk
membeli koin,
dan dengan sabar mereka menemani saya bermain sampai puas.
Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di toko buku itu,
saya sudah tahu bahwa rasa suka ini akan bertahan lama,
dan memang benar,
sampai sekarang toko buku...
memiliki daya tarik tersendiri bagi saya pribadi.
Kalau dulu saya suka berpetualang di bagian mainan,
dan alat-alat tulis,
sekarang...saya lebih suka berlama-lama di bagian buku.
Apalagi kalau koleksi bukunya lengkap,
dalam artian tersedia bermacam-macam genre,
dan buku-buku lama juga masih tersedia.
Di blog sebelumnya, saya sudah sempat menulis tentang
membaca,
bagaimana awalnya saya suka membaca, dan
mengapa membaca begitu penting bagi saya.
Meskipun tidak sedikit uang yang harus dikeluarkanu
untuk membeli buku,
bagaimanapun juga saya akan tetap membelinya.
Salah satu genre buku yang saya suka adalah novel percintaan,
ada banyak macam novel...novel fiksi, kisah nyata, filosofi,
pembunuhan, politik sampai horor.
Diantara sekian banyak jenis novel,
saya belum atau sepertinya tidak akan membaca yang horor.
Novel percintaan bukan hanya menyajikan cerita-cerita sedih,
galau, ataupun cengeng,
tergantung pada gaya kepenulisan sang penulis,
maka dari itu saya sangat selektif dalam memilih sebuah novel.
Mungkin ada dari anda yang beranggapan,
ah dimana-mana novel percintaan ya sama saja,
intinya sama, ceritanya kurang lebih mirip
drama atau sinetron.
Eittsss...tunggu dulu, memang ada banyak yang seperti itu,
namun banyak juga yang sama sekali beda.
Saya justru mendapat banyak pengetahuan dari novel percintaan,
dan segala macam masalah yang dituliskan disana...
membuka mata saya lebar-lebar,
selama kita masih hidup di dunia,
segala jenis masalah memungkinkan untuk terjadi.
Kembali lagi ke toko buku,
saya juga suka saat berada di toko buku yang mempunyai
ukuran lorong yang lebar,
memudahkan untuk jongkok, berlutut, memilih buku-buku
yang ada di bawah.
Sejauh pengamatan saya,
belum semua toko buku memiliki fasilitas seperti itu,
jadi terkesan sempit, penataan bukunya tak beraturan,
bukunya sangat berdebu,
sehingga sangat tidak bersahabat bagi saya yang mempunyai
alergi debu.
Keteraturan penataan sesuai genre buku memang harus dipelajari,
dan membutuhkan waktu yang lama,
saya bisa mengerti akan hal itu,
namun justru seringkali hal itu menyesatkan,
saat sebuah toko menaruh di rak genre yang kurang tepat,
pembeli akan sangat sulit untuk menemukannya,
ujung-ujungnya pembeli batal membeli
buku yang dia inginkan atau harus membuat pusing
karyawan toko buku yang pengetahuannya tentang buku sendiri
sangatlah minim.
Belum lagi kalau melihat beberapa karyawan yang sengaja
dengan enggan melayani pembeli,
sorot mata tak bersemangat, langkah kaki berat,
ah mau jadi apa masa depan negara ini kalau
sumber pengetahuan dilayani oleh para pemalas.
Saya berpikir bahwa toko buku adalah salah satu
sumber pengetahuan,
disana terdapat berbagai macam pengetahuan tentang apa saja
yang saya inginkan.
Bagi anda yang kurang puas dengan apa yang didapatkan
di sekolah, di universitas sampai di tempat kerja,
coba cari di toko buku,
semoga anda bisa menemukan keajaiban,
seperti saya menemukannya disana juga.
Selain keajaiban, saya juga sering mengalami kekecewaan,
entah karena cara bersikap para karyawan,
kurang berfungsinya pendingin ruangan,
sampai kurang luasnya lorong per lorong.
Sesuai dengan judul blog kali ini,
andai saya punya toko buku,
hhhmmmm membayangkannya saja membuat
kegembiraan saya buncah,
seperti baru mendapat kiriman uang ratusan juta secara tiba-tiba.
Bangunannya tak harus luas,
yang penting bersih, dan penataannya harus teratur,
saat toko dalam kondisi ramai,
sebaiknya sebagian karyawan ada yang melayani pembeli,
dan menata ulang tatanan buku yang sudah berantakan.
Mungkin hal ini sangat sepele atau bahkan belum pernah terpikirkan,
namun menjaga susunan buku tetap rapi,
bisa mengundang pembeli untuk lebih betah dan pada akhirnya
membeli sesuatu.
Bayangkan saja saat berada di toko buku dengan tatanan yang
sudah tak karuan dan tetap dibiarkan,
tentu saja hal tersebut akan berdampak langsung
pada minat para pembeli.
Yang saya lihat selama ini adalah,
para karyawan enggan untuk merapikannya kembali,
entah karena tidak ada instruksi atau memang karena malas.
Buku yang masuk dalam kategori promo, alias discount juga
tak kalah penting.
Yang banyak terjadi selama ini adalah,
lorong untuk buku promo berantakan, berdebu,
biarpun setengah harga buku tetaplah buku,
manfaat dari sebuah buku tak bisa dilihat dari harganya yang
mahal atau murah.
Belum lagi pandangan mata meremehkan yang dilemparkan
oleh para karyawan tatkala saya masuk di lorong buku discount.
Jika saya yang mempunyai toko buku,
saya akan tetap berusaha fokus pada goal akhir,
potongan harga yang diberikan agar stocknya habis bersih,
maka dari itu saya akan menaikkan daya jual dengan merapikan dan
membersihkannya,
dan menasehati para karyawan agar tetap melayani dengan
sebaik-baiknya.
Selain penataan yang diusahakan selalu rapi,
fungsi dari pendingin ruangan juga sangat menjadi perhatian.
Saya pernah merasakan bagaimana tersiksanya
berada di sebuah toko buku,
koleksinya bisa dibilang lengkap,
harganya murah, alat-alat tulisnya pun punya kualitas bagus,
namun penataannya amburadul dan tidak dilengkapi
pendingin ruangan.
Alhasil saya belanja buku seperti ibu-ibu yang berebut
belanja sembako murah,
saya tak sempat mengamati buku mana yang bagus, siapa yang menerbitkan,
saya hanya melirik sebentar covernya,
kalau terlihat meyakinkan akan saya beli.
Lebih parah lagi jikalau toko buku tanpa pendingin ruangan tersebut,
berada di kota yang cuacanya panas,
ah saya tak akan bisa bertahan lebih dari 20 menit.
Maka dari itu di musim kemarau maupun musim hujan,
fungsi pendingin ruangan harus memndapat perhatian
dan perawatan yang bagus,
tak baik juga kalau pendingin ruangan tak pernah dibersihkan,
karena tak semua pengunjung toko buku,
tahan dengan debu.
Andai saya punya toko buku,
fungsi pendingin ruangan akan sangat saya perhatikan,
perawatan juga dilakukan dengan rutin,
tak hanya kejar setoran tapi harus mengelola bagaimana
merawatnya agar pembeli semakin kerasan.
Kalau perlu dalam dua minggu,
ada satu hari khusus untuk melakukan perawatan dan pembersihan
dengan para karyawan dengan konsekuensi
bahwa hari itu tak ada pemasukan.
Tiga hal yang sudah saya tulis diatas kelihatannya
tak terlalu penting,
namun selama ini 3 hal tersebut belum ada yang
melakukannya dengan berkelanjutan.
Ditata ulang hanya untuk saat-saat tertentu saja,
atau hanya saat diawasi oleh bos,
saat tidak ada bos para karyawan akan kembali pada kebiasaan lama.
Saya memandang,
bahwa para pengunjung dan pembeli di toko buku adalah
sekelompok orang yang haus akan pengetahuan,
mereka tak cukup puas dengan apa yang sudah didapatkan,
maka dari itu...
mereka rela mengeluarkan uang lebih
untuk membeli pengetahuan.
Sudah semestinya,
saya sebagai pemilik buku akan menyambut dan melayani mereka
dengan sepenuh hati,
rasanya terharu bila ada orang yang masih mau berusaha
mencari pengetahuan dan mengembangkan bakat.
Saat ini saya belum punya modal uang untuk membangun toko buku,
namun saya mempunyai modal kemampuan dan komitmen
untuk melayani dengan lebih baik lagi.
Andai saya punya toko buku yang luas,
saya akan sediakan satu ruangan serbaguna,
bisa dijadikan ruangan untuk penulis yang akan mengadakan
meet and greet bersama para pembacanya,
sekaligus saya menyediakan fasilitas MC, atau mereka bisa membawa
MC favorit sendiri.
Saya ingin mengadakan lomba baca puisi, lomba baca dongeng,
baca undang-undang dasar 1945, lomba mewarnai, lomba melukis tembok atau
kanvas.
Untuk hadiahnya akan disediakan oleh para sponsor,
yang terketuk pintu hatinya, mau bekerja sama atau bahkan
menyumbangkan sedikit keuntungan.
Andai saya punya toko buku,
saya akan semakin sering mengadakan discount untuk
semua macam genre buku,
karena yang saya temui,
buku yang didiscount adalah buku yang tak laku dipasaran,
kalau saya akan berlaku sebaliknya,
pada hari-hari tertentu,
saya akan memberi discount pada buku new release dan best seller.
Kurangnya minat para pembeli akan buku discount,
adalah karena kualitas buku itu sendiri.
Oh ya, andai saya punya toko buku,
saya akan berusaha mencoba memiliki satu team
yang gemar membaca buku
( tentu saja saya termasik didalamnya )
untuk menyortir buku mana saja yang akan masuk ke toko
dan buku mana yang sebaiknya tidak dijual di toko saya.
Sejauh pengamatan saya,
di pusat-pusat perbelanjaan memang toko buku
jauh lebih sepi dibandingkan dengan
outlet baju, makanan, asesoris,
maka dari itu saya punya kerinduan untuk mengubah pemikiran
banyak orang,
ternyata hang out di toko buku itu asyik juga!
Andai saya punya toko buku,
saya takkan berada di belakang meja kantor,
setiap harinya saya akan terjun ke lapangan seperti karyawan lainnya,
saya akan berbaur dengan para pembeli,
memberi informasi tentang buku bacaan yang saya tahu,
ataupun sekedar ngobrol dan menambah relasi.
Saya akan sangat berusaha menganggap para pembeli
bukan sekedar pembeli,
namun menempatkan posisi saya pada mereka,
sama-sama mencari pengetahuan,
dan rela membayar lebih untuk mendapatkan itu.
Sekali lagi,
saya belum punya modal uang sebanyak itu untuk
mewujudkan impian ini,
namun saya akan tetap bermimpi, dan memperbaiki konsep
yang saya miliki,
juga yang tak kalah penting adalah...
memperbaharui komitmen untuk melayani.
Kedepannya bila memang benar,
saya memiliki sebuah toko buku,
saya yakin akan srmakin banyak orang yang ingin membaca buku,
dengan begitu bangsa kita juga akan maju :)
Semangat!!
Subscribe to:
Posts (Atom)