Saya tiba di kantin kampus pukul 10 pagi,
suasananya masih tak begitu ramai.
Begitu masuk,
saya disambut aroma kopi panas berpadu dengan asap rokok,
hhmmm segera saya berjalan ke arah rak makanan.
Nasi goreng, 2 potong chicken nugget, dan 2 potong sosis goreng,
serta segelas teh manis panas menjadi menu sarapan
saya pagi ini.
Tempat duduk di dekat kasir, yang menghadap ke lapangan
sepak bola adalah tempat yang saya pilih.
Sembari menikmati makanan dengan hati yang sedikit khawatir,
karena siapa tahu saya akan bertemu dosen, atau kawan lama,
atau bahkan adik angkatan.
Satu hal yang saya takutkan adalah bertemu orang-orang,
yang bisa saja mereka akan menanyakan beberapa hal yang pribadi,
seperti misalnya...
kapan lulus?
lho, masih disini aja?
udah kerja dimana?
masih ngekost di tempat lama?
Aduh! pertanyaan-pertanyaan diatas nampaknya mudah untuk dijawab,
namun tidak bagi saya.
Saya tidak suka orang lain bertanya atau mencampuri urusan pribadi,
lebih takut lagi,
kalau-kalau saya menjadi topik perbincangan.
Hhhmmm nasi goreng di piring masih setengah,
saya masih terus menikmati sembari melihat-lihat
pemandangan sekitar.
Di sebelah kanan meja,
ada tiga orang cowok, memakai kaos berkerah,
warna cerah, dipadu dengan celana jeans, dan sepatu snikers.
Tidak tampak piring makanan di meja mereka,
hanya ada beberapa cangkir kopi hitam, dan aneka macam gorengan,
dan dengan posisi duduk yang santai,
mereka mulai menghisap rokok, minum kopi,
dan mengobrol.
Saya tak kenal siapa mereka, namun sempat tertangkap mata
beberapa kali mereka melemparkan pandangan ke arah saya,
apa cara berpakaian saya aneh?
apa ada sisa butiran nasi di pinggir mulut?
apa saya lupa menutup restleting celana?
apa potongan rambut saya yang aneh?
apa mungkin saya mengoles gel rambut terlalu banyak?
ah, ada apa ya?
Sepuluh menit kemudian,
datanglah 2 cewek, dan 2 cowok yang bergabung
dengan trio kaos berkerah.
Mereka bercanda dan tertawa sangat keras,
semula saya menahan diri untuk tidak
melempar pandangan ke arah mereka namun lama-lama
saya jadi sangat penasaran.
Oh ternyata mereka bermain kartu,
jadi sekarang ada 5 cowok dan 2 cewek,
semuanya menghisap rokok dengan santainya,
seolah-olah hidup mereka begitu indah dan tak ada beban.
Terkadang,
saya iri melihat orang yang bisa tertawa lepas, tanpa rasa cemas,
saya berpikir...
mungkin kuliah mereka beres, keadaan financial baik,
semuanya baik-baik saja dan tidak ada masalah.
Dua cewek di meja sebelah kanan,
menurut saya tak begitu menarik,
mereka berkulit gelap namun rambutnya diwarnai,
uhm...itu perpaduan yang kurang pas.
Rambut berwarna-warni paling cocok dimiliki
oleh orang-orang berkulit putih,
belum lagi mereka merokok, penilaian saya tentang
cewek yang berani merokok di tempat umum
adalah cewek yang tidak beretika.
Saya memperlambat ritme menyuapkan sendok demi sendok
ke dalam mulut,
sembari masih terus mengamati orang-orang di sekitar,
mumpung tidak ada yang kenal,
jadi saya agak tenang dan bisa duduk lebih lama lagi.
Saya tak tahu harus bercerita darimana,
mengapa terdampar di kota kecil seperti Salatiga.
Satu sama lain cenderung saling tahu, saling kenal,
dan saling ingin tahu,
hal itu sangat menyiksa batin.
Sudah 10 tahun lebih di universitas ini,
namun saya belum juga berhasil memperoleh
gelar sarjana.
Dosen pembimbing sangat menyulitkan saya,
dengan idealisme yang membuat
kuliah juga skripsi terhambat.
Sudah beberapa kali saya ingin pindah universitas,
pindah kota tempat tinggal,
namun orang tua saya masih mendesak untuk
meneruskan hingga selesai.
Ah serba salah jadinya,
mau tetap di Salatiga namun saya sudah malu,
malu pada bapak kost yang seringkali tanya,
mengapa saya tak kunjung lulus kuliah.
Malu pada teman-teman satu angkatan,
yang sudah bekerja diluar kota, menikah,
dan punya anak.
Malu pada adik-adik angkatan setiap kali
mereka bertanya sebenarnya apa masalah saya,
sehingga 10 tahun pun belum cukup untuk
menyelesaikan kuliah.
Saya malu pada ibu kantin, ibu penjual kue, ibu warung makan
langganan saya,
setiap kali mereka bertanya,
kapan lulus?
skripsinya susah ya?
mereka bertanya seolah tak berpikir bagaimana
hancurnya perasaan saya.
Sebenarnya jurusan elektro bukanlah
jurusan yang saya inginkan,
saya ingin masuk kedokteran,
namun pada saat itu orang tua belum mempunyai
dana yang cukup.
Walaupun kuliah di jurusan elektro,
tapi hati saya masih merindukan kedokteran.
Kemudian mereka sedikit mendesak agar saya masuk jurusan
elektro,
karena mereka beranggapan jurusan ini mempunyai
jenjang karir yang cukup bagus untuk kedepannya.
Alhasil saya hanya bisa menuruti apa kata mereka,
namun hati nurani masih menolak,
apa yang saya jalani sekarang bukanlah keinginan
pribadi melainkan karena desakan orang tua.
Kemana saya pergi, beban tersebut selalu mengikuti,
saat berada di kost,
saya banyak menghindar bertemu bapak dan ibu
pengurus kost untuk menghindari
pertanyaan yang membuat saya marah.
Saat di kampus,
saya sudah tak punya teman satu angkatan, mereka sudah lulus
kuliah bertahun-tahun yang lalu,
saya menghindar untuk bertemu dosen pembimbing,
bertemu adik angkatan, sampai tukang jual jajanan,
karena tidak tahan dengan pandangan mata mereka
yang terkesan meremehkan saya.
Saya merasa...
mereka meragukan kecerdasan juga kemampuan akademis,
mereka bertanya-tanya apa saya berasal dari keluarga berada
hingga kuliah 10 tahun pun masih berlanjut tanpa
putus di tengah jalan.
mereka menganggap saya mungkin penyuka sejenis
karena gaya berpakaian yang lebih rapi
dibanding mahasiswa elektro yang lain,
dan entah apalagi yang mereka pikirkan
tentang saya?!
Bila saya harus berangkat ke kampus untuk
konsultasi dengan pembimbing,
sepanjang jalan dari kost ke kampus,
saya lebih banyak menyibukkan diri,
melihat dan menekan tombol handphone,
walaupun sedang tak ingin.
Hal itu saya lakukan untuk menghindari
dari menyapa dan disapa,
saya takut menyapa dan disapa karena
bisa saja mereka bertanya mengenai kehidupan pribadi.
Daripada harus bersandiwara, berpura-pura baik,
tapi sebenarnya saya tak ingin bertemu dan menjawab pertanyaan mereka,
lebih baik saya jalan kaki dengan posisi
kepala menunduk dan selalu memegang handphone.
Itulah hal yang paling aman menurut saya
untuk dilakukan sepanjang berjalan kemanapun,
karena pada dasarnya saya selalu was-was akan
pertanyaan yang diajukan kepada saya.
Dengan berusaha cukup keras,
saya menyelesaikan kuliah ini.
Disisi lain saya merasa,
para dosen pembimbing kurang membantu,
dalam berbagai hal,
mereka justru mempersulit, sehingga posisi
saya semakin terhimpit.
Untuk menghibur keadaan,
saya membayar lebih demi menjadi anggota
di sebuah hotel untuk club olahraga,
lebih tepatnya,
saya cukup berani mengeluarkan banyak uang,
untuk menjadi member fitnes dan berenang.
Saya beranggapan,
mereka-mereka yang berani membayar lebih
bukanlah orang yang sembarangan, orang kampungan,
seperti bapak kost dan teman-teman yang sering
mencampuri urusan.
Maka dari itu setiap harinya paling tidak
saya habiskan 6 sampai 7 jam
untuk berada di hotel.
Dengan begitu saya tak terlalu seting nampak
di kost dan di kampus,
teman-teman dan bapak kost takkan bisa
menebak kemana saya pergi.
Di dalam hotel, saya mendapatkan kenyamanan,
bertemu dengan orang-orang baru,
dan saya bisa mengenalkan diri
dengan identitas palsu.
Skripsi yang menjadi mimpi buruk pun
tak kunjung selesai,
malah saya harus mengulang beberapa mata kuliah
bersama mahasiswa baru karena peraturan universitas.
Beberapa kali saya ingin bunuh diri,
berpikiran untuk menenggak racun serangga,
atau bahan kimia yang mematikan,
namun selalu gagal di tengah jalan.
Ya ampun...
untuk apa terus hidup kalau
posisi saya semakin dipersulit.
Jangankan untuk ke kampus dan ke kost,
ke tempat ibadah pun saya merasa tidak aman.
Bisa saja beberapa orang yang mengenal saya,
berada dibdalam satu tempat ibadah,
pada jam ibadah yang sama pula,
wah...
jujur saja, sungguh tak nyaman dengan hal itu,
saya takut kalau-kalau saja saya dijadikan
bahan pembicaraan.
Alhasil saya sudah tidak pernah beribadah lagi,
lebih baik pergi ke tempat ibadah yang baru,
yang sekiranya banyak orang-orang baru,
yang tak mengenal saya.
Saya tak habis pikir,
bagaimana dengan mudahnya mereka ingin tahu
urusan pribadi saya,
bagaimana mereka bisa begitu mencurigai
bahwa saya penyuka sesama jenis.
Rasanya ingin mati saja,
tapi saya paling tak tahan dengan rasa sakit.
Dalam hidup,
sudah berulang kali saya sakit hati, disakiti,
dan dibuat sakit
oleh perkataan maupun tindakan orang lain.
Samapi kapan saya harus menanggung beban ini,
sampai kapan lagi harus berpura-pura kaya,
agar saya diterima oleh beberapa orang tertentu
untuk menjadi temannya.
Saya lelah...
#NB
Tulisan ini terinspirasi dari kisah hidup seorang teman,
saya belum tahu harus berbuat apa, namun saya
sangat ingin menunjukkan padanya,
bahwa hidup itu indah, hidup itu anugerah, jadi nikmatilah!
No comments:
Post a Comment