Beberapa kali ibu pernah bercerita,
bahwa saat beliau seumuran dengan saya sekarang,
anaknya sudah masuk Taman kanak-kanak,
dan anaknya itu tak lain tak bukan adalah saya sendiri.
Mungkin maksud ibu,
agar saya tertarik untuk segera menikah,
dan memiliki anak seperti apa yang sudah dilaluinya.
Ah, ternyata cara itu belum berhasil,
kalimat itu hanya saya nikmati sebagai cerita indah
tentang masa lalu,
dan sama sekali belum mempengaruhi saya
untuk terburu-buru melaksanakan pernikahan.
Saya sendiri masih berusaha keras meyakinkan diri sendiri,
kapan akan menikah,
jadi jangan tanya kapan pada orang yang sudah berpasangan,
belum tentu mereka sudah merindukan pernikahan.
Ditambah lagi,
akhir-akhir ini saya membeli, membaca, merenungi
buku-buku tentang pernikahan.
Walaupun saya belum pernah melakukan ini sebelumnya,
namun...nampaknya pernikahan adalah tahap baru dalam
kehidupan,
seperti waktu dulu...
dari SMU lalu masuk kuliah,
dari single lalu masuk dalam pernikahan.
Paling tidak,
saya tak buta arah, harus banyak tahu, banyak belajar,
agar masalah-masalahnya bisa diminimalisir,
ternyata...
pengetahuan bukan hanya untuk anak sekolahan,
karyawan kantoran,
namun juga sangat penting untuk menjalani
kehidupan pernikahan.
Ayah dan ibu menikah pada usia muda,
disaat ayah belum mendapat pekerjaan tetap,
jadi tidak ada kepastian juga untuk gaji bulanan,
kadang ayah mendapatkannya, kadang juga pulang
dengan tangan kosong.
Saya masih sering terheran-heran,
apa yang membuat ibu percaya untuk menikahi
seorang laki-laki yang
gaji bulanan saja masih dipertanyakan.
Kalau saya bertanya pada ibu seperti itu,
jawabannya adalah karena cinta dan percaya bahwa
beliau tidak salah memilih pendamping hidup, keren!
Satu bulan sebelum resepsi pernikahan,
ayah dan ibu harus menjalani masa pingitan
tidak bisa bertemu dan bertatap muka.
Ibu tak boleh keluar rumah selama satu bulan,
kalau ada keperluan untuk membeli sesuatu,
adik-adiknya lah yang akan keluar rumah dan
membelikan untuknya.
Ayah masih lebih bebas,
beliau boleh keluar kemanapun
asal bukan ke rumah ibu,
buktinya...
selama masa pingitan ayah rajin mengirim surat lewat
kantor pos, yang sebagian suratnya berisi nasehat untuk ibu
supaya sabar dan ikhlas dalam menjalani masa pingitan.
Tak disangka,
dibalik watak keras, tubuh yang tinggi besar,
ayah juga bisa mempunyai inisiatif yang romantis
Karena belum mempunyai pekerjaan tetap,
maka setelah resepsi pernikahan,
ayah mengajak ibu tinggal di rumah nenek.
Setelah dua tahun menjalani kehidupan berumah tangga,
ibu akhirnya mengandung,
dan melahirkan saya 9 bulan kemudian,tepatnya
tanggal 12 november jam 2 siang menjelang sore.
Jadi,
sedari lahir saya tinggal bersama ayah, ibu,
kakek, nenek dan satu kakak sepupu.
Entah karena harga rumah yang belum terjangkau,
atau memang enggan meninggalkan kenyamanan,
ayah tak kunjung membeli rumah sendiri untuk mengajak
keluarga kecilnya pindah.
Saat saya lahir,
kakek sudah pensiun, pekerjaan sehari-harinya adalah
membantu nenek yang menjalankan sebuah usaha cathering makanan.
Dulu,
kakek adalah pedagang beras,
bahkan beliau mempunyai sebuah gudang,
kira-kira sebesar rumah dengan 4 kamar khusus untuk
menyimpan beras.
Meskipun pada akhirnya, gudang tersebut terpaksa harus dijual
untuk membayar hutang dari paman saya,
namun saya masih bisa sesekali menengok gudang bersejarah tersebut.
Seperti anak kecil kebanyakan,
saya suka bermain, suka mencari tahu tentang sesuatu,
meskipun caraku untuk mencari tahu dianggap sebagai kenakalan
oleh orang yang lebih dewasa.
Contohnya...
saya suka memakai sepatu hak tinggi milik nenek,
berjalan mengelilingi rumah,
seolah-olah saya adalah ibu manager yang mondar-mandir untuk
memantau keadaan kantor sekaligus aktivitas anak buah saya.
Uhm,
foundation wajah milik nenek juga salah satu hal,
yang sangat mengusik rasa penasaran saya,
botolnya terbuat dari kaca, lalu warnanya hijau muda,
dan cairan didalamnya berwarna cokelat muda,
mirip warna cappucinno.
Saat iseng,
saya sering masuk ke kamar nenek, duduk di hadapan
meja riasnya, dan mulai mencari-cari,
apa yang dapat dimainkan,
setelah mengamati benda-benda yang ada,
mata saya tertuju pada botol foundation itu,
saya buka botolnya, kemudian secara perlahan saya mencium aromanya,
dan mengeluarkan isinya,
karena takut ketahuan, foundation yang sudah berada di telapak tangan,
saya oleskan pada sarung bantal milik nenek,
selesai perkara!
Setiap kali bermain-main dengan foundation,
setiap kali itu juga ibu memarahi,
bahkan mencubit lengan saya sampai berwarna kebiruan,
tapi saya tak pernah jera, kawan!
botol foundation itu tetap mengundang rasa penasaran.
Hampir setiap hari ibu sibuk membantu nenek,
untuk membuat pesanan makanan, kue, dan lain
sebagainya.
Meskipun ibu tidak bekerja diluar rumah, namun beliau tetap sibuk
setiap harinya.
Saya juga sibuk,
sibuk bermain bersama kakak sepupu yang usianya 10 tahun
lebih tua,
dia sering mengajak bermain masak-masakan di halaman rumah,
dengan batu bata, daun mangga, pasir, dan air untuk melembutkan
adonan tersebut.
Suatu kali seusai bermain adonan pasir,
saya dan kakak masuk ke dalam rumah,
kemudian nenek menyuguhkan sepiring buah
semangka merah yang sudah dipotong-potong,
dan bijinya sudah dibuang.
Spontan, saya mengulurkan tangan kanan untuk
mencicipi potongan semangka yang nampak
sangat menggiurkan itu,
dengan lincah nenek menangkis tangan saya,
dan membentak bahwa buah semangka itu untuk kakak
dan bukan untuk saya.
Hhmmmm, waktu itu saya belum terlalu paham,
mengapa semangka itu hanya untuk kakak?
dan saya tak boleh mengambilnya,
bahkan ketika kakak sudah menyodorkan
piring berisi semangka itu didepan mata.
Nenek langsung mengambil piring tersebut,
dan menyimpannya di tempat yang tidak bisa
saya raih.
Kejadian mengenai semangka itu secara tidak langsung
saya ingat sampai sekarang,
dan jujur saja...
membawa rasa pahit yang bisa saja berdampak tidak baik
untuk masa depan saya.
Bermula dari hal itu,
setiap kali nenek dan kakek mempunyai makanan,
saya tak berani mengambilnya ataupun mencoba memintanya...
ada rasa takut ditolak dan tentu saja...
masih sakit hati sekaligus terheran-heran akibat
beberapa potong semangka merah tanpa biji.
Walaupun di hari-hari berikutnya,
mereka sering menawarkan makanan hanya untuk
sekedar berbasa-basi.
tapi secara otomatis saya menolaknya,
seperti sudah ada rasa penolakan dari dalam.
Nenek orangnya suka bergosip,
hampir setiap hari ada temannya menelfon ke rumah,
kemudian mereka membicarakan tentang kekurangan atau musibah
yang menimpa orang lain.
Tanpa bermaksud untuk mendengarkan,
tapi...suara nenek volumenya sangat keras dan bernada tinggi,
sehingga saya pun tak bisa mendengarkan suara TV,
jadi tak heran,
apapun yang dibicarakan, terdengar oleh siapa saja
yang ada di dalam rumah.
Kegemarannya untuk bergosip,
tidak hanya lewat telfon,
setiap kali selesai ibadah di gereja nenek selalu
pulang terlambat,
karena menyempatkan untuk membahas mengenai keluarga,
kehidupan percintaan, bahkan kehidupan seksual orang lain.
Selain gemar membicarakan kehidupan pribadi orang lain,
ada satu lagi kegemarannya, yaitu berdandan,
bahkan dulu nenek pernah ikut lomba merias wajah
tanpa melihat kaca, dan meraih juara 3.
Sampai usia lanjut nenek masih suka berdandan,
bahkan sampai di tahun ini,
menginjak umurnya yang ke 90 tahun,
tangannya masih lincah mengoleskan foundation,
menyapukan bedak, lipstik, dan pemerah pipi.
Sewaktu kecil,
saat saya akan pentas di acara 17 agustusan, nenek selalu
menawarkan diri untuk meriasi wajah,
namun saya tak pernah mau.
Dulu,
saya tak bisa menjelaskan mengapa tak pernah mau
setiap kali nenek dan kakek menawarkan makanan atau
bantuan.
Berbeda dengan kini, setelah dewasa...
kurang lebih saya tahu bahwa
ada kepahitan di dalam hati
yang membuat saya sangat menjaga jarak dengan mereka,
terutama nenek.
Cucu kesayangannya adalah kakak sepupu saya,
anak dari kakak tertua ayah,
nenek menganggapnya seperti anaknya sendiri,
apapun akan diberikan untuknya,
hhmmm menerima perlakuan yang dibedakan sejak kecil
itu sangat sesuatu.
Kira-kira saat saya duduk di kelas 4 SD,
hampir setiap hari nenek bertengkar dengan kakek,
berteriak, melotot, dan membanting barang-barang,
tak jarang juga nenek menangis.
Itu semua,
karena nenek menangkap basah
perselingkuhan kakek dengan seorang wanita muda,
yang dilakukan di hotel.
Saya tak betah berada di rumah,
kalau mereka bertengkar suasananya panas, penuh teriakan,
penuh kalimat-kalimat menjatuhkan, saling menuduh dan menyalahkan,
tapi anehnya...
dalam lubuk hati, saya merasa senang,
sepertinya kakek turut membalaskan luka hati
saya yang terpendam sejak kecil.
Bertahun-tahun setelah itu,
keadaan masih sama, nenek masih mengungkit-ungkit
masalah yang sama,
meskipun kakek sudah tak pernah pergi ke hotel lagi.
Oh ya,
salah satu hal lagi yang tidak wajar dari nenek adalah,
dia tak pernah tersenyum,
sekalipun ada lelucon yang menyentuh rasa humornya,
dia hanya tersenyum tipis, bukan tertawa terbahak-bahak,
bahkan di ysianya yang sudah 90 tahun,
nenek masih sangat jarang tersenyum.
Entahlah,
mungkin nenek juga menyimpan kepahitan yang
sangat dalam,
sampai-sampai perilaku dan kata-katanya
mengeluarkan dan mengakibatkan kepahitan juga.
Menerima perlakuan yang seperti itu,
dari hari demi hari,
bulan demi bulan,
tahun demi tahun...
menjadikan saya tak pernah mau dekat dengan nenek,
walaupun kami tinggal satu atap,
dan sialnya atap itu adalah miliknya bukan milik ayah.
Syukurlah sejak SMU,
saya sudah pergi dari situ, tinggal diluar kota
untuk menuntut ilmu,
ya paling tidak saya tak harus bertemu dengannya,
beradu pendapat, rebutan channel TV,
saya sering bertanya dalam hati,
apa nenek saya adalah titisan dari nenek lampir?
yang suka mengintimidasi, mengancam anak kecil.
Semakin saya bertumbuh dewasa,
kepekaan yang ada di dalam hati juga semakin berkembang.
Sedikit demi sedikit,
saya sadar penuh dan berani mengambil kesimpulan,
bahwa nenek mengasihi cucu-cucunya,
terlebih lagi kakak sepupu saya.
Menerima dengan ikhlas,
sebuah kenyataan yang mana,
saya mendapatkan porsi kasih sayang yang lebih sedikit,
itu sangat menyakitkan,
dan butuh waktu lama untuk berdamai dengan diri sendiri
yang merasa terintimidasi, serta tak dikasihi.
Sembari menuliskan cerita ini,
sembari saya mengingat-ingat, apa saja yang turut
membentuk karakter yang saya miliki
hingga kini.
Kalau melihat,
seorang wanita tua, yang usianya 90 tahun,
badannya pendek, kulitnya sudah mengeriput di seluruh bagian,
langkah kakinya sudah tak selincah sewaktu muda dulu,
rasanya sedih juga.
Disaat saya mencoba untuk menerima dan mengampuni
perlakuannya di masa lalu,
disaat itu juga saya diuji,
dengan kebawelannya, kecerewetannya,
tanya ini, tanya itu, yang mana saya merasa
pertanyaan yang dilontarkan itu bersifat mengintimidasi.
Untunglah,
saya tak terlalu sering pulang ke rumah,
dengan begitu,
saya tak terlalu sering bertemu muka dengan wanita
yang telah membesarkan ayah.
Kini,
saya selalu ingat membelikannya satu atau dua potong
cake cokelat,
itu merupakan makanan kesukaannya.
Mungkin ada dari anda yang pernah atau sedang
mengalami hal yang sama,
dibedakan, disisihkan, diperlakukan tak adil,
dan lain sebagainya.
Kabar buruknya adalah,
hal itu memang sangat bisa membawa dampak buruk
bagi masa depan,
karena kepahitan yang dialami itu mengakar kuat,
dab bertumbuh pesat.
Namun...kabar baiknya adalah,
pribadi yang mengalami bisa menyembuhkan
diri masing-masing,
Menyembuhkan, atau melakukan sendiri
proses penyembuhan luka batin,
bisa dengan berbagai macam cara,
salah duanya adalah dengan,
mendekatkan diri pada Sang Pencipta, dan mau mengampuni.
Saya kira,
tak ada yang setuju bahwa kedua hal tersebut
bisa dilakukan dengan mudah,
tapi bukan berarti mustahil untuk dilakukan.
Kalau saya dan anda,
melangkah pada satu tujuan yaitu menyembuhkan
luka batin tersebut,
dan berkeinginan kuat untuk sembuh,
saya rasa alam pun pasti turut membantu.
Luka tersebut bila dibiarkan akan menggerogoti
sukacita dan semangat,
sangat disayangkan,
karena manusia pada hakekatnya diciptakan,
dan diperlengkapi dengan akal budi
untuk tujuan yang baik juga mulia.
Melakukan tujuan baik, menjadi berguna bagi sesama,
takkan bisa dilakukan dengan maksimal,
tanpa menyembuhkan luka batin terlebih dahulu.
Yang bisa mendeteksi,
luka tersebut sudah sembuh total atau masih setengah kering,
adalah pribadi masing-masing
yang mengalaminya.
Bila saya dan anda sudah berhasil
memulihkan keadaan diri sendiri,
itulah saat yang tepat untuk berbagi banyak hal baik
pada sesama.
Karena sudah terbebas,
maka kita juga bisa membebaskan.
Hidup cuma sekali,
persediaan nyawa kita juga cuma satu,
mari bahu membahu menjadikan hidup kita,
dan hidup sesama menjadi lebih baik lagi,
saya bisa, dan saya yakin anda juga :)
No comments:
Post a Comment