Semenjak saya kecil,
ibu sangat mencintai kegiatan memasak.
Entah itu memasak makanan atau membuat jajanan
seperti puding, kolak, kue bolu kukus,
dan lain sebagainya.
Kebetulan, nenek juga seorang juru masak
selama berpuluh-puluh tahun.
Nenek merupakan koki terkenal pada masanya,
menu makanan yang dibuatnya selalu laris manis
diburu para konsumen.
Bahkan sampai usia lanjut seperti sekarang,
kadang-kadang beliau juga masih pergi ke dapur
untuk membuat makanan.
Dengan lingkungan yang memiliki hobi memasak,
seharusnya sedikit banyak mempengaruhi saya.
Ternyata tidak juga...
saya tak begitu suka memasak karena
persiapan yang harus dilakukan sangat lama lalu
masakan yang sudah susah payah diolah habis
dalam waktu singkat.
Biarlah memasak itu jadi bagian ibu, dan
pembantu rumah tangga.
Bayangkan kalau tangan ini harus bau bawang merah,
bawang putih belum lagi panas terkena
pedasnya cabai.
Apalagi kalau harus menggoreng sesuatu,
takut ah kena minyak panas nanti wajah nggak mulus lagi.
Lagipula ini sudah jaman instant,
ngapain harus repot-repot masak,
banyak warung, banyak restaurant dan cafe,
kalau semakin banyak yang memilih masak sendiri,
bagaimana nasib mereka yang buka usaha?!
Hampir semua menu yang saya inginkan
ada yang jual,
mulai dari aneka ca sayuran, sampai ikan bakar,
juga steak.
Demikian juga minuman, dari yang agak mahal
seperti frapuccinno with double shot sampai
wedang jahe juga ada.
Banyak tempat makan menyediakan apa yang saya butuhkan,
beraneka macam menu makanan berat, jajanan,
dengan harga yang bervariasi.
Semuanya dijual, semuanya sudah tersedia,
tinggal datang ke tempatnya, pesan dari menu yang tersedia,
bahkan ada beberapa tempat yang mana saya bisa cystom,
menyenangkan bukan?!
Yang perlu dilakukan hanyalah,
duduk santai sambil menunggu pesanan datang,
sambil duduk bisa baca buku, nonton TV, mendengarkan musik,
sampai memanfaatkan akses wifi.
Begitu pesanan datang,
saya bisa langsung menikmati,
tanpa berpikir harus mencuci piring dan alat-alat masak
kemudian,
tubuh juga tetap wangi, tak ada aroma bumbu yang melekat,
wow rupanya tempat makan
banyak memberi kemudahan.
Tak heran banyak para pengusaha berbondong-bondong
membuka tempat makan,
dengan beraneka macam konsep,
karena semakin banyak orang yang lebih suka membeli
makan diluar daripada harus repot-repot menasak sendiri.
Akhir-akhir ini juga banyak rumah makan yang berbasis pada
masakan rumah seperti
sayur bayam, lodeh, ikan goreng, tahu dan tempe goreng,
ditambah lagi saya bisa pilih dan ambil sendiri
menu-menu tersebut.
Kalau ada yang bilang,
masak sendiri jauh lebih hemat dibandingkan
beli makan diluar,
ya itu relatif...
Misalnya mau masak spaghetty pesto,
beli saus pestonya aja udah 50 ribu lebih, belum lagi bahan-bahan lainnya,
walaupun sekali beli bahan bisa untuk beberapa kali sih,
setelah masak masih harus mencuci alat-alat masak yang telah digunakan,
ribet, dan betapa cepat makanan itu habis sangat tak imbang.
Beli makan diluar, hanya dengan 5 ribu rupiah,
sudah dapat nasi, gudangan, satu tahu goreng, satu tempe goreng,
dan sambal bawang,
bungkusnya tinggal dibuang, alat makan yang dicuci hanya satu
sendok makan,
kalaupun mau makan pakai tangan, ya tinggal cuci tangan,
sangat praktis kan?!
Banyak yang bilang,
kalau para mertua itu suka menantu yang rajin,
bisa membersihkan rumah sendiri, memasak, dan
pekerjaan rumah yang lain.
Saya berpikir,
mau nyari menantu atau pembantu?!
Lagian jaman sekarang, mana ada wanita yang murni
hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga,
sekarang jamannya berkarir, bekerja, dan mengejar impian.
Saya masih bertahan untuk tidak
memulai bahkan menyukai aktivitas memasak.
Di rumah, kebiasaan yang ada selama ini adalah,
ibu dan para pembantu yang memasak,
saya hanya tinggal menunggu masakan tersedia di meja makan
lalu menyantapnya.
Urusan mencuci alat masak dan alat makan pun
tak pernah ada di benak saya,
ngapain sih menyusahkan diri sendiri.
Beli di luar atau menunggu hasil masakan ibu,
jauh lebih mudah daripada,
badan berbau bumbu, dan harus berbasah-basahan untuk
mencuci alat-alat masak.
Lagipula, saya takkan belajar masak hanya demi
mertua atau siapapun,
kalau sampai suatu hari saya memutuskan untuk memasak,
itu karena pilihan pribadi tanpa sedikitpun
dorongan dari orang lain.
Saya pun tak suka pergi ke pasar,
sepanjang jalan bau daging dan ikan mentah yang sangat menyengat,
belum lagi aroma sayur busuk juga yang bercampur baur jadi satu,
jalanannya sempit,
kendaraan bermotor dan pejalan kaki saling mendahului,
sama-sama egois,
tak ada sisi menarik dari sebuah pasar tradisional.
Uhm, seringkali pedagang di tradisional itu
memandang SARA,
kalau kelihatan kulitnya putih, warna bajunya tidak kusam,
pasti dia menawarkan harga barangnya lebih mahal.
Untuk orang-orang yang kulitnya coklat, sawo busuk...
meskipun warna bajunya juga tidak kumal,
pasti orang tersebut dapat harga yang lebih murah,
ditambah lagi bisa berbahasa lokal,
ah pasti dapat bonus 5 butir cabai merah.
Apa harus saya ganti warna kulit agar dapat harga barang
yang sama seperti yang lain?!
Belum lagi saya terheran-heran tentang cara mereka
memperlakukan barang dagangannya,
ada yang jatuh di tanah dan dibiarkan begitu saja,
lalu banyak dikerubungi lalat,
dan pedaganya seakan cuek tak ambil pusing
tentang hal itu,
hhhmm...tapi masih sangat banyak yang lebih memilih
berbelanja disana karena alasan harga.
Kebanyakan wanita memang suka memasak,
mereka mencampur adukan bumbu dan bahan
sesuai dengan selera masing-masing,
tapi apa iya semua wanita harus suka memasak,
seperti halnya...
tidak semua wanita suka warna pink, demikian juga
tidak semua wanita suka memasak.
Apalagi saat masih tinggal di rumah kost,
ibu kost sangat pelit dan suka ngomel kalau
gas cepat habis, atau habis sebelum perkiraannya.
Saya juga tak punya alat-alat masak, jadi kalaupun mau masak
harus meminjam alat dari ibu kost,
yang mana alat-alat masaknya sudah tak layak pakai.
Serba repot,
apa saya bilang...beli diluar jauh lebih praktis dan mudah,
harga, menu, tempat bisa disesuaikan
dengan kondisi hati dan kondisi dompet.
Sampai pada satu kondisi,
saat saya sudah menempati rumah burung dara ini,
ibu mengirimkan beberapa alat masak,
seperti kompor gas, kuali, wajan teflon, dan lain sebagainya.
Biarpun tidak setiap hari saya memasak,
untuk berjaga-jaga saja,
kalau saya ingin masak mie instant atau merebus air
untuk bikin kopi atau green tea.
Saya sempat berpikir kalau hanya untuk mie instant
apa harus sebagus ini alat masaknya,
ah tapi barang sudah terlanjur sampai,
mungkin ibu mau memberi yang terbaik untuk saya.
Tak lama setelah keberadaan kompor tersebut,
saya punya ide untuk memasak,
seperti nasi goreng, spaghetty dan ca jamur,
baru 3 macam itu yang berhasil saya masak,
tanpa memakan korban :)
Untuk membeli bahan-bahan masaknya,
saya memilih supermarket dibanding pasar tradisional,
karena harganya lebih pasti,
semua warna kulit akan dapat harga yang sama
berdasarkan bandrolnya.
Meskipun harganya lebih mahal,
namun saya nyaman berbelanja di supermarket,
tidak becek akibat air hujan atau guyuran air
serta tidak was-was akan dipeluk tiba-tiba
oleh motor atau mobil angkutan umum.
Memang harganya bisa terpaut sampai seribu rupiah,
tapi kenyamanan dan kemudahan yang saya dapatkan
rasanya perbandingan harga bukan masalah utama.
Kalau di supermarket saya juga bisa memilih sampai capek,
terserah saya mau pilih berlama-lama juga tak ada yang marah,
coba kalau di pasar tradisional,
belum-belum pedagangnya sudah pasang wajah nggak suka.
Jadi kesimpulannya,
saya lebih memilih berbelanja di supermarket,
yang bisa tenang memilih, tenang hati juga karena kalau uang cash tidak
mencukupi bisa langsung gesek kartu debet.
Ternyata memasak juga tak seribet yang dulu-dulu
saya bayangkan,
tinggal bagaimana kita belajar dan terbiasa untuk memasak.
Tinggal pilih mau masak apa,
disesuaikan dengan budget yang ada.
Seperti minggu lalu,
saya sedang punya budget yang agak banyak,
saya memilih untuk memasak spaghetty,
bahan-bahannya nggak ribet namun harganya agak mahal.
Yang perlu dibeli hanyalah minyak goreng, saus spaghetty
bisa bolognaise, pestto, pilih sesuai selera.
Kalau yang suka manis, kecut dan berdaging maka
saus bolognaise adalah pilihan yang tepat.
Saya lebih suka saus pesto karena tak mengandung daging,
dan rasanya asin, aromanya khas dedaunan, lezat abis!!
dan telur ayam kampung, dan jangan lupa
spaghetty.
Bawang putih dikupas lalu diiris tipis,
rebus spaghetty sampai matang,
tuang minyak goreng secukupnya di teflon, tunggu sampai panas,
lalu masukkan bawang putih dan tumis sampai harum,
tambahkan telur lalu diorak-arik hingga matang,
setelah itu masukkan juga saus pesto, ditumis hingga harum
yang terakhir masukkan spaghetty yang sudah matang direbus,
aduk sampai rata, panaskan sebentar,
dan siap untuk disajikan.
Mudah bukan?
alat masak yang digunakan juga tak terlalu banyak,
waktu yang dibutuhkan untuk memasak juga
tidak lama.
Dulu, saya selalu berpikir memasak itu buang waktu,
karena saya belum pernah mencobanya,
setelah terjun langsung
ternyata tak seburuk yang diduga.
Proses memasak sebenarnya sangat sederhana,
membeli bahan, meramunya, mengolah dan menyajikannya.
Kelebihan dari memasak sendiri,
antara lain...
Pasti kebersihan dari makanan tersebut lebih terjamin
daripada membelinya diluar,
tentu saja tak ada yang ingin sakit setelah makan masakannya sendiri.
Bisa membuat kreasi apa saja yang diinginkan,
contoh sederhananya membuat nasi goreng,
banyak warung kaki lima hingga restaurant yang menyediakan
menu nasi goreng,
namun seringkali tak sesuai dengan harapan kita,
rasanya nggak enak, harganya mahal, porsinya
terlalu banyak atau terlalu sedikit belum lagi
kalau nasinya lembek, dan terlalu berminyak.
Kalau ingin merasakan nasi goreng yang sesuai dengan kemauan kita
baik dari porsi maupun rasa,
lebih baik memasaknya sendiri.
Bahannya mudah untuk didapatkan, hanya bawang putih, bawang merah,
saus sesuai selera masing-masing,
mau ditambah sawi hijau, bakso ikan, telur ayam kampung, rumput laut,
silahkan pilih sendiri.
Intinya kalau masak sendiri,
kita bakal tahu persis bahan apa saja yang dipakai,
bagaimana cara memasaknya dan mengatur rasanya sesuai
dengan selera kita.
Memasak adalah hal yang jauh dari pikiran saya dulu,
tapi sekarang...
paling tidak seminggu dua kali pasti saya memasak.
Bukan berarti
saya melakukan semua ini karena ingin disayang mertua,
saya memasak,
ya karena saya suka dengan aktivitas ini sekaligus mengembangkan
talenta yang sudah diberikan oleh Tuhan.
Yang masih ragu-ragu untuk mulai memasak,
uhm...rasa itu takkan beranjak sebelum kita sendiri mau memulainya.
Mumpung masih sehat, masih bisa beraktivitas,
cobalah sebanyak mungkin kegiatan yang positif,
dan berguna bagi orang lain,
selamat memasak ;)
Monday, March 24, 2014
Wednesday, March 19, 2014
Tukang ojek langganan
matahari bersinar terang, ditambah suara ayam-ayam saling
berkokok bersahut-sahutan...
seakan mereka sedang bercakap-cakap.
Beberapa barang seperti baju, bantal, guling, kasur,
boneka, dan makanan seperti kerupuk
sedang dihangatkan di bawah terik matahari
oleh para pemiliknya.
Sebuah motor berwarna biru,
berhenti di rumah pertama...tak lama kemudian
seseorang yang duduk di bangku belakang
membayar ongkos pada pengemudi motor.
Tanpa berlama-lama tukang ojek itu segera meninggalkan
bapak yang tangan kanannya memegang walky talky itu.
Lelaki setengah baya itu membunyikan gembok yang masih
tergantung di pagar,
dia berpakaian rapi, serta membawa dua tas plastik
yang kemungkinan besar berisi makanan.
Usianya sekitar 57 tahun, kulitnya gelap, rambutnya sudah mulai
menipis, kantung matanya sangat tebal juga hitam,
namun perawakannya masih tegap dan nampak sehat.
Bapak itu hanya menunggu sekitar 10 detik sebelum
sang pemilik rumah membukakan pagar untuknya.
Wanita itu biasa dipanggil ibu,
oleh para tetangganya.
Diusia 52 tahun, tubuhnya masih bugar,
parasnya cantik, kulitnya terawat,
caranya berpakaian juga modis,
meskipun sedikit keriput di bawah matanya,
dan sekitar tulang pipi.
Ibu cantik hanya tinggal sendirian di rumah,
3 anaknya memilih tinggal di rumah yang berbeda.
Rumahnya kecil, namun tertata rapi,
penuh dengan barang-barang kesukaannya seperti
baju, piring dan gelas cantik, juga beragam toples untuk kue kering.
Halaman depannya penuh dengan tumbuh-tumbuhan,
dan bangku yang sengaja dicat warna-warni
mirip dengan bangku yang ada di taman kanak-kanak.
Ibu suka membersihkan dan merapikan rumah,
rutinitasnya sepulang kerja adalah
menyapu, mengepel, menyiram tanaman,
tak heran rumahnya selalu nampak rapi,
lantainya juga bersih dan wangi.
Meskipun berada di satu kota kecil seperti Salatiga,
ketiga anaknya jarang berkunjung,
mereka hanya datang sesekali,
kadang menginap tapi hanya untuk semalam.
Suasana di rumah itu cenderung tenang, sepi,
tak ada celotehan anak kecil dan bau masakan
yang berasal dari dapur seperti rumah-rumah para tetangganya.
Ibu itu rajin beribadah secara pribadi maupun berkelompok,
dia cukup aktif bergabung di beberapa kegiatan gereja,
di rumahnya pun ada satu meja untuk menata ornamen-ornamen
keyakinannya.
Cara bicaranya santun, nadanya rendah, tata bahasanya juga bagus,
kalimat per kalimat yang diucapkannya
sering diselingi kalimat motivasi yang kerap dihubungkannya
dengan religi.
Ibu juga terkenal ramah dan murah hati,
sering memberi makanan untuk tetangganya,
makanan berat sampai camilan,
ditambah lagi wajah ibu selalu tersenyum
bila ada orang yang lewat di depan rumahnya.
Tatanan rumahnya sangat rapi,
dua kasur yang ada di kamar mungilnya ditata sedemikian rupa,
warna sprei dan selimut senada,
bantal, guling yang diletakkan pada posisi sejajar,
meja riasnya juga sangat rapi,
tak ada sedikitpun debu menempel disana.
Kamar mandinya juga enak untuk dilihat,
warna bak dengan gayung yang senada,
dilengkapi dengan vas kecil berisi bunga-bunga hidup.
Rumahnya tak terlalu besar,
satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur,
namun dengan kepandaian ibu untuk menatanya,
rumah tersebut mungkin saja nyaman untuk ditinggali.
Rupanya ibu itu adalah seorang guru,
di sebuah SLTP negeri.
Sehari-harinya dia mengajar dari jam 8 sampai jam 2 sore,
kalaupun harus overtime,
kemungkinan besar dia tiba di rumah sekitar jam 5 sore.
Setelah itu,
sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah,
kadang-kadang membaca koran di teras,
sambil menikmati secangkir minuman hangat.
Namun sayang,
di rumah yang sudah ditata dengan rapi tersebut,
ibu sering merasa tidak nyaman.
Tidak nyaman dalam artian,
sering tiba-tiba terbangun tengah malam,
atau seringkali jam 3 subuh sudah kaget terbangun
dari tidurnya yang tak begitu nyenyak.
Dia sering berdoa tengah malam,
di teras depan,
sendirian hanya ditemani angin malam.
Tatapan matanya sering tidak fokus,
setiap kali diajak bicara, bola matanya
berlari-lari, tak bisa diam...
Ibu sering curiga pada orang lain,
pada tetangganya, apa kira-kira yang dibicarakan,
apa yang dibahas oleh para tetangganya
tentang dirinya.
Sering terlontar pertanyaan seperti,
apa yang mereka bicarakan?
apa pendapat mereka tentang ibu?
seakan-akan pertanyaan itu menggambarkan
isi hati dan pikiran ibu.
Bahkan tak segan-segan ibu bertanya pada satu atau dua tetangganya
untuk mengetahui,
apa saja yang orang lain bicarakan mengenai dirinya dan kehidupannya.
Memang pada kenyataannya,
kehidupan ibu agak mengundang kontroversi
bagi orang-orang di sekitarnya.
Konon katanya ibu sudah tidak lagi bersama
suami, a.k.a ayah dari ketiga anaknya itu.
Kabar lain mengatakan,
bahwa mereka sudah lama berpisah, dan ketiga anaknya
memilih untuk ikut ayah mereka,
karena ibu terlalu cerewet dan pelit.
Cerewet karena hal-hal kecil pun dipermasalahkan
oleh ibu,
seperti halaman rumah yang sedikit kotor lalu,
tatanan bantal sofa di ruang tamu yang tak sesuai keinginannya,
lalu peletakkan piring dan gelas yang kurang rapi menurutnya.
Dari hal-hal sepele tersebut,
anak-anaknya memilih untuk menjauh, dan hanya sesekali
mengunjunginya sekedar bersilaturahmi atau makan bersama.
Ibu sering merasa rumput tetangga lebih hijau,
contohnya...
para ibu-ibu di perumahan tempat dia tinggal ada beberapa
yang bisa menyetir mobil,
dengan semangat penuh, ibu pun ingin membeli mobil
second hand agar dia bisa mengendarai mobil juga
seperti ibu-ibu yang lain.
Walaupun jelas-jelas tak ada lahan untuk garasi ataupun
untuk memarkir mobil,
perumahan itu sempit, dua mobil takkan bisa lewat bersamaan,
ditambah lagi jalanannya yang bergelombang,
polisi tidur yang sudah rusak tak diperbaiki juga
bebatuan yang tersebar kemana-mana.
Sepertinya dia kurang puas dengan apa yang dimilikinya,
hingga seringkali sibuk membandingkan dirinya dengan orang lain,
membandingkan apa yang dia punya dengan apa yang dipunyai
orang lain,
belum mengertikah dia...bahwa membandingkan adalah
aktivitas yang melelahkan badan dan pikiran.
Ibu kerap kali berprasangka,
berprasangka pada lingkungan dan penghuninya,
prasangka itu kadang dia ucapkan,
kadang dia bawa prasangkanya dalam jam-jam doanya.
Ibu berpikir,
kemungkinan besar para tetangganya tahu tentang sesuatu
yang penting tentabg dirinya,
ibu merasa seolah-olah
dia diamati, disorot, dibicarakan.
Dia berpikir,
kehidupannya menjadi sasaran empuk untuk dibahas
oleh orang lain,
dan akan lebih baiknya lagi
kalau dia bisa mengetahui apa-apa saja yang
diperguncingkan mengenai dirinya.
Siapa bapak itu?
mengapa sering datang berkunjung kalau bukan suaminya,
mengapa ibu kerap kali terlihat memakai baju seksi
bila sedang bersamanya?
ada apa dibalik kunjungan bapak?
Para tetangganya mungkin saja
sudah menebak-nebak, bertanya-tanya,
namun mereka juga bertahan dengan prasangkanya
masing-masing.
Ada empat kursi kayu di teras itu,
juga beberapa tumbuhan hiasan di sekitarnya.
Tumbuhan hiasan itu ada yang berwarna orange, ada yang berwarna
hijau,
ibu menata teras kecil itu sedemikian rupa agar tampak menarik.
Persis di depannya ada sebuah meja kayu,
yang diatasnya ada toples kecil berisi permen,
juga beberapa tabloid khusus wanita.
Sayup-sayup terdengar suara berat dari bapak,
dan bau asap rokok yang mengelilinginya.
Ah iya bapak,
bapak yang tak bisa dipastikan kapan akan datang,
kapan mau pulang.
Pernah datang jam 9 pagi,
sampai jam 5 sore baru pulang.
Pernah juga jam 2 siang baru datang,
sampai jam 7 malam lalu akhirnya pulang,
setiap kali pulang, tangan bapak melambai pada ibu..
Tukang ojek yang mengantar dan menjemputnya selalu sama,
memakai jaket kulit yang sudah lusuh,
berwarna hitam,
senada dengan warna helm yang dipakainya.
Setiap kali datang menjemput,
tukang ojek itu berhenti di depan pagar ibu,
sembari sibuk mengetik sms, entah akan dikirim untuk siapa...
Terkadang tukang ojek itu harus menunggu lama,
sampai 20 menit pun pernah,
namun keesokan harinya
bapak tetap datang dengan tukang ojek yang sama,
sungguh setia mengantar dan menunggu langganannya.
Sepertinya tukang ojek itu sudah dipercaya oleh bapak,
untuk mengantar dan menjemputnya.
Entah kenapa,
bapak tak pernah mengendarai motor atau mobil
untuk berkunjung ke rumah ibu.
Biarlah itu hanya mereka bertiga yang
tahu persis jawabannya.
Bapak cenderung pemalu,
tidak seperti ibu yang sangat ramah pada para tetangganya,
bapak pendiam, dan terburu-buru masuk
apabila ada orang yang melihat kehadirannya.
Sesekali bapak pernah menyapa, dan berbincang,
namun malah terkesan berbasa-basi yang mudah
dimengerti.
Saat salah satu anak ibu datang berkunjung dan menginap,
bapak tidak datang sesering biasanya,
kalaupun datang, hanya ngobrol di teras saja,
tidak masuk ke dalam rumah.
Pernah di hari sabtu sore,
saat salah satu sedang berada di rumah,
setelah mandi ibu memakai baju baru dan berdandan cantik,
lipstiknya merah menyala,
belahan dadanya agak terlihat dari balik pakaiannya,
ternyata...
tak lama kemudian,
tukang ojek yang membawa penumpangnya berhenti
persis di depan rumah.
Ibu rupanya ingin menyambut tamunya dengan istimewa...
Beberapa kali,
saat mengantar kepergian bapakndari teras rumahnya,
ibu terlihat memakai kimono mandi transparan,
warna tepiannya merah muda,
warna tengahnya putih bermotif bunga mawar,
tampaknya kimono itu sudah usang dimakan waktu,
warnanya memudar, dan semakin menampakkan
warna kulit ibu.
Ibu mengantarkan kepergian bapak,
dengan penuh kasih memandangnya sampai
tukang ojek tak lagi nampak dari pandangannya.
Sedangkan menurut pengakuan dari salah satu anaknya,
bapak itu bukan ayahnya...
Dari ucapannya,
anaknya juga tak terlalu suka, tak terlalu mau tahu
identitas bapak yang sebenarnya.
Akhir-akhir ini bapak tetap sering datang,
dengan waktu yang tak bisa dipastikan,
kalau dia belum sempat datang,
maka bapak akan menelfon ibu untuk sekedar
bertanya kabar dan keadaan.
Entah apa yang membuat bapak tidak pindah,
tinggal bersama dengan ibu..
hanya mereka bertiga yang tahu..
oh sungguh..
hanya bapak, ibu, dan tukang ojek yang tahu benar
apa yang sedang mereka lakukan.
Semoga memang tukang ojek itu
bisa menjaga rahasia ini dengan nyawanya.
Sunday, March 9, 2014
Sah!
Formulir berupa selembar kertas itu tersedia dalam
jumlah yang sangat banyak.
Tiap kali ada yang ingin mengisinya,
lembaran kertas itu selalu siap sedia.
Hebat juga nih, dalam selembar kertas saja
langsung bisa diketahui identitas lengkap
dari seseorang dan bahkan orang tuanya.
Jadi, formulir yang banyak berisikan titik-titik itu
harus diisi dengan jawaban yang sebenar-benarnya.
Kolom demi kolom yang harus diisi,
menguak satu demi satu data pribadi,
ah semoga sang pengelola formulir adalah
orang yang bertanggung jawab.
Yang kali ini sudah untuk kesekian kali saya mengambil
lembaran formulir,
beberapa bulan lalu...saya pernah melakukannya
namun batal, saya malas beranjak mengurusnya.
Entah mendapat inspirasi darimana,
di suatu siang saat hampir mulai jam siaran,
saya pergi ke kantor administrasi, meminta kembali
lembaran formulir yang baru.
Dengan cekatan saya isi satu demi satu,
sentuhan akhirnya adalah menempelkan foto
berukuran 3 × 4,
yang menurut saya sama sekali nggak keren.
Foto 3 × 4 tanpa make up, wajah cemberut sekaligus
berminyak karena kepanasan,
ya sudah bagaimanapun rupa saya dalam foto itu,
tetap saya tempelkan, karena merupakan
syarat wajib!
Formulir pun terisi penuh dengan jawaban dan dilengkapi
dengan foto,
sesegera mungkin saya serahkan kembali ke bagian administrasi,
that's it.
Saya harus menunggu formulir itu diproses
untuk melangkah ke next level.
Dari kecil,
saya tak tahu banyak hal dengan detail.
Orang-orang disekitar saya tak pernah memberi jawaban
yang memuaskan dahaga akan banyak hal.
Ibu selalu bilang...
ah udah nggak usah cerewet dan banyak tanya!
Mungkin beliau sudah lelah menjawab beraneka macam
pertanyaan yang tak habis-habisnya dari saya.
Sudah sangat lama saya bertanya-tanya,
mengapa saya harus beragam?
mengapa harus agama ini?
uhm...
mengapa tempat beribadahnya harus di tempat
yang sama dengan keluarga?
Ibu tak habis pikir, mengapa saya begitu jauh
dalam memikirkan sesuatu.
Saat umur 12 tahun,
saya dan beberapa teman tergabung dalam
sebuah kelompok pembelajaran tentang agama.
Sayang sekali dari situ saya juga belum terlalu
paham,
dan yang lebih penting, saya belum mendapat jawaban
dari pertanyaan yang bercokol dalam pikiran.
Bagaimana mungkin mau mengaku percaya,
kalau saya belum terlalu paham,
apa-apa saja yang diajarkan,
dan kegundahan dalam hati juga tak kunjung mendapat jawaban.
Ibu lah yang menghantarkan saya menuju tahapan itu,
maka...2 kali dalam seminggu saya bersedia mengikuti
pelajaran agama di gereja.
Selama pelajaran tersebut,
saya berusaha keras untuk memusatkan konsentrasi,
mencatat apa-apa saja yang dibicarakan oleh
pak pendeta.
Alhasil, catatan milik saya menjadi catatan yang paling
favorit selama satu periode pelajaran agama itu,
karena yang saya tulis lengkap, dan tulisannya saya enak
untuk dibaca.
Buku catatan boleh penuh,
tidak demikian dengan hati saya...
lagi-lagi saya mengikuti semua proses ini juga karena prosedur saja.
Saat pak pendeta bilang pelajaran agama telah usai,
saya merasa sangat sedih...dan dalam hati bertanya,
sudah...segini doank?
lalu bagaimana pertanyaan-pertanyaan intinya?
saya sangat tak terpuaskan,
pak pendeta hanya membahas sakramen-sakramen
yang memang wajib dilakukan oleh anggota gereja.
Gejolak dihati bertambah besar,
dan posisi saya terhimpit oleh
keinginan orang tua dan proses dari gereja.
Ibu sudah mempersiapkan gaun baru untuk saya,
berwarna putih dan modelnya sangat anggun,
yang dibuat oleh satu penjahit ternama di kala itu.
Kembali lagi saya dibuat galau,
kenapa harus gaun?
memangnya saya ingin pakai gaun?
atau ibu ingin saya terlihat cantik di hari itu?
Ya tentu saja,
hari dimana saya akan maju di altar dengan
didampingi kedua orang tua untuk
mendapat sedikit cipratan air ajaib dari pak pendeta.
Pertanyaan yang membuat gundah gulana itu
saya simpan...
sembari berharap suatu hari akan terjawab.
Menurut saya kegundahan yang telah lama terpendam itu,
bukanlah kegundahan biasa yang bisa reda hanya
dengan melamun sepanjang hari seperti
orang terpesona.
Hal-hal dasar yang saya pertanyakan tersebut
adalah hal dasar yang sangat penting,
bagaimana mungkin kita akan mempercayai sesuatu,
tanpa mengetahuinya dengan detail?
Mungkin waktu kecil, saya dan anda tidak berdaya
untuk mencari tahu tentang banyak hal,
dengan berjalannya waktu...
umur bertambah, cara berpikir juga berubah.
Yang banyak membantu saya,
adalah kegemaran membaca,
dari situ saya banyak mengetahui dengan detail
hal yang selama ini mengakibatkan kegundahan.
Percaya akan sesuatu,
misalnya percaya akan seseorang untuk menjadi
kekasih atau bahkan suami atau istri...
Tentu saja saya dan anda akan berusaha mencari tahu
tentang seseorang itu,
apa makanan kesukannya, hobbynya, impiannya,
pekerjaannya, dan kebiasaan yang lain.
Memang manusia selalu berubah,
tapi paling tidak kita harus mengenal dengan baik
pada siapa kita percaya.
Dulu wajah saya bermasalah,
banyak flek hitam, bintik merah pokoknya
kurang sedap dipandang.
Itu karena salah saya sendiri,
dari remaja sampai kuliah saya malas memakai
tabir surya dan dengan cueknya
berada di bawah panas matahari untuk waktu yang lama.
Hasilnya flek hitam banyak menghiasai pipi,
dan disaat saya sadar untuk memakai cream tabir surya,
flek itu sudah terlalu bandel dan tak bisa dihilangkan.
Beberapa merk terkenal, harga mahal,
tetap saja belum berhasil.
Sampai pada saat ada satu klinik kecantikan yang
cukup terkenal di beberapa kota besar,
dan saya pun berminat untuk mencobanya.
Awalnya saya
sempat ragu, apakah obat dari klinik ini berhasil
menghilangkan noda fkek hitam.
Awalnya wajah saya difoto, lalu ditunjukkan titik-titik
hitamnya, komedo di sekitar hidung,
dan juga dijelaskan,
apa sih yang menyebabkan flek hitam,
lalu cara mengobatinya.
Penjelasan dokter dari klinik itu cukup jelas,
sehingga saya percaya untuk mencobanya,
walaupun harus membayar mahal.
Buktinya flek hitam mulai memudar
kemudian hilang dari wajah saya,
wah...produk bagus nih,
layak untuk direkomendasikan :)
Percaya pada seseorang atau pada produk tertentu
memang perlu bukti,
dan saya tak boleh malas untuk mencari, mengamati,
mempelajari semuanya itu.
Apalagi yang saya yakini dalam hati,
membimbing dan menerangi saya dalam
kegelapan.
Wah itu namanya pencarian seumur hidup,
memang takkan berhenti selagi masih hidup.
Seperti cerita saya tentang klinik kecantikan tadi,
saya percaya...memakai obatnya, turut bergabung dalam keanggotaan,
dan berangsur-angsur wajah menjadi lebih baik.
Pernah saya singgung di blog sebelumnya bahwa
iman saya adalah iman turunan,
orang tua saya beragama itu,
ya anaknya pasti diarahkan pada keyakinan yang sama juga.
Sewaktu jecil,
saya hanya bisa menerima mentah-mentah apa saja
yang disodorkan,
sampai pada masa saya menjadi seorang kutu buku cantik.
Banyak hal yang saya lahap dari buku-buku,
pengetahuan tentang keyakinan,
mengapa harus meyakini sesuatu,
bagaimana kalau kita sudah meyakininya.
Saya yakin,
anda semua tahu bahwa di Indonesia ada beberapa
agama yang resmi di badan pemerintahan.
Saya menjadi pemeluk salah satu agama tersebut,
ya pada awalnya karena disuruh irang tua,
masak nggak beribadah?
masak nggak punya agama?
masak tak percaya adanya Tuhan?
ya ampun itu dosa.
Hhmmm agama yang saya yakini sejak kecil,
tidak berubah sampai sekarang.
Yang membuatnya berbeda adalah,
cara menjalani hidup sesuai dengan yang kita yakini.
Kalau dulu masih dipilihkan oleh orang tua,
kali ini...
saya memilihnya sendiri dengan kesadaran penuh.
Karena saya telah membuktikan, mempelajari,
merenungkan, menyimpulkan...
bahwa satu itu yang saya yakini.
Mantap dengan pilihan tersebut
karena saya tak sembarangan memilih,
dan sudah melalui pertimbangan yang masak.
Hal ini penting,
karena apa yang saya yakini,
dan bagaimana saya meyakininya
itulah yang menentukan bagaimana
masa depan saya.
Jadi,
kalau anda sedang galau dalam memilih sesuatu yang penting
apapun itu..pasangan hidup, keyakinan,
orientasi seksual,
pertimbangkan dengan matang,
karena itu akan memberi pengaruh besar bagi diri anda ke depannya.
Foto yang ada di blog ini,
adalah akte baptis yang diberikan oleh gereja,
ya namanya gereja adalah satu lembaga yang isinya juga
manusia,
banyak kekeliruan, banyak kesalahan,
maka dari itu yang saya yakini bukan ajaran gerejanya,
namun ajaran Tuhan yang maha besar.
Kebetulan tempat saya tumbuh dan berkembang
yaitu di gereja yang tertulis di akte tersebut,
maka saya mantapkan pilihan yang saya yakini
dengan di baptis.
Semoga apa yang saya yakini bisa membawa dampak baik untuk
orang-orang yang ada di sekitar,
seperti yang saya bilang tadi,
bagaimana cara kita meyakini sesuatu juga penting.
Kalau sudah memilih keyakinan, so what??
mau memaksa orang lain agar memiliki keyakinan yang sama?
nggak mungkinlah..
Justru saat saya sudah memilih satu jeyakinan,
saya berusaha tidak setengah hati,
tidak hangat-hangat tahi ayam...
masih hangat masih semangat,
kalau sudah lama, jenuh, lalu tak yakin lagi.
Mari kita sama-sama menilik kembali dalam hati,
jikalau sudah memilih satu keyakinan,
apa langkah selanjutnya?
langkah untuk diri sendiri dan sesama.
Bila ada yang belum menentukan pilihan,
tak ada kata terlambat untuk mencari tahu dengan
lebih detail pilihan mana saja yang akan ditelusuri
lebih lanjut.
Jangan pernah takut untuk memilih,
karena saya dan anda sudah lebih dulu dipilih untuk dilahirkan
ke dunia ini,
jadi memilihlah dengan dilengkapi pengetahuan.
Sah sudah apa yang saya yakini,
sah dalam hati, sah di lembaga yang memfasilitasinya.
Apapun yang nantinya kita pilih untuk diyakini,
bagaimana baik buruknya,
apa saja kekurangannya,
coba jujur pada diri sendiri..
disitu akan bertemu jawaban yang diinginkan.
Selamat memilih :)
jumlah yang sangat banyak.
Tiap kali ada yang ingin mengisinya,
lembaran kertas itu selalu siap sedia.
Hebat juga nih, dalam selembar kertas saja
langsung bisa diketahui identitas lengkap
dari seseorang dan bahkan orang tuanya.
Jadi, formulir yang banyak berisikan titik-titik itu
harus diisi dengan jawaban yang sebenar-benarnya.
Kolom demi kolom yang harus diisi,
menguak satu demi satu data pribadi,
ah semoga sang pengelola formulir adalah
orang yang bertanggung jawab.
Yang kali ini sudah untuk kesekian kali saya mengambil
lembaran formulir,
beberapa bulan lalu...saya pernah melakukannya
namun batal, saya malas beranjak mengurusnya.
Entah mendapat inspirasi darimana,
di suatu siang saat hampir mulai jam siaran,
saya pergi ke kantor administrasi, meminta kembali
lembaran formulir yang baru.
Dengan cekatan saya isi satu demi satu,
sentuhan akhirnya adalah menempelkan foto
berukuran 3 × 4,
yang menurut saya sama sekali nggak keren.
Foto 3 × 4 tanpa make up, wajah cemberut sekaligus
berminyak karena kepanasan,
ya sudah bagaimanapun rupa saya dalam foto itu,
tetap saya tempelkan, karena merupakan
syarat wajib!
Formulir pun terisi penuh dengan jawaban dan dilengkapi
dengan foto,
sesegera mungkin saya serahkan kembali ke bagian administrasi,
that's it.
Saya harus menunggu formulir itu diproses
untuk melangkah ke next level.
Dari kecil,
saya tak tahu banyak hal dengan detail.
Orang-orang disekitar saya tak pernah memberi jawaban
yang memuaskan dahaga akan banyak hal.
Ibu selalu bilang...
ah udah nggak usah cerewet dan banyak tanya!
Mungkin beliau sudah lelah menjawab beraneka macam
pertanyaan yang tak habis-habisnya dari saya.
Sudah sangat lama saya bertanya-tanya,
mengapa saya harus beragam?
mengapa harus agama ini?
uhm...
mengapa tempat beribadahnya harus di tempat
yang sama dengan keluarga?
Ibu tak habis pikir, mengapa saya begitu jauh
dalam memikirkan sesuatu.
Saat umur 12 tahun,
saya dan beberapa teman tergabung dalam
sebuah kelompok pembelajaran tentang agama.
Sayang sekali dari situ saya juga belum terlalu
paham,
dan yang lebih penting, saya belum mendapat jawaban
dari pertanyaan yang bercokol dalam pikiran.
Bagaimana mungkin mau mengaku percaya,
kalau saya belum terlalu paham,
apa-apa saja yang diajarkan,
dan kegundahan dalam hati juga tak kunjung mendapat jawaban.
Ibu lah yang menghantarkan saya menuju tahapan itu,
maka...2 kali dalam seminggu saya bersedia mengikuti
pelajaran agama di gereja.
Selama pelajaran tersebut,
saya berusaha keras untuk memusatkan konsentrasi,
mencatat apa-apa saja yang dibicarakan oleh
pak pendeta.
Alhasil, catatan milik saya menjadi catatan yang paling
favorit selama satu periode pelajaran agama itu,
karena yang saya tulis lengkap, dan tulisannya saya enak
untuk dibaca.
Buku catatan boleh penuh,
tidak demikian dengan hati saya...
lagi-lagi saya mengikuti semua proses ini juga karena prosedur saja.
Saat pak pendeta bilang pelajaran agama telah usai,
saya merasa sangat sedih...dan dalam hati bertanya,
sudah...segini doank?
lalu bagaimana pertanyaan-pertanyaan intinya?
saya sangat tak terpuaskan,
pak pendeta hanya membahas sakramen-sakramen
yang memang wajib dilakukan oleh anggota gereja.
Gejolak dihati bertambah besar,
dan posisi saya terhimpit oleh
keinginan orang tua dan proses dari gereja.
Ibu sudah mempersiapkan gaun baru untuk saya,
berwarna putih dan modelnya sangat anggun,
yang dibuat oleh satu penjahit ternama di kala itu.
Kembali lagi saya dibuat galau,
kenapa harus gaun?
memangnya saya ingin pakai gaun?
atau ibu ingin saya terlihat cantik di hari itu?
Ya tentu saja,
hari dimana saya akan maju di altar dengan
didampingi kedua orang tua untuk
mendapat sedikit cipratan air ajaib dari pak pendeta.
Pertanyaan yang membuat gundah gulana itu
saya simpan...
sembari berharap suatu hari akan terjawab.
Menurut saya kegundahan yang telah lama terpendam itu,
bukanlah kegundahan biasa yang bisa reda hanya
dengan melamun sepanjang hari seperti
orang terpesona.
Hal-hal dasar yang saya pertanyakan tersebut
adalah hal dasar yang sangat penting,
bagaimana mungkin kita akan mempercayai sesuatu,
tanpa mengetahuinya dengan detail?
Mungkin waktu kecil, saya dan anda tidak berdaya
untuk mencari tahu tentang banyak hal,
dengan berjalannya waktu...
umur bertambah, cara berpikir juga berubah.
Yang banyak membantu saya,
adalah kegemaran membaca,
dari situ saya banyak mengetahui dengan detail
hal yang selama ini mengakibatkan kegundahan.
Percaya akan sesuatu,
misalnya percaya akan seseorang untuk menjadi
kekasih atau bahkan suami atau istri...
Tentu saja saya dan anda akan berusaha mencari tahu
tentang seseorang itu,
apa makanan kesukannya, hobbynya, impiannya,
pekerjaannya, dan kebiasaan yang lain.
Memang manusia selalu berubah,
tapi paling tidak kita harus mengenal dengan baik
pada siapa kita percaya.
Dulu wajah saya bermasalah,
banyak flek hitam, bintik merah pokoknya
kurang sedap dipandang.
Itu karena salah saya sendiri,
dari remaja sampai kuliah saya malas memakai
tabir surya dan dengan cueknya
berada di bawah panas matahari untuk waktu yang lama.
Hasilnya flek hitam banyak menghiasai pipi,
dan disaat saya sadar untuk memakai cream tabir surya,
flek itu sudah terlalu bandel dan tak bisa dihilangkan.
Beberapa merk terkenal, harga mahal,
tetap saja belum berhasil.
Sampai pada saat ada satu klinik kecantikan yang
cukup terkenal di beberapa kota besar,
dan saya pun berminat untuk mencobanya.
Awalnya saya
sempat ragu, apakah obat dari klinik ini berhasil
menghilangkan noda fkek hitam.
Awalnya wajah saya difoto, lalu ditunjukkan titik-titik
hitamnya, komedo di sekitar hidung,
dan juga dijelaskan,
apa sih yang menyebabkan flek hitam,
lalu cara mengobatinya.
Penjelasan dokter dari klinik itu cukup jelas,
sehingga saya percaya untuk mencobanya,
walaupun harus membayar mahal.
Buktinya flek hitam mulai memudar
kemudian hilang dari wajah saya,
wah...produk bagus nih,
layak untuk direkomendasikan :)
Percaya pada seseorang atau pada produk tertentu
memang perlu bukti,
dan saya tak boleh malas untuk mencari, mengamati,
mempelajari semuanya itu.
Apalagi yang saya yakini dalam hati,
membimbing dan menerangi saya dalam
kegelapan.
Wah itu namanya pencarian seumur hidup,
memang takkan berhenti selagi masih hidup.
Seperti cerita saya tentang klinik kecantikan tadi,
saya percaya...memakai obatnya, turut bergabung dalam keanggotaan,
dan berangsur-angsur wajah menjadi lebih baik.
Pernah saya singgung di blog sebelumnya bahwa
iman saya adalah iman turunan,
orang tua saya beragama itu,
ya anaknya pasti diarahkan pada keyakinan yang sama juga.
Sewaktu jecil,
saya hanya bisa menerima mentah-mentah apa saja
yang disodorkan,
sampai pada masa saya menjadi seorang kutu buku cantik.
Banyak hal yang saya lahap dari buku-buku,
pengetahuan tentang keyakinan,
mengapa harus meyakini sesuatu,
bagaimana kalau kita sudah meyakininya.
Saya yakin,
anda semua tahu bahwa di Indonesia ada beberapa
agama yang resmi di badan pemerintahan.
Saya menjadi pemeluk salah satu agama tersebut,
ya pada awalnya karena disuruh irang tua,
masak nggak beribadah?
masak nggak punya agama?
masak tak percaya adanya Tuhan?
ya ampun itu dosa.
Hhmmm agama yang saya yakini sejak kecil,
tidak berubah sampai sekarang.
Yang membuatnya berbeda adalah,
cara menjalani hidup sesuai dengan yang kita yakini.
Kalau dulu masih dipilihkan oleh orang tua,
kali ini...
saya memilihnya sendiri dengan kesadaran penuh.
Karena saya telah membuktikan, mempelajari,
merenungkan, menyimpulkan...
bahwa satu itu yang saya yakini.
Mantap dengan pilihan tersebut
karena saya tak sembarangan memilih,
dan sudah melalui pertimbangan yang masak.
Hal ini penting,
karena apa yang saya yakini,
dan bagaimana saya meyakininya
itulah yang menentukan bagaimana
masa depan saya.
Jadi,
kalau anda sedang galau dalam memilih sesuatu yang penting
apapun itu..pasangan hidup, keyakinan,
orientasi seksual,
pertimbangkan dengan matang,
karena itu akan memberi pengaruh besar bagi diri anda ke depannya.
Foto yang ada di blog ini,
adalah akte baptis yang diberikan oleh gereja,
ya namanya gereja adalah satu lembaga yang isinya juga
manusia,
banyak kekeliruan, banyak kesalahan,
maka dari itu yang saya yakini bukan ajaran gerejanya,
namun ajaran Tuhan yang maha besar.
Kebetulan tempat saya tumbuh dan berkembang
yaitu di gereja yang tertulis di akte tersebut,
maka saya mantapkan pilihan yang saya yakini
dengan di baptis.
Semoga apa yang saya yakini bisa membawa dampak baik untuk
orang-orang yang ada di sekitar,
seperti yang saya bilang tadi,
bagaimana cara kita meyakini sesuatu juga penting.
Kalau sudah memilih keyakinan, so what??
mau memaksa orang lain agar memiliki keyakinan yang sama?
nggak mungkinlah..
Justru saat saya sudah memilih satu jeyakinan,
saya berusaha tidak setengah hati,
tidak hangat-hangat tahi ayam...
masih hangat masih semangat,
kalau sudah lama, jenuh, lalu tak yakin lagi.
Mari kita sama-sama menilik kembali dalam hati,
jikalau sudah memilih satu keyakinan,
apa langkah selanjutnya?
langkah untuk diri sendiri dan sesama.
Bila ada yang belum menentukan pilihan,
tak ada kata terlambat untuk mencari tahu dengan
lebih detail pilihan mana saja yang akan ditelusuri
lebih lanjut.
Jangan pernah takut untuk memilih,
karena saya dan anda sudah lebih dulu dipilih untuk dilahirkan
ke dunia ini,
jadi memilihlah dengan dilengkapi pengetahuan.
Sah sudah apa yang saya yakini,
sah dalam hati, sah di lembaga yang memfasilitasinya.
Apapun yang nantinya kita pilih untuk diyakini,
bagaimana baik buruknya,
apa saja kekurangannya,
coba jujur pada diri sendiri..
disitu akan bertemu jawaban yang diinginkan.
Selamat memilih :)
Thursday, March 6, 2014
Untuk apa dan siapa?
Ruangan itu hanya seukuran satu kamar besar,
dengan kursi dan meja kayu yang memanjang.
Tempat yang selalu ramai dikunjungi setiap minggu,
oleh anak-anak bersama ibu maupun baby sitternya.
Seperti sepetak kamar yang terletak di samping bangunan
utama gereja...
yang hanya muat untuk 13 anak kecil, dan 2 gurunya.
Ya....itu dia gambaran sederhana tentang tempat sekolah minggu
di masa kanak-kanak dulu.
Saya tak terlalu ingat, bagaimana hari pertama bergabung dalam
kelas itu,
yang jelas keyakinan yang saya miliki sekarang adalah
turunan dari nenek, orang tua, dan pastinya
saya diarahkan untuk meyakini hal yang sama.
Hampir setiap minggu ibu selalu menyediakan baju baru
khusus untuk dipakai ke gereja,
kata ibu...beliau akan terus membelikan baju baru namun
harus dipakai untuk ke gereja.
Wow! bahkan sampai dewasa saya terbawa dengan kebiasaan boros seperti
itu,
beli baju baru untuk pergi beribadah.
Saat masih anak-anak dulu, saya selalu menantikan
hari minggu,
saatnya ke gereja, bertemu teman-teman, makan snack
yang sudah dibawa dan bernyanyi bersama.
Saya masih belum paham, apa arti dan tujuan yang
mendasari semua itu,
yang penting pergi keluar, bertemu teman dan makan-makan..
bukankah itu menyenangkan?!
Jadi setiap kali saya akan pergi ke gereja,
selain baju baru, ibu juga menyiapkan bekal makanan
untuk dibawa.
Saya bersama beberapa teman seumuran baik cewek maupun
cowok membaur jadi satu,
tapi jumlah cewek jauh lebih banyak dibandingkan cowok.
Ada satu teman, sebut saja namanya Tia...
dia merupakan primadona di kelas sekolah minggu kami.
Baju-baju dan tasnya bagus, demikian juga alat tulisnya,
hhmmm maklumlah...Tia berasal dari keluarga kaya
pada jaman itu,
ayah ibunya berprofesi sebagai dokter.
Tia selalu bersama teman-teman dekatnya, dan salah satu dari
mereka adalah anak pendeta di gereja saya, sebut saja namanya Nia.
Tia dan Nia dan beberapa teman lainnya cenderung menutup
diri,
mereka kurang ramah terhadap kami semua.
Ayah Tia sering memberi sumbangan untuk gereja maupun
untuk keluarga pak pendeta,
di suatu minggu...Nia pernah memamerkan lampu belajar
berwarna biru dan satu set alat tulis yang keren,
dan dengan bangganya dia bilang bahwa hadiah itu
adalah pemberian ayahnya Tia.
Lama kelamaan saya berpikir,
enak ya jadi Tia, ayahnya punya banyak uang yang
bisa membelikan dia barang-barang yang wow banget,
disamping itu...
enak ya jadi anak pendeta, karena sering dapat pemberian dari
jemaat,
kan lumayan tuh dapat gratisan berbagai macam barang.
Sampai kami beranjak remaja,
Tia masih seperti itu..ayahnya masih kaya, bajunya masih bagus,
wajahnya pun manis.
Dia jauh lebih cepat tumbuh dewasa daripada saya,
karena sewaktu kami retreat rohani kelas 4 SD,
Tia sudah menstruasi, wow!
bahkan saat itu saya masih belum paham,
apa itu menstruasi.
Nia masih nyaman menjalani perannya sebagai anak pendeta
yang dapat sumbangan ini itu,
dan saya tak pernah terlalu dekat dengan mereka.
Saya lebih suka bergaul dengan banyak orang,
cewek dan cowok asal asyik!
Keluarga Tia yang tersohor di gereja,
karena sering membantu pembangunan rumah ibadah,
dan memberi bantuan-bantuan yang lain.
Setiap minggu pak pendeta selalu mengumumkan sumbangan
yang masuk dan dari siapa,
mungkin memang peraturannya seperti itu, harus transparan.
Tak hanya keluarga Tia, namun juga beberapa keluarga kaya
yang tak segan-segan menyumbang uang maupun barang
untuk keperluan gereja.
Otomatis dengan sumbangan dan aliran dana,
para keluarga donatur mendapat perlakuan yang berbeda
dari pak pendeta dan para majelis gereja.
Senyuman yang mereka dapatkan special,
lebih ramah dan penuh antusias,
beda dengan keluarga non donatur...akan diperlakukan
biasa saja, tetap tersenyum, namun tak antusias.
Dulu saya tak peka dengan masalah seperti ini,
lama kelamaan heran juga..
mengapa pak pendeta begitu ramah dan terlihat sangat
menyayangi Tia?
mengapa perlakuan guru-guru juga berbeda pada Tia,
uhm..intinya Tia lebih disambut, dilibatkan dalam banyak hal,
dan lain sebagainya.
Saya berpikir, kenapa ya??
apa karena Tia itu paling menonjol, badannya yang tinggi dan bongsor
melebihi kami teman seusianya,
tapi bukankah guru sekolah minggu mengajarkan
untuk saling mengasihi sesama tanpa membedakan apapun,
nah kok saya merasa dibedakan ya?!
Kegalauan konyol saya berakhir saat ngobrol dengan ibu,
hhmm memang ibu adalah salah satu sumber jawaban..
beliau bilang..
Tia itu kan anaknya orang kaya, sering mendanai gereja,
jadi wajar kalau dia dapat perlakuan yang istimewa...
Jawaban ibu masih belum memuaskan saya,
kenapa kalau anaknya orang kaya?
emang kalau mendanai gereja lalu mendapatkan
perlakuan yang berbeda??
dengan kata lain...
haruskah menyumbang gereja dulu baru dapat
perlakuan istimewa??
hhhmmmm....
Kehidupan bergereja saya mulai tak bergairah semenjak
remaja,
saya pergi ke gereja karena ibu sudah mengomel.
Saya berpikir, untuk apa saya ke gereja mendengarkan
pak pendeta dan para majelis berkhotbah tentang sesuatu
yang mereka sendiri tidak menerapkannya.
It is kind of bull***t.
Dalam tahun-tahun terakhir saya bergereja di Salatiga,
sebuah gereja besar dengan jumlah jemaat mencapai ribuan orang.
Ternyata masalah yang ada juga hampir sama,
yang kaya, yang sering mendanai gereja, yang sering memberikan
bantuan terlihat sangat mencolok.
Dan tentu saja,
dapat perlakuan beda, lebih sering disambut dan diikutsertakan
dalam banyak hal.
Sebut saja namanya Mbak menor,
dandanannya sangat menor, setiap minggu sebelum berangkat
beribadah dia harus ke salon kecantikan terlebih dahulu,
untuk make up dan menata rambut.
Bayangkan, setiap minggu seperti itu,
wah..berarti orang kaya nih, dalam sebulan bisa
berkali-kali ke salon.
Mbak menor kulitnya putih, bedaknya putih, mobilnya
honda jazz warna putih,
bahkan smartphonenya yang berlambang sebuah apel
juga berwarna putih.
Mbak menor ramah pada orang-orang yang menyanjungnya,
bahkan dia tak segan-segan memberi barang dan mentraktir makan
di tempat yang mahal.
Berbahagialah wahai para kawan-kawan mbak menor!
Bahkan mbak menor diangkat menjadi pendeta pembantu,
yang bisa berkhotbah juga waktu ibadah,
luar biasa...
Sampai sekarang saya masih ingat bagaimana inti salah satu
khotbah yang disampaikan oleh mbak menor..
intinya adalah para wanita harus menerima apa adanya ciptaan Tuhan,
yang hitam biar hitam, tak perlu berusaha apalagi sampai
mengeluarkan uang lebih untuk beli produk pemutih
kulit wajah dan kulit badan.
Yang gemuk, yang kurus, yang keriting rambutnya, yang lurus rambutnya
biarlah alami tanpa polesan ini itu.
Khotbah tersebut disampaikannya pada sebuah acara radio,
dan sialnya pagi itu saya mendengarkan omong kosongnya.
Hhmmm padahal yang terjadi adalah,
Mbak menor sangat terobsesi untuk menjadi putih,
dia membeli sekaligus menggunakan beberapa
produk pemutih yang dioles, yang diminum, yang disuntikkan.
Hal itu bukan rahasia umum lagi,
para kru radio yang salah satunya adalah sahabat saya
menceritakan semuanya.
Alamak, bagaimana mungkin dia berkoar-koar tentang sesuatu
yang tidak dia terapkan terlebih dahulu untuk dirinya sendiri.
Mbak menor semakin terkenal, saat dia menyumbangkan sebuah mobil
daihatsu taruna untuk gereja,
dia menuai banyak rasa kagum, pujian, sanjungan,
dan eksistensinya sebagai pendeta pembantu pun semakin naik.
Sayang, semua hal itu tak dibarengi dengan kebijakan dan kerendahan hati,
dalam berbagai jesempatan,
secara terang-terangan mbak menor meremehkan bahkan menjelek-jelekkan
beberapa orang yang tudak disukainya.
Mbak menor pilih kasih,
dia hanya baik pada orang yang baik juga kepadanya,
kalau begitu tak perlu repot-repot jadi pendeta pembantu donk.
Waktu berlalu...
mbak menor galau, dan dia mulai meninggalkan hidup bergereja,
bahkan gelar pendeta pembantu harus dicopot
karena suatu masalah pribadi.
Baru sebulan lalu,
saya mendengar bahwa mbak menor pindah ke Kalimantan
bersama suaminya,
rumah eliet di Salatiga yang dulu sangat dibanggakannya
terpaksa harus dijual,
mbak menor gulung tikar, dan pindah ke luar pulau
memulai hidup baru meninggalkan suasana kota yang hingar bingar.
Mungkin anda juga pernah berhadapan pada hal yang serupa
dengan saya,
dimanapun tempat ibadahnya, apapun keyakinannya,
hampir bisa dipastikan ada orang-orang seperti Tia dan mbak menor.
Melakukan sesuatu agar dilihat, dipuji, disanjung
dan ujung-ujungnya mereka mendapat perlakuan istimewa.
Yang seperti itu kurang berguna untuk dipikirkan,
hanya akan melelahkan jiwa dan raga saja.
Mungkin berbeda orang, berbeda pula cara memberi..
kalau menurut saya pribadi...memberi sesuatu itu lebih baik
tak ada seorang pun yang tahu akan jauh berkesan.
Meskipun saya kerap kali tak habis pikir,
untuk apa berbuat berlebihan seperti itu
hanya demi pujian dari orang lain ( mungkin ).
Pernahkah kita berbuat sesuatu untuk diri
sendiri,
tanpa ada embel-embel demi menuai pujian dan rasa kagum
dari lingkungan sekitar??
Misalnya saja,
mau pergi beribadah..
coba tanyakan pada hati nurani? apakah kita betul-betul menginginkannya?
atau ada alasan tertentu dibalik itu?
Memang bagus juga berbuat suatu hal,
untuk menyenangkan orang tua, pasangan, teman-teman,
namun terlebih dulu kita harus melakukan
untuk diri sendiri.
Tanpa mau berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masing-masing
pribadi,
maka apa yang kita perbuat untuk orang lain juga
setengah matang,
dalam artian setengah hati dan akhirnya tidak maksimal.
Jikalau ingin memberi, cukup dua pihak yang terlibat,
sang pemberi dan yang menerima pemberian apalagi konteksnya
untuk rumah ibadah.
Sang pemberi hidup tak pernah membedakan kita
dari kekayaan, warna kulit, jenis rambut,
semua sama.
Status anda dan saya sama yaitu seorang manusia,
yang pada awalnya diciptakan untuk membawa kebaikan
di dunia.
Dulu,
saya beribadah agar ibu tidak marah,
dengan bertambahnya usia saya bisa menjelaskan pada beliau
dengan baik mengapa saya tak selalu ingin pergi beribadah.
Hhmmm motivasi saya beribadah adakah agar terhindar dari
amarah ibu,
tentu saja ibadah saya tak maksimal karena keinginan itu
tidak lahir dari dalam hati.
Karena ibadah bukan kehadiran di gereja yang terpenting,
bukan berapa rupiah sumbangan yang mengalir ke rekening pendeta
atau gereja.
Ibadah itu masalah hati kawan,
bukannya saya mau menggurui bagaimana beribadah yang baik.
Justru saya masih belajar, dan saya ingin mengajak
anda untuk belajar juga.
Beribadah dengan memberikan hati kita sepenuhnya
pada Tuhan yang kita yakini,
tanpa ada embel-embel yang lain.
Bila kita sudah cukup yakin melakukan sesuatu
untuk diri sendiri dengan ikhlas,
maka apa-apa saja yang kita lakukan untuk orang lain
juga lebih berguna.
Tak ada yang bisa menyadarkan juga mengajak anda dan saya
untuk melakukan hal tersebut,
itu hanya bisa lahir dan dimukai dari dalam diri kita sendiri.
Selamat mencoba :)
dengan kursi dan meja kayu yang memanjang.
Tempat yang selalu ramai dikunjungi setiap minggu,
oleh anak-anak bersama ibu maupun baby sitternya.
Seperti sepetak kamar yang terletak di samping bangunan
utama gereja...
yang hanya muat untuk 13 anak kecil, dan 2 gurunya.
Ya....itu dia gambaran sederhana tentang tempat sekolah minggu
di masa kanak-kanak dulu.
Saya tak terlalu ingat, bagaimana hari pertama bergabung dalam
kelas itu,
yang jelas keyakinan yang saya miliki sekarang adalah
turunan dari nenek, orang tua, dan pastinya
saya diarahkan untuk meyakini hal yang sama.
Hampir setiap minggu ibu selalu menyediakan baju baru
khusus untuk dipakai ke gereja,
kata ibu...beliau akan terus membelikan baju baru namun
harus dipakai untuk ke gereja.
Wow! bahkan sampai dewasa saya terbawa dengan kebiasaan boros seperti
itu,
beli baju baru untuk pergi beribadah.
Saat masih anak-anak dulu, saya selalu menantikan
hari minggu,
saatnya ke gereja, bertemu teman-teman, makan snack
yang sudah dibawa dan bernyanyi bersama.
Saya masih belum paham, apa arti dan tujuan yang
mendasari semua itu,
yang penting pergi keluar, bertemu teman dan makan-makan..
bukankah itu menyenangkan?!
Jadi setiap kali saya akan pergi ke gereja,
selain baju baru, ibu juga menyiapkan bekal makanan
untuk dibawa.
Saya bersama beberapa teman seumuran baik cewek maupun
cowok membaur jadi satu,
tapi jumlah cewek jauh lebih banyak dibandingkan cowok.
Ada satu teman, sebut saja namanya Tia...
dia merupakan primadona di kelas sekolah minggu kami.
Baju-baju dan tasnya bagus, demikian juga alat tulisnya,
hhmmm maklumlah...Tia berasal dari keluarga kaya
pada jaman itu,
ayah ibunya berprofesi sebagai dokter.
Tia selalu bersama teman-teman dekatnya, dan salah satu dari
mereka adalah anak pendeta di gereja saya, sebut saja namanya Nia.
Tia dan Nia dan beberapa teman lainnya cenderung menutup
diri,
mereka kurang ramah terhadap kami semua.
Ayah Tia sering memberi sumbangan untuk gereja maupun
untuk keluarga pak pendeta,
di suatu minggu...Nia pernah memamerkan lampu belajar
berwarna biru dan satu set alat tulis yang keren,
dan dengan bangganya dia bilang bahwa hadiah itu
adalah pemberian ayahnya Tia.
Lama kelamaan saya berpikir,
enak ya jadi Tia, ayahnya punya banyak uang yang
bisa membelikan dia barang-barang yang wow banget,
disamping itu...
enak ya jadi anak pendeta, karena sering dapat pemberian dari
jemaat,
kan lumayan tuh dapat gratisan berbagai macam barang.
Sampai kami beranjak remaja,
Tia masih seperti itu..ayahnya masih kaya, bajunya masih bagus,
wajahnya pun manis.
Dia jauh lebih cepat tumbuh dewasa daripada saya,
karena sewaktu kami retreat rohani kelas 4 SD,
Tia sudah menstruasi, wow!
bahkan saat itu saya masih belum paham,
apa itu menstruasi.
Nia masih nyaman menjalani perannya sebagai anak pendeta
yang dapat sumbangan ini itu,
dan saya tak pernah terlalu dekat dengan mereka.
Saya lebih suka bergaul dengan banyak orang,
cewek dan cowok asal asyik!
Keluarga Tia yang tersohor di gereja,
karena sering membantu pembangunan rumah ibadah,
dan memberi bantuan-bantuan yang lain.
Setiap minggu pak pendeta selalu mengumumkan sumbangan
yang masuk dan dari siapa,
mungkin memang peraturannya seperti itu, harus transparan.
Tak hanya keluarga Tia, namun juga beberapa keluarga kaya
yang tak segan-segan menyumbang uang maupun barang
untuk keperluan gereja.
Otomatis dengan sumbangan dan aliran dana,
para keluarga donatur mendapat perlakuan yang berbeda
dari pak pendeta dan para majelis gereja.
Senyuman yang mereka dapatkan special,
lebih ramah dan penuh antusias,
beda dengan keluarga non donatur...akan diperlakukan
biasa saja, tetap tersenyum, namun tak antusias.
Dulu saya tak peka dengan masalah seperti ini,
lama kelamaan heran juga..
mengapa pak pendeta begitu ramah dan terlihat sangat
menyayangi Tia?
mengapa perlakuan guru-guru juga berbeda pada Tia,
uhm..intinya Tia lebih disambut, dilibatkan dalam banyak hal,
dan lain sebagainya.
Saya berpikir, kenapa ya??
apa karena Tia itu paling menonjol, badannya yang tinggi dan bongsor
melebihi kami teman seusianya,
tapi bukankah guru sekolah minggu mengajarkan
untuk saling mengasihi sesama tanpa membedakan apapun,
nah kok saya merasa dibedakan ya?!
Kegalauan konyol saya berakhir saat ngobrol dengan ibu,
hhmm memang ibu adalah salah satu sumber jawaban..
beliau bilang..
Tia itu kan anaknya orang kaya, sering mendanai gereja,
jadi wajar kalau dia dapat perlakuan yang istimewa...
Jawaban ibu masih belum memuaskan saya,
kenapa kalau anaknya orang kaya?
emang kalau mendanai gereja lalu mendapatkan
perlakuan yang berbeda??
dengan kata lain...
haruskah menyumbang gereja dulu baru dapat
perlakuan istimewa??
hhhmmmm....
Kehidupan bergereja saya mulai tak bergairah semenjak
remaja,
saya pergi ke gereja karena ibu sudah mengomel.
Saya berpikir, untuk apa saya ke gereja mendengarkan
pak pendeta dan para majelis berkhotbah tentang sesuatu
yang mereka sendiri tidak menerapkannya.
It is kind of bull***t.
Dalam tahun-tahun terakhir saya bergereja di Salatiga,
sebuah gereja besar dengan jumlah jemaat mencapai ribuan orang.
Ternyata masalah yang ada juga hampir sama,
yang kaya, yang sering mendanai gereja, yang sering memberikan
bantuan terlihat sangat mencolok.
Dan tentu saja,
dapat perlakuan beda, lebih sering disambut dan diikutsertakan
dalam banyak hal.
Sebut saja namanya Mbak menor,
dandanannya sangat menor, setiap minggu sebelum berangkat
beribadah dia harus ke salon kecantikan terlebih dahulu,
untuk make up dan menata rambut.
Bayangkan, setiap minggu seperti itu,
wah..berarti orang kaya nih, dalam sebulan bisa
berkali-kali ke salon.
Mbak menor kulitnya putih, bedaknya putih, mobilnya
honda jazz warna putih,
bahkan smartphonenya yang berlambang sebuah apel
juga berwarna putih.
Mbak menor ramah pada orang-orang yang menyanjungnya,
bahkan dia tak segan-segan memberi barang dan mentraktir makan
di tempat yang mahal.
Berbahagialah wahai para kawan-kawan mbak menor!
Bahkan mbak menor diangkat menjadi pendeta pembantu,
yang bisa berkhotbah juga waktu ibadah,
luar biasa...
Sampai sekarang saya masih ingat bagaimana inti salah satu
khotbah yang disampaikan oleh mbak menor..
intinya adalah para wanita harus menerima apa adanya ciptaan Tuhan,
yang hitam biar hitam, tak perlu berusaha apalagi sampai
mengeluarkan uang lebih untuk beli produk pemutih
kulit wajah dan kulit badan.
Yang gemuk, yang kurus, yang keriting rambutnya, yang lurus rambutnya
biarlah alami tanpa polesan ini itu.
Khotbah tersebut disampaikannya pada sebuah acara radio,
dan sialnya pagi itu saya mendengarkan omong kosongnya.
Hhmmm padahal yang terjadi adalah,
Mbak menor sangat terobsesi untuk menjadi putih,
dia membeli sekaligus menggunakan beberapa
produk pemutih yang dioles, yang diminum, yang disuntikkan.
Hal itu bukan rahasia umum lagi,
para kru radio yang salah satunya adalah sahabat saya
menceritakan semuanya.
Alamak, bagaimana mungkin dia berkoar-koar tentang sesuatu
yang tidak dia terapkan terlebih dahulu untuk dirinya sendiri.
Mbak menor semakin terkenal, saat dia menyumbangkan sebuah mobil
daihatsu taruna untuk gereja,
dia menuai banyak rasa kagum, pujian, sanjungan,
dan eksistensinya sebagai pendeta pembantu pun semakin naik.
Sayang, semua hal itu tak dibarengi dengan kebijakan dan kerendahan hati,
dalam berbagai jesempatan,
secara terang-terangan mbak menor meremehkan bahkan menjelek-jelekkan
beberapa orang yang tudak disukainya.
Mbak menor pilih kasih,
dia hanya baik pada orang yang baik juga kepadanya,
kalau begitu tak perlu repot-repot jadi pendeta pembantu donk.
Waktu berlalu...
mbak menor galau, dan dia mulai meninggalkan hidup bergereja,
bahkan gelar pendeta pembantu harus dicopot
karena suatu masalah pribadi.
Baru sebulan lalu,
saya mendengar bahwa mbak menor pindah ke Kalimantan
bersama suaminya,
rumah eliet di Salatiga yang dulu sangat dibanggakannya
terpaksa harus dijual,
mbak menor gulung tikar, dan pindah ke luar pulau
memulai hidup baru meninggalkan suasana kota yang hingar bingar.
Mungkin anda juga pernah berhadapan pada hal yang serupa
dengan saya,
dimanapun tempat ibadahnya, apapun keyakinannya,
hampir bisa dipastikan ada orang-orang seperti Tia dan mbak menor.
Melakukan sesuatu agar dilihat, dipuji, disanjung
dan ujung-ujungnya mereka mendapat perlakuan istimewa.
Yang seperti itu kurang berguna untuk dipikirkan,
hanya akan melelahkan jiwa dan raga saja.
Mungkin berbeda orang, berbeda pula cara memberi..
kalau menurut saya pribadi...memberi sesuatu itu lebih baik
tak ada seorang pun yang tahu akan jauh berkesan.
Meskipun saya kerap kali tak habis pikir,
untuk apa berbuat berlebihan seperti itu
hanya demi pujian dari orang lain ( mungkin ).
Pernahkah kita berbuat sesuatu untuk diri
sendiri,
tanpa ada embel-embel demi menuai pujian dan rasa kagum
dari lingkungan sekitar??
Misalnya saja,
mau pergi beribadah..
coba tanyakan pada hati nurani? apakah kita betul-betul menginginkannya?
atau ada alasan tertentu dibalik itu?
Memang bagus juga berbuat suatu hal,
untuk menyenangkan orang tua, pasangan, teman-teman,
namun terlebih dulu kita harus melakukan
untuk diri sendiri.
Tanpa mau berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masing-masing
pribadi,
maka apa yang kita perbuat untuk orang lain juga
setengah matang,
dalam artian setengah hati dan akhirnya tidak maksimal.
Jikalau ingin memberi, cukup dua pihak yang terlibat,
sang pemberi dan yang menerima pemberian apalagi konteksnya
untuk rumah ibadah.
Sang pemberi hidup tak pernah membedakan kita
dari kekayaan, warna kulit, jenis rambut,
semua sama.
Status anda dan saya sama yaitu seorang manusia,
yang pada awalnya diciptakan untuk membawa kebaikan
di dunia.
Dulu,
saya beribadah agar ibu tidak marah,
dengan bertambahnya usia saya bisa menjelaskan pada beliau
dengan baik mengapa saya tak selalu ingin pergi beribadah.
Hhmmm motivasi saya beribadah adakah agar terhindar dari
amarah ibu,
tentu saja ibadah saya tak maksimal karena keinginan itu
tidak lahir dari dalam hati.
Karena ibadah bukan kehadiran di gereja yang terpenting,
bukan berapa rupiah sumbangan yang mengalir ke rekening pendeta
atau gereja.
Ibadah itu masalah hati kawan,
bukannya saya mau menggurui bagaimana beribadah yang baik.
Justru saya masih belajar, dan saya ingin mengajak
anda untuk belajar juga.
Beribadah dengan memberikan hati kita sepenuhnya
pada Tuhan yang kita yakini,
tanpa ada embel-embel yang lain.
Bila kita sudah cukup yakin melakukan sesuatu
untuk diri sendiri dengan ikhlas,
maka apa-apa saja yang kita lakukan untuk orang lain
juga lebih berguna.
Tak ada yang bisa menyadarkan juga mengajak anda dan saya
untuk melakukan hal tersebut,
itu hanya bisa lahir dan dimukai dari dalam diri kita sendiri.
Selamat mencoba :)
Sunday, March 2, 2014
Haikal
Adalah Haikal, pria 30 tahun yang masih berkutat dengan urusan skripsi,
tak kunjung usai, entah karena kebijakan kampus
yang mempersulit atau karena rasa malas.
Haikal yang awalnya pindah jurusan, agar mudah lulus,
namun ternyata rencananya tak semulus yang diduga.
Jurusan management yang terkenal mudah,
tak juga membuat dia mewujudkan keinginan orang tuanya
untuk cepat meraih gelar wisuda.
Malah ayahnya sudah berencana untuk membiayai kuliah S2
untuknya.
ah apa daya untuk lulus S1 saja sangat sulit.
Padahal semua mata kuliah yang harus diambil sudah dibereskannya,
tinggal proses skripsi untuk selangkah lagi menuju
masa depan.
Meskipun dia pasif di kelas, dan nilai ujiannya selalu pas-pasan
namun dia beruntung bisa sampai pada tahap skripsi.
Orang tua, saudara, dan teman-teman sangat mendukungnya
untuk segera lulus kuliah,
agar dia bisa menikmati proses yang lain,
tidak berkutat seputar dunia kampus, susahnya skripsi,
dan ribetnya mengatur jadwal dengan pembimbing.
Dia tinggal di sebuah rumah kost yang berada di tengah kota Salatiga,
bersama 22 anak kost lainnya.
Lokasi rumah kost itu cukup luas,
dilengkapi dengan tempat parkir memadai untuk motor dan mobil.
Pemilik kost hanya satu bulan sekali datang kesana
untuk mengumpulkan uang sewa kamar.
Jadi, anak-anak kost bebas mau pulang dan pergi jam berapa saja,
gerbang depannya dibiarkan terbuka 24 jam,
dan bapak penjaga hanya ada sampai jam 7 malam.
Kebebasan tak hanya didapatkan oleh anak kost,
tapi juga para tamu,
yang bisa datang jam berapa pun, bahkan banyak juga
yang menginap disana.
Tak ada yang melarang, karena pemilik kost dan bapak penjaga
tak mengawasi gerak-gerik anak kost dan teman-teman
maupun pacarnya.
RT setempat yang sempat menegur juga tak berdaya
mengawasi tingkah laku para penghuni kost tersebut.
Intinya, rumah kost itu terkenal dengan
fasilitas kebebasannya.
Haikal lahir dari sebuah keluarga yang mampu
dari segi finansial.
Ayah dan ibunya sama-sama mempunyai usaha sendiri,
namun sayang...
ketika dia kelas 4 sekolah dasar,
orang tuanya memutuskan untuk bercerai.
Sang ayah pindah ke Australia, mencari nafkah
dan memilih untuk menetap disana.
Jadi tinggalah Haikal, ibunya dan adik perempuan yang bernama Hanisah
mereka menetap di Surabaya.
Ibunya sebagai ibu rumah tangga sekaligus seseorang yang
memberi nafkah untuk Haikal dan adiknya.
Meskipun ayahnya tak pernah lupa untuk mengirim uang,
tapi ibu Haikal tetap giat bekerja setiap hari,
demi kelangsungan hidup mereka bertiga.
Haikal tetap melanjutkan hidup sebagaimana mestinya,
bersekolah seperti anak-anak yang lain.
Sejak kuliah di Salatiga,
dia harus tinggal terpisah dengan ibu dan Hanisah.
Pertama kali, dia memilih jurusan sastra inggris,
dengan modal sudah sering berkomunikasi dengan ayahnya
menggunakan bahasa inggris.
Hari-hari perkuliahan dilalui dengan malas-malasan,
sering membolos, tak mengerjakan tugas,
dan akhirnya mendapatkan nilai E untuk beberapa mata kuliah.
Haikal tak bisa bangun pagi,
seperti apapun usahanya lebih sering gagal,
dan berakhir dengan membolos.
Kalaupun dia bisa datang kuliah pagi, itu berarti
dia belum tidur sejak malam.
Para dosen hafal dengan Haikal, karena satu-satunya mahasiswa yang
tak pernah hadir saat kuliah pagi.
Daftar hadir dan nilainya berantakan,
sama berantakan dengan gaya hidupnya.
Dia menyerah dengan jurusan sastra inggris, dan berencana pindah
ke management,
yang menurut kabar berita, jurusan tersebut jauh lebih mudah.
Tanpa berpikir panjang Haikal langsung melirik jurusan tersebut,
mengurus proses kepindahannya,
dan dia siap untuk mulai hidup barunya.
Hidup sendiri di Salatiga tak membuatnya kesepian,
karena ada Henny gadis manis asal Sumba yang dipacarinya,
dan tentu saja ada teman-teman kost yang tinggal seatap
di rumah kost.
Ah tentu saja rumah kost itu mirip sarang penyamun,
tak terawat, jorok dan anak-anak kostnya kebanyakan
adalah mahasiswa fosil.
Kamar Haikal tak jauh beda,
lantainya jarang disapu, baju kotor berserakan,
warna spreinya sudah kumal, dan baunya tidak sedap.
Asbak di meja laptop itu ada dua dan dua-duanya juga
penuh dengan abu rokok yang tak dibuang,
lemarinya selalu terbuka karena barangnya terlalu penuh.
Kamar Haikal penuh dengan alat-alat elektronik,
pemanas air untuk membuat kopi, dua buah laptop untuk main game
dan nonton film, satu TV layar datar, satu tape berukuran besar.
Semua fasilitas itu didapat dengan mudah,
Haikal cukup minta pada ayahnya, dan kiriman uang pun
datang.
Ayahnya berharap, semua fasilitas itu diberikan demi kebaikan Haikal,
dan tentu saja agar dia punya semangat lebih untuk
menyelesaikan kuliahnya.
Ternyata fasilitas-fasilitas itu,
seakan menjadi batu sandungan bagi Haikal.
Sebagian besar waktu Haikal dihabiskan bersama Henny,
hingga pada suatu hari...
salah satu paman Henny yang juga tinggal di Salatiga
memarahi Haikal habis-habisan
karena Henny jarang pulang ke kost, dan menginap di kostnya.
Haikal memang lebih berkonsentrasi pada Henny dan dunia game
yang sudah dijalaninya bertahun-tahun.
Hampir setiap malam dia bersama teman-teman kost yang lain
sengaja begadang untuk bermain game.
Bahkan tidak jarang mereka tidak tidur sampai pagi,
dan langsung kuliah,
karena takut bangun kesiangan.
Meskipun hanya game di laptop dan seolah-olah tidak nyata,
namun Haikal sangat bersungguh-sungguh menekuninya.
Dia lebih suka bermain game daripada mengerjakan skripsi,
katanya game lebih menghibur, seru, asyik,
kalau skripsi hanya membuat kepalanya pusing.
Haikal sengaja melupakan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya,
untuk menyelesaikan kuliah.
Beberapa kali orang tuanya menanyakan secara terpisah, dan Haikal hanya
menjawab ala kadarnya,
ada halangan ini itu,
yang padahal halangannya adalah rasa malasnya sendiri.
Dia cenderung mencela kebijakan kampus yang mempersulit
mahasiswa angkatan tua,
lalu mencela pembimbingnya juga yang jarang punya waktu
untuk dirinya.
Semua itu hanya alasan yang terlalu dibesar-besarkan,
memang kebijakan kampus menyulitkan, memang dosen pembimbing
jarang ada waktu...
diatas semua itu,
Haikal malas berusaha untuk menghadapi
kesulitan-kesulitan tersebut.
Setiap hari dilalui begitu saja,
main game hingga pagi hari, bangun jam 2 siang,
sarapan, ngobrol bersama teman kost, mandi sore jam 6,
makan malam, lalu kembali duduk manis di depan laptop
untuk bermain game.
Entah daya tarik apa yang begitu dahsyat dari game online,
hingga membuatnya kecanduan.
Sementara itu, ayah dan ibu Haikal masih terus berharap
pada anak sulungnya,
untuk sesegera mungkin menyelesaikan skripsi.
Dan Haikal pun tetap menjalani aktivitas sehari-harinya,
ogah-ogahan mengurus skripsinya dan semakin
tekun bermain game.
Kadang dia berharap ini semua hanya mimpi buruk di malam hari,
begitu bangun tidur semuanya akan baik-baik saja,
dan skripsinya tiba-tiba selesai.
Tahun demi tahun berlalu,
Henny mendahuluinya menjadi sarjana dan memilih
untuk merantau ke Jakarta.
Haikal yang merasa sendirian, kesepian dan ditinggalkan
menjadi suka minum minuman keras bersama
teman-teman kostnya.
Dalam satu minggu mereka bisa dua sampai tiga kali mabuk bersama,
entah itu minuman mahal atau hanya minuman oplosan.
Bahkan seringkali Haikal pergi ke kampus dengan aroma
minuman keras yang sangat kuat nelekat di tubuhnya,
matanya merah karena belum tidur, rambut acak-acakan,
dan bicaranya ngawur akibat pengaruh minuman keras.
Dia tenggelam dalam kegalauan hati dan pikirannya,
minuman keras dan game adalah hal yang dirasa
bisa membuatnya lebih baik.
Ibunya tak pernah putus asa untuk memberinya nasehat,
namun Haikal tak menghiraukannya,
dia tetap menjalani apa yang dirasa baik untuknya.
Dia hanya perduli pada rencana mabuk bersama teman kost, dan memastikan
koneksi interner agar bisa lancar dalam bermain game.
Hidupnya pun semakin kacau, jam begadangnya semakin tak karuan,
jam 6 pagi baru tidur hingga jam 6 sore baru bangun.
Meskipun kemungkinan besar dia tahu resiko di kemudian hari yang harus
ditanggungnya,
Haikal berdiri teguh pada pendiriannya.
Setiap kali dia mabuk, dia merasa kesepian yang amat sangat
dalam merasuki jiwanya,
dia mencari seseorang untuk teman ngobrol,
untuk menyimak kepedihan di hatinya.
Haikal suka dengan musik beraliran keras, yang liriknya banyak hujatan,
sumpah serapah terhadap Tuhan, agama, peraturan masyarakat,
dan kekecewaan terhadap seseorang.
Dia merasa musik seperti itulah yang dibilang keren,
macho banget pokoknya.
Banyak kekecewaan yang dia pendam, terutama pada kedua orang tuanya,
dan hal-hal lain yang mempersulit hidupnya.
Haikal melangkah setiap hari dengan gontai,
tak tahu arah...
apa rencananya hari ini? besok? minggu depan?
yang ada di kepalanya hanyalah
bermain game dan mabuk.
Haikal yang sudah berusia 30 tahun, tak tahu harus dibawa kemana
hidupnya..
entah melanjutkan skripsi atau akan terus bermain game.
Dia khawatir akan banyak hal,
bagaimana bisa membahagiakan orang tuanya,
hanya khawatir saja dan tidak melakukan apa-apa.
Haikal tak suka beraktivitas diluar,
jalan-jalan, pergi ke suatu tempat,
dia tak suka berada di bawah sinar matahari,
hhmmm yang dia suka diam di kamar dan bermain
dengan apapun yang ada di dalamnya.
Haikal sangat ingin dipahami oleh seseorang,
bahwa dia terluka, rapuh, butuh dukungan, perhatian,
pelukan, dan kehangatan.
Disamping itu dia tak pernah berbuat satu hal baru,
hidupnya sangat membosankan.
Dia selalu berharap dimengerti oleh orang lain,
namun dia sendiri tak pernah melakukannya terlebih dulu.
Haikal pernah bilang,
dia sudah muak dengan urusan kuliah, skripsi,
dan hal-hal semacam itu,
dia ingin mulai bekerja dan menghasilkan uang sendiri.
Itu juga dimulai dari kegalauan dari pikiran dan hatinya,
dia ingin mencoba bekerja dengan penghasilan tinggi.
Haikal tak pernah bersungguh-sungguh dalam menekuni
suatu hal,
ketika dia sudah bosan....dia akan meninggalkannya begitu saja.
Begitu juga dengan masalah cinta,
keseriusannya pada Henny tak bisa dibuktikan,
juga pada wanita lain...
dia hanya butuh perhatian dan kehangatan,
selebihnya...Haikal akan asyik dengan dunianya sendiri.
Haikal bukanlah tokoh imajinasi, dia ada, dan mungkin
masih hidup dengan cara lamanya,
dia masih akan merindukan sosok yang bisa memberinya dukungan,
padahal yang dibutuhkan hanyalah
kemauan kuat yang lahir dari dalam dirinya.
Saya sudahi dulu sedikit cerita tentangnya...
tentang Haikal si pria yang kurang baik untuk menjadi pilihan
sebagai teman kencan.
tak kunjung usai, entah karena kebijakan kampus
yang mempersulit atau karena rasa malas.
Haikal yang awalnya pindah jurusan, agar mudah lulus,
namun ternyata rencananya tak semulus yang diduga.
Jurusan management yang terkenal mudah,
tak juga membuat dia mewujudkan keinginan orang tuanya
untuk cepat meraih gelar wisuda.
Malah ayahnya sudah berencana untuk membiayai kuliah S2
untuknya.
ah apa daya untuk lulus S1 saja sangat sulit.
Padahal semua mata kuliah yang harus diambil sudah dibereskannya,
tinggal proses skripsi untuk selangkah lagi menuju
masa depan.
Meskipun dia pasif di kelas, dan nilai ujiannya selalu pas-pasan
namun dia beruntung bisa sampai pada tahap skripsi.
Orang tua, saudara, dan teman-teman sangat mendukungnya
untuk segera lulus kuliah,
agar dia bisa menikmati proses yang lain,
tidak berkutat seputar dunia kampus, susahnya skripsi,
dan ribetnya mengatur jadwal dengan pembimbing.
Dia tinggal di sebuah rumah kost yang berada di tengah kota Salatiga,
bersama 22 anak kost lainnya.
Lokasi rumah kost itu cukup luas,
dilengkapi dengan tempat parkir memadai untuk motor dan mobil.
Pemilik kost hanya satu bulan sekali datang kesana
untuk mengumpulkan uang sewa kamar.
Jadi, anak-anak kost bebas mau pulang dan pergi jam berapa saja,
gerbang depannya dibiarkan terbuka 24 jam,
dan bapak penjaga hanya ada sampai jam 7 malam.
Kebebasan tak hanya didapatkan oleh anak kost,
tapi juga para tamu,
yang bisa datang jam berapa pun, bahkan banyak juga
yang menginap disana.
Tak ada yang melarang, karena pemilik kost dan bapak penjaga
tak mengawasi gerak-gerik anak kost dan teman-teman
maupun pacarnya.
RT setempat yang sempat menegur juga tak berdaya
mengawasi tingkah laku para penghuni kost tersebut.
Intinya, rumah kost itu terkenal dengan
fasilitas kebebasannya.
Haikal lahir dari sebuah keluarga yang mampu
dari segi finansial.
Ayah dan ibunya sama-sama mempunyai usaha sendiri,
namun sayang...
ketika dia kelas 4 sekolah dasar,
orang tuanya memutuskan untuk bercerai.
Sang ayah pindah ke Australia, mencari nafkah
dan memilih untuk menetap disana.
Jadi tinggalah Haikal, ibunya dan adik perempuan yang bernama Hanisah
mereka menetap di Surabaya.
Ibunya sebagai ibu rumah tangga sekaligus seseorang yang
memberi nafkah untuk Haikal dan adiknya.
Meskipun ayahnya tak pernah lupa untuk mengirim uang,
tapi ibu Haikal tetap giat bekerja setiap hari,
demi kelangsungan hidup mereka bertiga.
Haikal tetap melanjutkan hidup sebagaimana mestinya,
bersekolah seperti anak-anak yang lain.
Sejak kuliah di Salatiga,
dia harus tinggal terpisah dengan ibu dan Hanisah.
Pertama kali, dia memilih jurusan sastra inggris,
dengan modal sudah sering berkomunikasi dengan ayahnya
menggunakan bahasa inggris.
Hari-hari perkuliahan dilalui dengan malas-malasan,
sering membolos, tak mengerjakan tugas,
dan akhirnya mendapatkan nilai E untuk beberapa mata kuliah.
Haikal tak bisa bangun pagi,
seperti apapun usahanya lebih sering gagal,
dan berakhir dengan membolos.
Kalaupun dia bisa datang kuliah pagi, itu berarti
dia belum tidur sejak malam.
Para dosen hafal dengan Haikal, karena satu-satunya mahasiswa yang
tak pernah hadir saat kuliah pagi.
Daftar hadir dan nilainya berantakan,
sama berantakan dengan gaya hidupnya.
Dia menyerah dengan jurusan sastra inggris, dan berencana pindah
ke management,
yang menurut kabar berita, jurusan tersebut jauh lebih mudah.
Tanpa berpikir panjang Haikal langsung melirik jurusan tersebut,
mengurus proses kepindahannya,
dan dia siap untuk mulai hidup barunya.
Hidup sendiri di Salatiga tak membuatnya kesepian,
karena ada Henny gadis manis asal Sumba yang dipacarinya,
dan tentu saja ada teman-teman kost yang tinggal seatap
di rumah kost.
Ah tentu saja rumah kost itu mirip sarang penyamun,
tak terawat, jorok dan anak-anak kostnya kebanyakan
adalah mahasiswa fosil.
Kamar Haikal tak jauh beda,
lantainya jarang disapu, baju kotor berserakan,
warna spreinya sudah kumal, dan baunya tidak sedap.
Asbak di meja laptop itu ada dua dan dua-duanya juga
penuh dengan abu rokok yang tak dibuang,
lemarinya selalu terbuka karena barangnya terlalu penuh.
Kamar Haikal penuh dengan alat-alat elektronik,
pemanas air untuk membuat kopi, dua buah laptop untuk main game
dan nonton film, satu TV layar datar, satu tape berukuran besar.
Semua fasilitas itu didapat dengan mudah,
Haikal cukup minta pada ayahnya, dan kiriman uang pun
datang.
Ayahnya berharap, semua fasilitas itu diberikan demi kebaikan Haikal,
dan tentu saja agar dia punya semangat lebih untuk
menyelesaikan kuliahnya.
Ternyata fasilitas-fasilitas itu,
seakan menjadi batu sandungan bagi Haikal.
Sebagian besar waktu Haikal dihabiskan bersama Henny,
hingga pada suatu hari...
salah satu paman Henny yang juga tinggal di Salatiga
memarahi Haikal habis-habisan
karena Henny jarang pulang ke kost, dan menginap di kostnya.
Haikal memang lebih berkonsentrasi pada Henny dan dunia game
yang sudah dijalaninya bertahun-tahun.
Hampir setiap malam dia bersama teman-teman kost yang lain
sengaja begadang untuk bermain game.
Bahkan tidak jarang mereka tidak tidur sampai pagi,
dan langsung kuliah,
karena takut bangun kesiangan.
Meskipun hanya game di laptop dan seolah-olah tidak nyata,
namun Haikal sangat bersungguh-sungguh menekuninya.
Dia lebih suka bermain game daripada mengerjakan skripsi,
katanya game lebih menghibur, seru, asyik,
kalau skripsi hanya membuat kepalanya pusing.
Haikal sengaja melupakan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya,
untuk menyelesaikan kuliah.
Beberapa kali orang tuanya menanyakan secara terpisah, dan Haikal hanya
menjawab ala kadarnya,
ada halangan ini itu,
yang padahal halangannya adalah rasa malasnya sendiri.
Dia cenderung mencela kebijakan kampus yang mempersulit
mahasiswa angkatan tua,
lalu mencela pembimbingnya juga yang jarang punya waktu
untuk dirinya.
Semua itu hanya alasan yang terlalu dibesar-besarkan,
memang kebijakan kampus menyulitkan, memang dosen pembimbing
jarang ada waktu...
diatas semua itu,
Haikal malas berusaha untuk menghadapi
kesulitan-kesulitan tersebut.
Setiap hari dilalui begitu saja,
main game hingga pagi hari, bangun jam 2 siang,
sarapan, ngobrol bersama teman kost, mandi sore jam 6,
makan malam, lalu kembali duduk manis di depan laptop
untuk bermain game.
Entah daya tarik apa yang begitu dahsyat dari game online,
hingga membuatnya kecanduan.
Sementara itu, ayah dan ibu Haikal masih terus berharap
pada anak sulungnya,
untuk sesegera mungkin menyelesaikan skripsi.
Dan Haikal pun tetap menjalani aktivitas sehari-harinya,
ogah-ogahan mengurus skripsinya dan semakin
tekun bermain game.
Kadang dia berharap ini semua hanya mimpi buruk di malam hari,
begitu bangun tidur semuanya akan baik-baik saja,
dan skripsinya tiba-tiba selesai.
Tahun demi tahun berlalu,
Henny mendahuluinya menjadi sarjana dan memilih
untuk merantau ke Jakarta.
Haikal yang merasa sendirian, kesepian dan ditinggalkan
menjadi suka minum minuman keras bersama
teman-teman kostnya.
Dalam satu minggu mereka bisa dua sampai tiga kali mabuk bersama,
entah itu minuman mahal atau hanya minuman oplosan.
Bahkan seringkali Haikal pergi ke kampus dengan aroma
minuman keras yang sangat kuat nelekat di tubuhnya,
matanya merah karena belum tidur, rambut acak-acakan,
dan bicaranya ngawur akibat pengaruh minuman keras.
Dia tenggelam dalam kegalauan hati dan pikirannya,
minuman keras dan game adalah hal yang dirasa
bisa membuatnya lebih baik.
Ibunya tak pernah putus asa untuk memberinya nasehat,
namun Haikal tak menghiraukannya,
dia tetap menjalani apa yang dirasa baik untuknya.
Dia hanya perduli pada rencana mabuk bersama teman kost, dan memastikan
koneksi interner agar bisa lancar dalam bermain game.
Hidupnya pun semakin kacau, jam begadangnya semakin tak karuan,
jam 6 pagi baru tidur hingga jam 6 sore baru bangun.
Meskipun kemungkinan besar dia tahu resiko di kemudian hari yang harus
ditanggungnya,
Haikal berdiri teguh pada pendiriannya.
Setiap kali dia mabuk, dia merasa kesepian yang amat sangat
dalam merasuki jiwanya,
dia mencari seseorang untuk teman ngobrol,
untuk menyimak kepedihan di hatinya.
Haikal suka dengan musik beraliran keras, yang liriknya banyak hujatan,
sumpah serapah terhadap Tuhan, agama, peraturan masyarakat,
dan kekecewaan terhadap seseorang.
Dia merasa musik seperti itulah yang dibilang keren,
macho banget pokoknya.
Banyak kekecewaan yang dia pendam, terutama pada kedua orang tuanya,
dan hal-hal lain yang mempersulit hidupnya.
Haikal melangkah setiap hari dengan gontai,
tak tahu arah...
apa rencananya hari ini? besok? minggu depan?
yang ada di kepalanya hanyalah
bermain game dan mabuk.
Haikal yang sudah berusia 30 tahun, tak tahu harus dibawa kemana
hidupnya..
entah melanjutkan skripsi atau akan terus bermain game.
Dia khawatir akan banyak hal,
bagaimana bisa membahagiakan orang tuanya,
hanya khawatir saja dan tidak melakukan apa-apa.
Haikal tak suka beraktivitas diluar,
jalan-jalan, pergi ke suatu tempat,
dia tak suka berada di bawah sinar matahari,
hhmmm yang dia suka diam di kamar dan bermain
dengan apapun yang ada di dalamnya.
Haikal sangat ingin dipahami oleh seseorang,
bahwa dia terluka, rapuh, butuh dukungan, perhatian,
pelukan, dan kehangatan.
Disamping itu dia tak pernah berbuat satu hal baru,
hidupnya sangat membosankan.
Dia selalu berharap dimengerti oleh orang lain,
namun dia sendiri tak pernah melakukannya terlebih dulu.
Haikal pernah bilang,
dia sudah muak dengan urusan kuliah, skripsi,
dan hal-hal semacam itu,
dia ingin mulai bekerja dan menghasilkan uang sendiri.
Itu juga dimulai dari kegalauan dari pikiran dan hatinya,
dia ingin mencoba bekerja dengan penghasilan tinggi.
Haikal tak pernah bersungguh-sungguh dalam menekuni
suatu hal,
ketika dia sudah bosan....dia akan meninggalkannya begitu saja.
Begitu juga dengan masalah cinta,
keseriusannya pada Henny tak bisa dibuktikan,
juga pada wanita lain...
dia hanya butuh perhatian dan kehangatan,
selebihnya...Haikal akan asyik dengan dunianya sendiri.
Haikal bukanlah tokoh imajinasi, dia ada, dan mungkin
masih hidup dengan cara lamanya,
dia masih akan merindukan sosok yang bisa memberinya dukungan,
padahal yang dibutuhkan hanyalah
kemauan kuat yang lahir dari dalam dirinya.
Saya sudahi dulu sedikit cerita tentangnya...
tentang Haikal si pria yang kurang baik untuk menjadi pilihan
sebagai teman kencan.
Subscribe to:
Posts (Atom)