Ruangan itu hanya seukuran satu kamar besar,
dengan kursi dan meja kayu yang memanjang.
Tempat yang selalu ramai dikunjungi setiap minggu,
oleh anak-anak bersama ibu maupun baby sitternya.
Seperti sepetak kamar yang terletak di samping bangunan
utama gereja...
yang hanya muat untuk 13 anak kecil, dan 2 gurunya.
Ya....itu dia gambaran sederhana tentang tempat sekolah minggu
di masa kanak-kanak dulu.
Saya tak terlalu ingat, bagaimana hari pertama bergabung dalam
kelas itu,
yang jelas keyakinan yang saya miliki sekarang adalah
turunan dari nenek, orang tua, dan pastinya
saya diarahkan untuk meyakini hal yang sama.
Hampir setiap minggu ibu selalu menyediakan baju baru
khusus untuk dipakai ke gereja,
kata ibu...beliau akan terus membelikan baju baru namun
harus dipakai untuk ke gereja.
Wow! bahkan sampai dewasa saya terbawa dengan kebiasaan boros seperti
itu,
beli baju baru untuk pergi beribadah.
Saat masih anak-anak dulu, saya selalu menantikan
hari minggu,
saatnya ke gereja, bertemu teman-teman, makan snack
yang sudah dibawa dan bernyanyi bersama.
Saya masih belum paham, apa arti dan tujuan yang
mendasari semua itu,
yang penting pergi keluar, bertemu teman dan makan-makan..
bukankah itu menyenangkan?!
Jadi setiap kali saya akan pergi ke gereja,
selain baju baru, ibu juga menyiapkan bekal makanan
untuk dibawa.
Saya bersama beberapa teman seumuran baik cewek maupun
cowok membaur jadi satu,
tapi jumlah cewek jauh lebih banyak dibandingkan cowok.
Ada satu teman, sebut saja namanya Tia...
dia merupakan primadona di kelas sekolah minggu kami.
Baju-baju dan tasnya bagus, demikian juga alat tulisnya,
hhmmm maklumlah...Tia berasal dari keluarga kaya
pada jaman itu,
ayah ibunya berprofesi sebagai dokter.
Tia selalu bersama teman-teman dekatnya, dan salah satu dari
mereka adalah anak pendeta di gereja saya, sebut saja namanya Nia.
Tia dan Nia dan beberapa teman lainnya cenderung menutup
diri,
mereka kurang ramah terhadap kami semua.
Ayah Tia sering memberi sumbangan untuk gereja maupun
untuk keluarga pak pendeta,
di suatu minggu...Nia pernah memamerkan lampu belajar
berwarna biru dan satu set alat tulis yang keren,
dan dengan bangganya dia bilang bahwa hadiah itu
adalah pemberian ayahnya Tia.
Lama kelamaan saya berpikir,
enak ya jadi Tia, ayahnya punya banyak uang yang
bisa membelikan dia barang-barang yang wow banget,
disamping itu...
enak ya jadi anak pendeta, karena sering dapat pemberian dari
jemaat,
kan lumayan tuh dapat gratisan berbagai macam barang.
Sampai kami beranjak remaja,
Tia masih seperti itu..ayahnya masih kaya, bajunya masih bagus,
wajahnya pun manis.
Dia jauh lebih cepat tumbuh dewasa daripada saya,
karena sewaktu kami retreat rohani kelas 4 SD,
Tia sudah menstruasi, wow!
bahkan saat itu saya masih belum paham,
apa itu menstruasi.
Nia masih nyaman menjalani perannya sebagai anak pendeta
yang dapat sumbangan ini itu,
dan saya tak pernah terlalu dekat dengan mereka.
Saya lebih suka bergaul dengan banyak orang,
cewek dan cowok asal asyik!
Keluarga Tia yang tersohor di gereja,
karena sering membantu pembangunan rumah ibadah,
dan memberi bantuan-bantuan yang lain.
Setiap minggu pak pendeta selalu mengumumkan sumbangan
yang masuk dan dari siapa,
mungkin memang peraturannya seperti itu, harus transparan.
Tak hanya keluarga Tia, namun juga beberapa keluarga kaya
yang tak segan-segan menyumbang uang maupun barang
untuk keperluan gereja.
Otomatis dengan sumbangan dan aliran dana,
para keluarga donatur mendapat perlakuan yang berbeda
dari pak pendeta dan para majelis gereja.
Senyuman yang mereka dapatkan special,
lebih ramah dan penuh antusias,
beda dengan keluarga non donatur...akan diperlakukan
biasa saja, tetap tersenyum, namun tak antusias.
Dulu saya tak peka dengan masalah seperti ini,
lama kelamaan heran juga..
mengapa pak pendeta begitu ramah dan terlihat sangat
menyayangi Tia?
mengapa perlakuan guru-guru juga berbeda pada Tia,
uhm..intinya Tia lebih disambut, dilibatkan dalam banyak hal,
dan lain sebagainya.
Saya berpikir, kenapa ya??
apa karena Tia itu paling menonjol, badannya yang tinggi dan bongsor
melebihi kami teman seusianya,
tapi bukankah guru sekolah minggu mengajarkan
untuk saling mengasihi sesama tanpa membedakan apapun,
nah kok saya merasa dibedakan ya?!
Kegalauan konyol saya berakhir saat ngobrol dengan ibu,
hhmm memang ibu adalah salah satu sumber jawaban..
beliau bilang..
Tia itu kan anaknya orang kaya, sering mendanai gereja,
jadi wajar kalau dia dapat perlakuan yang istimewa...
Jawaban ibu masih belum memuaskan saya,
kenapa kalau anaknya orang kaya?
emang kalau mendanai gereja lalu mendapatkan
perlakuan yang berbeda??
dengan kata lain...
haruskah menyumbang gereja dulu baru dapat
perlakuan istimewa??
hhhmmmm....
Kehidupan bergereja saya mulai tak bergairah semenjak
remaja,
saya pergi ke gereja karena ibu sudah mengomel.
Saya berpikir, untuk apa saya ke gereja mendengarkan
pak pendeta dan para majelis berkhotbah tentang sesuatu
yang mereka sendiri tidak menerapkannya.
It is kind of bull***t.
Dalam tahun-tahun terakhir saya bergereja di Salatiga,
sebuah gereja besar dengan jumlah jemaat mencapai ribuan orang.
Ternyata masalah yang ada juga hampir sama,
yang kaya, yang sering mendanai gereja, yang sering memberikan
bantuan terlihat sangat mencolok.
Dan tentu saja,
dapat perlakuan beda, lebih sering disambut dan diikutsertakan
dalam banyak hal.
Sebut saja namanya Mbak menor,
dandanannya sangat menor, setiap minggu sebelum berangkat
beribadah dia harus ke salon kecantikan terlebih dahulu,
untuk make up dan menata rambut.
Bayangkan, setiap minggu seperti itu,
wah..berarti orang kaya nih, dalam sebulan bisa
berkali-kali ke salon.
Mbak menor kulitnya putih, bedaknya putih, mobilnya
honda jazz warna putih,
bahkan smartphonenya yang berlambang sebuah apel
juga berwarna putih.
Mbak menor ramah pada orang-orang yang menyanjungnya,
bahkan dia tak segan-segan memberi barang dan mentraktir makan
di tempat yang mahal.
Berbahagialah wahai para kawan-kawan mbak menor!
Bahkan mbak menor diangkat menjadi pendeta pembantu,
yang bisa berkhotbah juga waktu ibadah,
luar biasa...
Sampai sekarang saya masih ingat bagaimana inti salah satu
khotbah yang disampaikan oleh mbak menor..
intinya adalah para wanita harus menerima apa adanya ciptaan Tuhan,
yang hitam biar hitam, tak perlu berusaha apalagi sampai
mengeluarkan uang lebih untuk beli produk pemutih
kulit wajah dan kulit badan.
Yang gemuk, yang kurus, yang keriting rambutnya, yang lurus rambutnya
biarlah alami tanpa polesan ini itu.
Khotbah tersebut disampaikannya pada sebuah acara radio,
dan sialnya pagi itu saya mendengarkan omong kosongnya.
Hhmmm padahal yang terjadi adalah,
Mbak menor sangat terobsesi untuk menjadi putih,
dia membeli sekaligus menggunakan beberapa
produk pemutih yang dioles, yang diminum, yang disuntikkan.
Hal itu bukan rahasia umum lagi,
para kru radio yang salah satunya adalah sahabat saya
menceritakan semuanya.
Alamak, bagaimana mungkin dia berkoar-koar tentang sesuatu
yang tidak dia terapkan terlebih dahulu untuk dirinya sendiri.
Mbak menor semakin terkenal, saat dia menyumbangkan sebuah mobil
daihatsu taruna untuk gereja,
dia menuai banyak rasa kagum, pujian, sanjungan,
dan eksistensinya sebagai pendeta pembantu pun semakin naik.
Sayang, semua hal itu tak dibarengi dengan kebijakan dan kerendahan hati,
dalam berbagai jesempatan,
secara terang-terangan mbak menor meremehkan bahkan menjelek-jelekkan
beberapa orang yang tudak disukainya.
Mbak menor pilih kasih,
dia hanya baik pada orang yang baik juga kepadanya,
kalau begitu tak perlu repot-repot jadi pendeta pembantu donk.
Waktu berlalu...
mbak menor galau, dan dia mulai meninggalkan hidup bergereja,
bahkan gelar pendeta pembantu harus dicopot
karena suatu masalah pribadi.
Baru sebulan lalu,
saya mendengar bahwa mbak menor pindah ke Kalimantan
bersama suaminya,
rumah eliet di Salatiga yang dulu sangat dibanggakannya
terpaksa harus dijual,
mbak menor gulung tikar, dan pindah ke luar pulau
memulai hidup baru meninggalkan suasana kota yang hingar bingar.
Mungkin anda juga pernah berhadapan pada hal yang serupa
dengan saya,
dimanapun tempat ibadahnya, apapun keyakinannya,
hampir bisa dipastikan ada orang-orang seperti Tia dan mbak menor.
Melakukan sesuatu agar dilihat, dipuji, disanjung
dan ujung-ujungnya mereka mendapat perlakuan istimewa.
Yang seperti itu kurang berguna untuk dipikirkan,
hanya akan melelahkan jiwa dan raga saja.
Mungkin berbeda orang, berbeda pula cara memberi..
kalau menurut saya pribadi...memberi sesuatu itu lebih baik
tak ada seorang pun yang tahu akan jauh berkesan.
Meskipun saya kerap kali tak habis pikir,
untuk apa berbuat berlebihan seperti itu
hanya demi pujian dari orang lain ( mungkin ).
Pernahkah kita berbuat sesuatu untuk diri
sendiri,
tanpa ada embel-embel demi menuai pujian dan rasa kagum
dari lingkungan sekitar??
Misalnya saja,
mau pergi beribadah..
coba tanyakan pada hati nurani? apakah kita betul-betul menginginkannya?
atau ada alasan tertentu dibalik itu?
Memang bagus juga berbuat suatu hal,
untuk menyenangkan orang tua, pasangan, teman-teman,
namun terlebih dulu kita harus melakukan
untuk diri sendiri.
Tanpa mau berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masing-masing
pribadi,
maka apa yang kita perbuat untuk orang lain juga
setengah matang,
dalam artian setengah hati dan akhirnya tidak maksimal.
Jikalau ingin memberi, cukup dua pihak yang terlibat,
sang pemberi dan yang menerima pemberian apalagi konteksnya
untuk rumah ibadah.
Sang pemberi hidup tak pernah membedakan kita
dari kekayaan, warna kulit, jenis rambut,
semua sama.
Status anda dan saya sama yaitu seorang manusia,
yang pada awalnya diciptakan untuk membawa kebaikan
di dunia.
Dulu,
saya beribadah agar ibu tidak marah,
dengan bertambahnya usia saya bisa menjelaskan pada beliau
dengan baik mengapa saya tak selalu ingin pergi beribadah.
Hhmmm motivasi saya beribadah adakah agar terhindar dari
amarah ibu,
tentu saja ibadah saya tak maksimal karena keinginan itu
tidak lahir dari dalam hati.
Karena ibadah bukan kehadiran di gereja yang terpenting,
bukan berapa rupiah sumbangan yang mengalir ke rekening pendeta
atau gereja.
Ibadah itu masalah hati kawan,
bukannya saya mau menggurui bagaimana beribadah yang baik.
Justru saya masih belajar, dan saya ingin mengajak
anda untuk belajar juga.
Beribadah dengan memberikan hati kita sepenuhnya
pada Tuhan yang kita yakini,
tanpa ada embel-embel yang lain.
Bila kita sudah cukup yakin melakukan sesuatu
untuk diri sendiri dengan ikhlas,
maka apa-apa saja yang kita lakukan untuk orang lain
juga lebih berguna.
Tak ada yang bisa menyadarkan juga mengajak anda dan saya
untuk melakukan hal tersebut,
itu hanya bisa lahir dan dimukai dari dalam diri kita sendiri.
Selamat mencoba :)
No comments:
Post a Comment