Terinspirasi dari blog sebelumnya tentang kisah
cinta dunia maya, berawal dari facebook lalu ke handphone
lalu ke hati,
membuat saya ingin menulis tentang patah hati
atau broken heart.
Jadi erat kaitannya antara patah hati dan
cerita Sophie.
Seperti yang sudah saya tulis di blog sebelum ini,
Sophie harus menerima kenyataan bahwa
Sophian meningkari janji untuk bertemu muka.
Kejadian itu membuat kondisi kejiwaan Sophie
agak terguncang,
menangis 3 hari berturut-turut, ditambah lagi
tak nafsu makan dan minum.
Meskipun dia dikenal sebagai cewek yang ramah, rame,
banyak senyum,
namun patah hati menghilangkan itu selera humornya selama
kurang lebih satu minggu.
Sophie menjalani hari-hari terberatnya,
tanpa kabar dari Sophian, tanpa telfon, tanpa kata maaf
untuk kedua atau ketiga kalinya.
Handphone Sophie yang biasanya bisa 2 kali recharge dalam sehari
akhir-akhir ini menjadi hemat, karena tak ada lagi yang biasa
menelfon 5 kali.
Sirna sudah semua harapan Sophie untuk bertemu dan melihat
langsung wajah tampan Sophian.
Keterpurukan itu membuat wajah Sophie pucat,
dan kantong matanya semakin hitam.
Setiap malam dia tak bisa tidur nyenyak, yang terbayang
hanyalah wajah Sophian,
serta masih tak habis pikir....
komunikasi intim yang selama ini jadi pembangkit semangat
ternyata berbalik jadi penghancur semangat paling dahsyat.
Dengan bodohnya Sophie masih berharap,
ini semua hanya mimpi buruk,
Sophian mungkin hanya bercanda, atau hanya butuh waktu
sebentar untuk merenung.
Tiga hari berlalu, satu minggu...
sepuluh hari....dua minggu, tetap tak ada kabar
dari pria itu.
Meskipun demikian, Sophie masih bergelut dengan dirinya sendiri,
rasa marah, tidak terima, cemburu, rindu semua bercampur
menjadi satu dihatinya.
Dia merasa ini sama sekali tak adil baginya,
1,5 tahun menanti saat yang tepat untuk bertemu pria idamannya
malah hancur semuanya hanya dalam waktu dua minggu
sebelum hari H yang direncanakan.
Orang tua dan sahabat Sophie bergantian menelfonnya,
memberi perhatian agar dia tidak merasa kesepian, dan
ditinggalkan.
Dalam isak tangis, Sophie perlahan-lahan mencoba untuk
ikhlas...
bagaimanapun juga ini sudah terjadi.
Sophie berjuang dengan sakit hati, Sophian di Jakarta mungkin
sedang beraktivitas seperti biasanya.
Saya juga punya kisah tentang patah hati,
kisah ini terjadi belasan tahun yang lalu, saat masih
pakai seragam putih-biru.
Di sekolah, saya punya beberapa teman cewek dan cowok,
ada beberapa teman yang antipati bergaul dengan cowok-cowok
katanya mereka suka main kasar, bicara seenaknya.
Ah, saya tak sepenuhnya percaya akan hal itu,
maka dari itu..
saya mempunyai beberapa teman cowok yang cukup akrab.
Kami biasanya les matematika bersama, jalan-jalan naik sepeda,
dan mereka sering main ke rumah sekedar
untuk ngobrol dan mengerjakan PR ( alibi ).
Sebut saja namanya Sojie,
satu kelas, satu kelompok les, satu gereja, dan
sepermainan.
Sojie itu tinggi, kurus, agak berjerawat, rambut rapi dibelah
pinggir kanan, hidungnya mancung uhm...punya penyakit asma.
Awal mulanya Sojie dan saya secara tak sengaja
masuk dalam satu group les matematika,
disitulah kami mulai dekat.
Saya dan Selvi ( teman sekelas dan les juga ) cepat akrab dengan
siapa saja termasuk pada Sojie dan kelompoknya.
Alhasil Sojie mulai sering ngajak ngobrol tentang PR di sekolah,
tentang ulangan, ataupun gosip yang beredar.
Kedekatan kami berlanjut, saat Sojie mulai sering telfon ke rumah
dari jam 9 sampai tengah malam,
padahal keesokan harinya kami masih bertemu di sekolah,
tapi selalu ada saja yang bisa kami jadikan
bahan pembicaraan.
Waktu itu sih hanya ayah saya yang punya handphone,
jadi saya terpaksa mendominasi telfon rumah deh.
Nggak cukup sampai disitu,
Sojie hampir setiap hari main ke rumah,
bersama teman-teman cowok yang lain, namun
kadang dia hanya datang sendiri.
Kami biasanya duduk di teras, ngobrol sambil lihat
kendaraan yang berlalu-lalang,
ditemani oleh suguhan dari ibu saya.
Bertemu di sekolah, main ke rumah tak membuat intensitas
telfon jadi berkurang,
setiap malam bisa dipastikan saya duduk di belakang
meja telfon sambil senyum-senyum sendiri
mendengar suaranya.
Beberapa orang terdekat kami seperti orang tua, guru, teman-teman,
sudah agak curiga...
ada apa diantara kami berdua.
Semakin hari, semakin besar harapan saya...
untuk bisa berpacaran dengan Sojie.
Sepulang dari les matematika,
saya makan malam lalu mengerjakan tugas sambil
menunggu telfon dari Sojie.
Eh tugas belum selesai, telfon sudah berdering,
asyik!
Reaksi kedua orang tua saya biasa saja,
alias mereka tak nampak keberatan kalau Sojie main ke rumah
atau telfon hingga tengah malam.
Karena kami beribadah dalam satu gereja yang sama,
pernah suatu kali diadakan retreat untuk pemuda remaja.
Kami berada di dalam bis yang sama,
tapi tak duduk bersebelahan.
Malam harinya, Sojie dan beberapa teman cowok sengaja menyusup
ke dalam kamar saya bersama group cewek,
kami main kartu, bercerita, dan ketiduran sampai pagi.
Keesokan harinya, atau lebih tepatnya saat subuh Sojie dan
para cowok mengendap-endap meninggalkan
kompleks kamar cewek.
Lambat laun saya tak bisa menahan rasa berbunga-bunga yang muncul,
setiap kali sedang berdekatan dengan Sojie.
Saat-saat yang kami lalui selama ini,
baik berdua maupun dengan teman-teman menjadi sangat berarti.
Wajar donk kalau saya menaruh harapan lebih pada Sojie.
Kemudian...saya sendiri yang menambah porsi harapan itu,
semakin bertambah besar tanpa back up plan.
Untuk apa plan A, plan B, plan C
apalagi plan D,
saya hanya punya dan mempercayai plan A.
Plan A adalah saya akan semakin dekat dengan Sojie,
dan tinggal menunggu waktu yang pas
untuk menjadi pacarnya.
Lagipula apa yang selama ini dia lakukan
sudah termasuk hal yang luar biasa,
dan tidak dilakukannya pada setiap cewek di kelas kami.
Setiap pagi saya semangat pergi ke sekolah,
tak lupa merapikan baju seragam yang dipakai,
uhm...dilengkapi dengan tas sekolah yang warnanya serasi dengan
rok seragam.
Setiap kali ada kesempatan, saya curi-curi pandang ke arah Sojie,
dan dia selalu tersenyum manis saat mata kami
beradu pandang...
Oh indahnya....
Menurut saya kala itu, Sojie punya nilai lebih
dibandingkan dengam anak cowok yang lainnya.
Dia tidak merokok, tidak mengumpat ( paling tidak di depan saya ),
rajin beribadah, dan wajahnya cukup tampan.
Masalah kepandaian tak menjadi hal penting bagi saya
disaat itu,
ehm...Sojie hanya pandai di beberapa mata pelajaran ilmu pasti,
untuk sosial...saya lebih pandai :)
Saat pulang sekolah,
saya naik becak, Sojie naik sepeda, kami berjalan beriringan
sambil membahas, nanti dia akan main ke rumah
jam berapa dan banyak hal lainnya.
Apa masih kurang indikatornya?!
sudah sebegitu dekatnya, tak ada alasan lain
untuk membuat plan B.
Hati saya teguh pada plan A menunggu Sojie menyatakan
rasa sukanya,
mungkin dia masih malu, belum siap, atau ingin
memastikan perasaannya.
Caturwulan demi caturwulan kami lalui bersama,
sampai tiba saatnya kenaikan kelas.
Sikap Sojie tidak berubah sedikitpun,
kami tetap dekat satu sama lain.
Hingga di suatu malam,
di tengah percakapan kami di telfon...
dia bercerita tentang sesuatu dari masa lalunya.
Adalah seorang gadis bernama Stophira yang mencuri hatinya
sejak kelas 6 SD.
Dulu mereka bertetangga, namun setelah beberapa tahun
Stophira diajak pindah rumah oleh kedua orang tuanya.
Saya mendengarkan curahan hati Sojie dengan penuh seksama,
sambil terus memberi semangat untuk move on.
Karena suara Sojie terdengar lebih berat dari biasanya,
dan tibalah di satu titik...
dia mengaku kalau masih berharap bisa bertemu kembali
dengan Stophira, si gadis tetangga.
Malam itu saya tidak seperti biasanya,
tak banyak bicara, jarang tertawa.
Sojie heran...mengapa tiba-tiba saya berubah drastis,
padahal beberapa menit sebelumnya
saya masih baik-baik saja.
Rupanya dia tak paham mengapa saya tiba-tiba
diam seribu bahasa.
Pikiran saya terlalu rumit untuk mengucapkan banyak kalimat,
tak lama kemudian..
saya akhiri pembicaraan dengan Sojie, buru-buru masuk kamar
dan menangis.
Selama ini saya kira,
Sojie menyukai saya...maka dari itu dia menghabiskan banyak
waktu bersama, dari pagi hingga malam hari.
Keesokan hari dan selanjutnya..saya menghindari Sojie,
tanpa alasan apapun.
Meskipun sempat dia beberapa kali datang ke rumah dan menelfon,
tapi saya paksa orang rumah untuk berbohong...
mau tak mau saya harus menjauhinya.
Masih enggan untuk percaya kalau selama ini Sojie
menyimpan rapat rasa sukanya pada gadis tetangga,
lalu untuk apa dia mendekati saya?!
kalau hanya sebagai teman, apa harus sampai sebegitunya?!
semakin keras saya berpikir, semakin tak
mendapat jawabannya.
Mungkin saya harus merelakan Sojie untuk mengejar
cinta masa kecilnya..pada Stophira si gadis tetangga.
Kembali mengingat cerita ini sebenarnya menguras
energi juga emosi saya.
Betapa konyolnya saya pada masa remaja,
bisa terpesona hanya karena hal-hal sepele.
Hhhmmm tidak kebetulan,
sampai saat ini saya sering menjadi tempat bercerita
baik tentang jatuh cinta maupun sebaliknya.
Saya kurang setuju pada sebuah syair lagu
yang berbunyi jatuh cinta berjuta rasanya...
menurut saya patah hatilah yang justru berjuta rasanya.
Coba tanya orang yang sedang berbunga-bunga...
pasti jawabannya...
ya gitu deh...ya dia baik, pekerja keras, perhatian,
ya moga-moga aja lancar.
Coba kalau orang patah hati?
seperti kehilangan separuh jiwa, sakit luar biasa dan
tak terkatakan, perihnya minta ampun lebih perih
daripada lecet akibat pakai sepatu baru,
pingin mukul dia, pingin buktikan kalau bisa baik-baik saja
tanpa dia, pingin datang ke rumahnya terus nampar pipinya,
sakit banget cuma pingin diam aja nggak ada yang gangguin,
dan masih banyak ekspresi kata orang yang sedang patah hati.
Menulis blog ini membuat saya meneliti kembali,
sebenarnya..patah hati itu apa sih?
patah hati itu sangat sederhana, keadaan yang tak sesuai
dengan keinginan kita.
Sudah itu saja intinya, namun karena pada kondisi yang
seperti itu...saya dan anda cenderung memperpanjang dan memperumit
karena ego kita terluka.
Mestinya saya ingin bersama Sojie, tapi kenyataannya
cinta saya bertepuk sebelah tangan,
hhmmm tidak sesuai dengan keinginan.
Saya bersyukur tak pernah berbuat hal bodoh saat sedang
patah hati,
sebotol bir dingin, menangis sekencang-kencangnya,
itu akan sangat membantu.
Untuk kalian yang sedang mengalami patah hati,
atau indikasinya mengarah kesana.
Tak perlu takut, tak perlu merasa sedemikian
kehilangan atau kesepian.
Bila terasa sakit itu wajar, ingatkan diri sendiri
bahwa sebenarnya....patah hati itu adalah
keadaan yang tidak sesuai dengan kemauan kita.
Bukankahselama hidup,
banyak sekali hal serupa??
dan memang tak semua sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Semakin terpuruk kita akan suatu masalah,
semakin sakit hati kita, dan kehilangan dua hal yang sangat
berharga dalam hidup ini yaitu waktu dan semangat.
Jangan khawatir, saya dan anda tak sendirian dalam hal
patah hati...
itu sudah biasa.
Kali ini jadilah yang luar biasa, bangkit dari hal tersebut,
hapus air mata, dan tersenyumlah.
Jangan sampai seseorang atau suatu hal
bisa meruntuhkan api semangatmu ;)
Friday, February 21, 2014
Tuesday, February 18, 2014
Cinta kok maya, maya kok cinta
Sebut saja namaku Sophie,
25 tahun dan sudah bekerja disalah satu bank swasta.
Setelah menyelesaikan kuliah jurusan akuntansi,
kuputuskan untuk tetap tinggal di Salatiga, untuk mencari kerja.
Orang tua sempat memintaku untuk pulang kampung,
mereka sudah menyiapkan dana yang besar agar aku
bisa buka usaha sendiri.
Namun aku tak memiliki keinginan berwiraswasta,
menurutku agak membosankan dan kurang menantang.
Seusai legalisir ijazah aku segera ikut job fair,
dan rajin browsing di internet untuk mencari
lowongan kerja.
Tak lama sesudah mengikuti job fair di kampus,
aku mendapat panggilan kerja, betapa bahagianya!
Seminggu sebelum wawancara kerja, aku melakukan banyak persiapan,
mulai dari baca buku, latihan presentasi, latihan wawancara,
dan banyak bertanya pada teman-teman yang sudah berpengalaman.
Hari H wawancara kerja pun dimulai,
aku sempat tak yakin dengan hasilnya, karena
merasa tak percaya diri.
Masa penantian adalah waktu yang sangat mendebarkan,
aku ingin diterima kerja di bank tersebut namun sekaligus
takut hasil wawancaraku tidak memuaskan.
Tiga hari setelah wawancara, pihak bank menelfonku untuk
memberitahukan bahwa aku bisa mulai kerja minggu depan.
Oh rasa lega dan gembira bercampur menjadi satu,
paling tidak aku tak harus pulang kampung dan
menekuni bidang yang tak kusukai.
Aktivitas kerja setiap hari,
sangat aku syukuri, meskipun terkadang aku
harus lembur.
Masalah pekerjaan bisa kuatasi satu per satu,
sembari terus membuka hati untuk seseorang.
Selama ini aku tak pernah berpacaran lebih dari 2 tahun,
dan sudah setengah tahun ini aku berstatus jomblo.
Sempat iri juga kalau melihat dan menghadiri resepsi
pernikahan teman.
Dalam hati aku bertanya, kapan ya aku punya pacar lagi?
sedangkan aku tak punya banyak kesempatan untuk hang out,
sebagian besar waktuku sudah tersita di pekerjaan.
Ditambah lagi aku semakin pusing kalau orang tua sudah bertanya,
apa aku sudah punya calon pendamping? dan kapan
akan dikenalkan pada mereka?
Ya ampun, untung saja aku tinggal jauh dari orang tua
jadi pertanyaan semacam itu tak kudengar setiap hari.
Aktivitas sepulang kerja biasanya aku makan bersama teman
kantor atau teman kost,
lalu sebelum tidur....biasanya aku membuka facebook
untuk tahu kabar-kabar terbaru.
Dari profile seorang teman, aku lihat seorang cowok berkulit putih,
bermata sipit...
dari pertama kali lihat fotonya, aku langsung tertarik
dan kuundang untuk berteman di facebook.
Tak ada pikiran apa-apa selain iseng,
diterima ya bagus...hitung-hitung punya teman baru,
seandainya nggak diterima juga nggak masalah.
Hari berikutnya, kubuka facebook dan ternyata
aku sudah berteman dengan cowok berkulit putih,
bermata sipit itu, senangnya hatiku.
Sebut saja namanya Sophian, 22 tahun, bekerja di Jakarta
di sebuah tour and travel.
Diterima sebagai teman saja aku sudah girang minta ampun,
tapi untuk mengajaknya ngobrol masih belum berani
aku grogi abis!
Tak diduga-guda ternyata Sophian lah yang mengajak aku
ngobrol duluan.
Dia bertanya mengenai beberapa pertanyaan standart, seperti tinggal
dimana? kerja apa? asalnya dari kota mana?
Setiap pulang kerja, aku punya semangat tersendiri
untuk buka facebook.
Obrolan kami sangat asyik,
maksudnya nyambung satu sama lain padahal
hanya chatting di facebook.
Kira-kira sepuluh hari setelah chatting, Sophian bertanya
nomer handphone ku,
wow nggak terkatakan lagi betapa antusiasnya aku
untuk mengenal dia lebih jauh.
Entah kenapa baru ditanya nomer handphone tapi
rasanya sudah deg-degan nggak karuan,
ada apakah gerangan?
Semenjak kami berdua saling bertukar nomer ponsel,
komunikasi semakin lancar,
tak perlu koneksi internet, tak perlu terhambat kalau
page facebook lagi lama loadingnya.
Aku sempat cerita pada teman dekatku mengenai Sophian,
temanku bilang...
aku harus berhati-hati kalau mau mengenal cowok lebih jauh
apalagi dari internet, bisa saja dia sudah beristri, bisa saja dia
bohong tentang banyak hal..
intinya jangan membeli kucing dalam karung.
Saran itu selalu dia sampaikan saat aku bercerita
menggebu-gebu tentang Sophian,
dia tetap kurang setuju kalau aku naksir seseorang
tanpa bertemu terlebih dahulu.
Sementara itu,
komunikasiku bersama Sophian terus berjalan,
aku semakin tahu apa saja kegiatannya setiap hari,
dia tinggal bersama siapa saja, apa makanan kesukaannya,
dan sampai pada siapa mantan pacarnya.
Setiap kali ada kesempatan untuk buka handphone,
aku selalu mengirim pesan atau menelfonnya
walaupun hanya 5 sampai 10 menit.
Cukup mendengar suaranya, aku bisa berbunga-bunga,
konyol bukan?!
Sophian berusia 3 tahun lebih muda dariku,
dia anak pertama dari 3 bersaudara, asalnya dari Surabaya,
kemudian merantau ke Jakarta untuk bekerja.
Sophian tinggal di sebuah rumah kontrak bersama
teman-temannya, dia berangkat beraktivitas jam 7 pagi,
sampai di rumah rata-rata jam 9 malam.
Mulanya Sophian hanya menelfonku 2 kali dalam seminggu,
kami saling bercerita tentang pekerjaan, hobi, tentang teman-teman,
sampai acara kuis di televisi.
Lama-kelamaan dia menelfonku setiap malam,
dan semakin banyak informasi yang aku ketahui dari dirinya,
tentu saja, aku percaya semua yang dikatakannya tanpa
kecurigaan sedikitpun.
Setiap malam menelfon ternyata belum cukup,
akhirnya...
dalam satu hari Sophian bisa 3 atau 4 kali menelfonku.
Aku semakin suka dengan sosok Sophian,
dari hari ke hari ada saja kata-katanya yang membuatku terpesona.
Pulsa telfon pun semakin boros,
karena dalam sehari kami bisa ngobrol lebih dari 5 jam...
Saat pagi mau berangkat aktivitas, saat di dalam busway,
sudah sampai kantor, istirahat siang, pulang kantor,
perjalanan pulang dengan taxi atau busway, sampai rumah,
sambil gosok gigi dan sebelum tidur, fiuh...
Teman-teman kost sudah bilang hubunganku nggak wajar,
belum bertemu langsung tapi sudah begitu dekat lewat telfon,
lagi-lagi aku mendengar saran yang sama..
"jangan membeli kucing dalam karung".
Seberapa sering mereka berkomentar, dan memberi saran
aku tak peduli,
karena tak seorang pun boleh merusak mimpi indahku
bersama Sophian.
Obrolan kami berdua terus berlanjut,
di setiap aktivitas, kami selalu memberi kabar satu
sama lain agar tak ada yang merasa cemas.
Topik yang tidak umum seperti,
gaji bulanan, konflik dalam keluarga kami masing-masing,
sampai pada keyakinan sudah kami bahas.
Bahkan dengan blak-blakan dia menceritakan mengenai
keluarga inti maupun keluarga besarnya.
Adik perempuan dan mamanya sudah pernah ngobrol
denganku, dan lagi-lagi meskipun hanya lewat telfon,
hatiku sangat berdebar-debar.
Tak hanya lewat telfon saja,
kami saling berkirim barang, seperti kado ulang tahun,
kado valentine, dan kado-kado yang lain,
beribu alasan untuk memberikan kado
padahal sebenarnya hanya ingin menunjukkan rasa perhatian yang lebih.
Setelah berdiskusi kami berdua memutuskan untuk bertemu,
yay...pangeran berkuda dan berkulit putih
akan segera menjemputku.
Aku merasa Sophian sangat serius dalam menjalani
hubungan ini,
kalau tidak buat apa dja mau repot-repot menelfonku berkali-kali
dalam sehari, melaporkan semua aktivitasnya,
bercerita tentang aib di keluarganya, mengirim kado.
Mungkin sudah saatnya aku juga serius menjalani hubungan dengan
seseorang,
tunggu apalagi...semua sudah saling tahu, saling bercerita,
hanya tinggal bertemu muka dengan muka.
Sophian bilang akan mengajukan cuti untuk seminggu,
untuk datang ke Salatiga,
oh my gosh...rasanya seperti mimpi.
Sekitar 4 bulan sebelum kedatangannya, aku sudah sibuk
mempersiapkan hotel tempat dia menginap, menyiapkan
baju-baju mana saja yang akan aku kenakan saat bersamanya,
lalu mendaftar tempat wisata yang bisa dikunjungi selama satu minggu.
Teman-temanku menyambut baik niat dari Sophian
untuk datang menemuiku,
setelah 1,5 tahun kami hanya saling bicara, bercanda, bertengkar,
bahkan bermesraan lewat telfon,
sudah waktunya untuk saling menatap mata.
Alamak,
rasanya melayang ke langit ke sembilan, atau bahkan sebelas,
aku tak tahu lagi ini melayang kemana.
Kedatangan Sophian akan memperlengkapi hidupku,
karir sudah ada dan sedang berjalan,
tinggal menemukan calon pendamping hidup,
dan Sophian sedang berjalan kearahku.
Hari pun berlalu,
bulan pun berganti, hari H untuk bertemu Sophian
sudah mendekati.
Emosiku sering naik turun seperti curah hujan,
kadang aku jadi sangat pemarah dan sensitif,
disisi lain bisa jadi aku sangat pendiam, cuek,
tak peduli tentang apapun selain Sophian.
Persiapan untuk menyambut kedatangannya pun
terus rutin ku lakukan,
seperti luluran, facial, rajin creambath, olahraga,
bahkan sampai belajar make up wajah.
Aku rasa Sophian layak mendapatkan semua ini,
karena dia terdengar cukup serius menjalin
hubungan ini ke arah yang lebih jauh.
Faktor-faktor seperti sudah mengenal dan pernah ngobrol
beberapa kali dengan mama dan adiknya
membuatku maju pantang mundur untuk bertahan
bersama Sophian.
Meskipun selama ini, banyak salah paham yang terjadi di antara
kami tentang pembagian waktu telfon, perbedaan pendapat,
sampai rasa cemburu juga pernah ada..
namun aku memutuskan untuk menanti Sophian datang,
dan meraih kebahagiaan bersamanya.
Sophian pun sudah browsing di internet, tentang
penginapan yang ada di Salatiga,
dia tertarik karena Salatiga masih sejuk, dan udaranya
lebih segar daripada Jakarta.
Kami berdua sering berkirim foto,
foto saat akan berangkat kerja, berangkat ke gereja,
saat akan nonton bioskop, bahkan saat tidak enak badan,
dan bangun tidur.
Sudah sering mengamati wajahnya di layar handphone
maupun computer masih saja membuatku menduga-duga..
apa ya seoerti ini juga wajah aslinya?
oh betapa tampannya...
Satu bulan menjelang hari pertemuan kami,
penginapan sudah dipesan, bahkan aku sudah menyewa
mobil di rental selama seminggu, untuk menjemput
Sophian di bandara dan mengajaknya jalan-jalan.
Dua minggu sebelum pertemuan itu,
aku merasa Sophian berubah drastis.
Dia tak lagi sering menelfonku,
cukup sekali dalam sehari itupun jam 2 dini hari
dan aku sudah tertidur.
Ok, mungkin dia sedang sangat sibuk menjelang cuti satu minggu,
aku putuskan untuk menelfonnya saat istirahat siang,
dan malam hari, namun tak pernah diangkat.
Wah, ada apa ini?!
mengapa Sophian tiba-tiba sibuk, mengapa dia seolah-olah tak ada
waktu lagi untuk berbicara denganku.
Hari jumat dini hari pukul 2, dia menelfon,
dengan suara yang sangat berat,
dia mengaku bahwa selama 2 minggu terakhir ini
dia dekat dengan cewek lain, teman persekutuan doa.
Dunia seakan runtuh detik itu juga,
hatiku rasanya mau diambil paksa dari dalam tubuh...
mendengar pengakuan Sophian.
Karena gengsi, aku pun menanggapi pengakuan itu dengan sangat tenang,
sangat dingin, cuek, seakan-akan aku baik-baik saja.
Hancur sudah angan-angan indah bersamanya,
apa mau dikata...
dia sudah memilih orang lain bernama Sonya.
Pengalaman bersama Sophian memberiku pelajaran berharga,
yaitu....
jangan percaya perkataan manis pria lewat dunia maya.
Hhhmmm...seperti slogan sebuah iklan detergen pencuci baju..
"kalau nggak ada noda nggak belajar".
Hatiku tertohok mendengar hal itu,
dan kini...aku harus menerima kenyataan
janji Sophian hanyalah janji palsu.
# Cerita diatas bukan rekayasa,
hanya namanya saja yang dirubah untuk menjaga
privasi masing-masing.
Sunday, February 16, 2014
Bosan ketemu pegawai
Untuk judul blog kali ini saya teringat dengan program
acara di salah satu stasiun televisi swasta,
nama acaranya "bosan jadi pegawai".
Acaranya memberikan tantangan pada orang-orang yang sudah
merasa bosan menjadi pegawai, dan mencoba sebagai wiraswasta.
Dengan tantangan yang berbeda-beda, beberapa orang yang sudah dipilih
akan mencoba menekuni profesi baru,
dengan alasan sudah bosan bekerja untuk orang lain alias
jadi pegawai.
Judul diatas tentu saja sangat berkaitan erat dengan isi cerita saya,
dimulai dari...
pengalaman menjadi anak kost yang selama bertahun-tahun
mengajarkan saya banyak hal.
Mulai dari cara bersih-bersih kamar, merapikan barang yang masih dipakai
ataupun sudah nggak dipakai lagi,
dan tentu saja belajar tinggal bersama orang lain
selain keluarga.
Belajar masak juga saya lakukan, namun tidak setiap hari
karena alasan praktis saya laebih suka membeli
makan diluar.
Kalau ada teman yang mengajak untuk masak rame-rame,
ya bolahlah sekali dua kali untuk variasi.
Jadi ingat teman saya yang bernama Novi,
dia sangat rajin memasak dan menurutnya memasak sendiri jauh
lebih hemat dibandingkan dengan jajan diluar.
Novi suka mengajak saya memasak bersama, sayur sawi, sayur bayam,
goreng telur, tahu, tempe, bikin sambal uleg dan lainnya.
Sebenarnya saya suka memasak,
tapi....dengan aktivitas padat yang harus dijalani,
saya lebih suka maling a.k.a makan keliling.
Sekalipun hanya masak mie instant saja, tapi saya lebih suka
membeli di warung, praktis banget tinggal makan,
tanpa harus mencuci piring kotor dan alat masaknya.
Makan dari satu warung ke warung lainnya,
masakan jawa, menado, batak, ambon sudah pernah
saya coba.
Kalau ada uang lebih ya makan dari cafe ke cafe,
mulai dari steak, pizza, buritis, nachos, dan masih
banyak lagi.
Berkunjung ke satu tempat makan ke tempat makan lainnya
membuat saya mau tak mau berhadapan dengan karyawan bahkan pemilik
dari tempat usaha tersebut.
Dan ada beberapa hal yang saya simpulkan mengenai karyawan di Salatiga,
baik di tempat makan, di toko baju, di tempat cucian motor, laundry.
Selamat membaca ;)
★ Konsentrasi kurang.
Hhhmmm saya sering mendapati banyak karyawan maupun
karyawati sibuk sendiri dengan ponsel, atau bercanda bersama
rekan kerja mereka.
Rasanya demam chatting dan media sosial memang merata
sampai mereka yang seharusnya melayani pembeli dengan baik,
malah seenaknya sendiri.
Akibatnya, pembeli tanya apa, dijawab apa,
yang lebih parah lagi...pembeli dapat barang yang tidak sesuai
dengan pesanan.
Seringnya saya pesan seporsi makanan tanpa ayam dan telur,
tanpa seafood, namun yang saya dapat kebalikannya,
padahal pesanan yang saya mau sudah ditulis detail,
hasilnya tetap saja salah.
Sebuah supermarket di Salatiga, banyak karyawatinya duduk di
sepanjang lorong ngibrol, bercanda, serasa nongkrong di cafe.
Tidak melarang untuk ngobrol, namun lihat waktu dan kondisi,
mereka ngobrol berlebihan pada jam kerja dan
lorong jadi penuh sesak karena mereka,
akibatnya pembeli yang merasa kurang nyaman.
Yang kali ini sangat sering saya alami,
Kasir di suatu depot makan, butik, toko asesoris,
salah hitung uang kembalian.
Jadi yang mestinya uang kembalian saya cuma beberapa ribu,
malah dikasih beberapa puluh ribu,
otomatis saya terkejut lalu mengembalikannya lagi.
Ya ampun...bagaimana bila hal itu terjadi beberapa kali
dalam satu minggu, dan si kasir bertemu dengan orang yang
nggak jujur?!
Bukankah dia juga yang bertanggung jawab dengan sang majikan,
alias harus potong gaji untuk mengganti kerugian
hanya karena nggak konsentrasi dalam bekerja.
Pernah juga saya di sebuah butik,
para karyawatinya malah sibuk ngobrol sambil makan rujak buah,
emang asyik sih ngerujak bareng teman-teman, tapi juga harus diingat
bahwa mereka dibayar untuk melayani pembeli bukan
rujakan dan ngerumpi.
Ada juga yang sambil menunggu pembeli,
mereka duduk dan sibuk dengan ponsel masing-masing,
padahal mereka bisa mengerjakan berbagai hal lainnya selain
sibuk dengan ponsel.
Saya rasa masalah konsentrasi ini bukan hanya untuk para
karyawan dan karyawati, tapi untuk saya dan anda juga...
sebaiknya kita selalu berusaha konsentrasi penuh,
dalam berbagai hal yang kita lakukan.
★Tidak siap.
Yang paling sering saya alami adalah,
para pegawai maupun pemiliknya sendiri tidak siap uang kembalian.
Sabtu lalu saya dan Mr.Software Engineer makan di sebuah warung nasi goreng,
saat membayar dengan uang 50 ribu, si pemilik nggak punya kembalian
sebesar 27 ribu rupiah,
dengan terburu-buru dia pergi ke warung sebelah untuk tukar uang.
Kejadian itu untuk kesekian ratus kali mungkin,
karena sudah terlalu sering sampai saya bosan.
Nggak hanya di satu warung tapi hampir rata-rata seperti itu,
mereka sangat tidak siap dengan uang kembalian sehingga para
pembeli harus menunggu lebih lama lagi untuk menunggu
mereka tukar uang.
Masak mau jualan tapi laci atau kotak uang dibiarkan kosong,
nggak ada persediaan uang kembalian?!
Menurut saya sih, uang kembalian adalah salah satu hal penting
yang harus disiapkan agar nggak merepotkan orang lain,
baik pembeli maupun orang yang ditukari uang.
Kedengarannya memang bukan hal besar,
namun saat sedang terburu-buru dan masih harus menunggu uang kembalian,
itu sangat menguji kesabaran saya.
Mengapa tidak disiapkan terlebih dahulu, itu akan semakin melancarkan
kegiatan jual-beli, jadi si penjual juga nggak perlu repot-repot
blingsatan tukar uang.
Faktor nggak siap lainnya adalah, tidak tahu benar barang yang dijual
atau diperdagangkan,
entah persediaan barang, harga, sampai model.
Saya pernah akan membeli sebuah pernik hello kitty,
namun di barang itu belum tercantum harga, jadi saya bertanya pada
si karyawati....
15 menit kemudian saya belum mendapat jawaban,
dan saya memutuskan pulang saja.
Sering juga saya alami yang beginian,
naksir sebuah barang, tanya harga atau apakah ada
persediaan warna lain,
kebanyakan karyawati yang saya jumpai nggak tahu harus bagaimana,
tanpa melihat persediaan barang yang ada langsjng bilang
nggak ada.
Saya hanya senyum-senyum sendiri sambil bertanya dalam hati,
nggak ada atau kamu malas bongkar persediaan?!
Entah bagaimana para pemilik memberi pelatihan pada
calon karyawan atau karyawatinya sebelum
masuk ke medan kerja yang sesungguhnya,
sampai-sampai saya sering menemui ketidaksiapan mereka
dalam berbagai hal.
★ Meremehkan.
Ada beberapa contoh tentang karyawan atau karyawati baik
di tempat makan maupun di butik.
Misalnya saja di tempat makan,
saya selalu minta porsi nasi setengah saja, tapi si mbak atau mas
bilang ah satu porsi saja kan harganya sama.
Hhmm saya tak mempermasalahkan tentang harga,
namun saya tak terlalu suka makan nasi putih,
daripada terbuang sia-sia, maka dari itu saya hanya
minta porsi setengah.
Lanjut lagi..
saat berkunjung ke butik, saya membeli baju dengan model
untuk orang tua, lasti mbak nya bakalan bilang,
yang ini aja non...yang itu modelnya untuk ibu-ibu.
Saya tercengang, lho apa nggak boleh saya beli baju model
ibu-ibu?! kan saya beli belum tentu untuk saya sendiri
tapi untuk kado.
Ada lagi,
saya ingin beli underwear di sebuah supermarket,
mbak nya langsung bilang...wah mbak yang ukuran 38B lagi kosong,
otomatis saya kaget, lho lho belum tanya saya mau beli ukuran
berapa langsung sok tahu.
Alhasil, ukuran yang saya butuhkan ternyata ada...
dan si mbak pun hanya tersenyum malu ditambah
salah tingkah,
saya bilang...
"makanya mbak tanya dulu sebelum sok tahu"
Sampai-sampai ada juga karyawati di sebuah butik yang rasis,
kalau yang datang kulit putih pasti langsung disambut dengan ramah,
dilayani dengan baik,
selain kulit putih...akan dipandang sebelah mata, dianggap
nggak punya cukup uang untuk membeli sesuatu
di butik tempatnya bekerja.
Tujuan saya menulis hal-hal diatas,
adalah untuk dibaca pemilik maupun karyawan.
Siapa tahu ada dari anda yang tersesat sampai di blog ini,
bisa memperbaiki cara kerja anak buah anda.
Pengalaman saya dengan berbagai macam karyawan toko
memang cukup banyak,
demikian juga anda.
Mungkin saya lebih memperhatikan dan menuliskan
detailnya...
saya yakin anda juga mengalami hal yang kurang lebih sama
namun bisa saja anda tak terlalu memperhatikan.
Coba bayangkan kalau kita suka membeli makanan di suatu tempat,
rasanya enak, harganya bersahabat, porsinya juga banyak,
namun pelayanannya kurang bagus,
yah...bisa mengurangi minat untuk kembali berkunjung kesana.
Sebenarnya menjadi karyawan atau karyawati bukanlah hal yang mudah,
apapun kondisinya, harus berusaha sebisa mungkin
tetap melayani pembeli dengan baik.
Entah itu ada masalah dengan keluarga, dengan pacar, dengan
rekan kerja...ya tetap diusahakan harus profesional.
Sayang sekali di Salatiga, sangat sedikit yang saya lihat sangat
berkompeten sebagai seorang karyawati.
Jangan memandang rendah perkerjaan sebagai karyawan toko,
apapun pekerjaan yang dipercayakan,
hendaknya dikerjakan dengan maksimal.
Masalahnya adalah,
saya merasa para karyawan itu yang seringkalai menganggap rendah
diri sendiri...
halah cuma karyawan toko atau depot makan, untuk apa
terlalu dipikirkan harus ini harus itu.
Saya sendiri mengakui termasuk pembeli yang
sangat pilih-pilih, semuanya cocok kalau pelayanannya kurang baik,
dan tak segan-segan membatalkan transaksi.
Saya lebih terkesan pada karyawan atau karyawati yang bekerja
dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh,
pembeli puas, barangnya laku lebih banyak,
dan bagus untuk jenjang karir si karyawati itu sendiri
Menuliskan hal-hal detail diatas dari sisi customer,
bukannya saya nggak mau pengertian...
namun yang namanya bekerja pasti ada tuntutan atau
keharusan yang wajib dilakukan.
Sudah pernah saya tuliskan di blog sebelumnya,
saya adalah seorang guru les private,
meskipun saya dinilai cukup bagus sebagai guru les,
bila saya tak punya etika, pasti para wali murid juga
enggan memanggil saya kembali.
Hal diatas mungkin juga sudah diketahui oleh
para karyawan atau karyawati seantero jagad, namun
tak ada greget untuk melakukannya,
kenapa?
ya karena malas, nggak mau berusaha lebih untuk
memperbaiki cara kerja masing-masing.
Semoga ada mas karyawan, mbak karyawati yang membaca dan
terbuka pikiran juga hatinya...
diawali dari bersikap sopan, berbicara santun,
melayani satu sama lain,
bisa merubah lingkungan menjadi semakin baik.
Nggak percaya??
Yuk sama-sama kita buktikan :)
Saturday, February 15, 2014
Chocolate day
Seperti yang saya dan anda ketahui bersama,
bahwa kemarin tanggal 14 februari adalah hari valentine.
Notabene hari kasih sayang, saat yang dinantikan selama setahun
untuk menyatakan cinta, untuk melamar, ataupun
untuk mengadakan pesta pernikahan.
Sejak remaja,
saya sudah mengenal sekaligus merayakan valentine.
Biasanya, satu hari sebelum hari valentine,
saya belanja beraneka macam coklat untuk dibagikan.
Coklat yang sudah dibeli masih saya hias lagi, dibungkus dengan
kertas kado cantik, dan dilengkapi dengan
kartu yang nggak kalah cantik.
Saya dan beberapa teman cewek memang senang melakukan hal ini,
kami bersedia direpotkan dengan membungkus coklat,
menghias kartu and bla bla bla.
Hari H valentine semua coklat dan kartu yang sudah dibingkis cantik,
dibagikan pada teman-teman, gebetan, maupun pacar,
bahkan ada acara tukar kado juga.
Bila hari valentine bertepatan dengan hari minggu maka
acara pembagian coklat dan tukar kado akan ditunda sampai
hari senin.
Dengan bangganya saya membawa beberapa bingkisan coklat itu
ke sekolah,
dan saat membagikannya adalah saat yang paling indah.
Saat itu saya tak tahu, kenapa harus coklat?
kenapa harus bagi-bagi?
saya hanya mengikuti pola yang sudah ada,
dari kakak kelas dan teman-teman yang lain.
Menurut saya hari valentine nggak afdol
tanpa bagi-bagi coklat dan kado.
Tidak hanya sesama murid yang dapat coklat,
beberapa guru favorit saya juga dapat bingkisan itu.
Jadi kami yang saling bertukar coklat atau kado,
membuat iri yang nggak ikutan.
Nggak heran mulai dari toko, butik, restaurant, cafe,
pasti memberi penawaran dan service khusus pada
hari valentine.
Kebiasaan merayakan hari valentine pun
berlanjut hingga saya di bangku kuliah.
Teman di kampus, teman kost, dan pacar pasti dapat
bingkisan yang sebagian besar bungkusnya
berwarna pink.
Karena budget saya lebih banyak, otomatis
bingkisan coklatnya juga lebih bagus, lebih bervariasi dan
coklatnya made in luar negri.
Entah...
tapi ada kebanggaan tersendiri saat bisa membagikan
hadiah valentine.
Malah untuk beberapa orang yang dianggap special,
saya mengajak mereka makan malam special di restoran.
Kebiasaan itu pun terus berlanjut,
saat saya sudah bersama Mr.Software Engineer.
Rutinitas setiap hari valentine adalah
dia memberi beberapa mawar, coklat, dan malamnya
mentraktir makan malam di tempat special.
Rasanya sangat senang dan bersemangat menjelang hari itu,
dan saya memang sengaja membeli baju baru
agar tampil beda di acara makan malam.
Yang dimaksud dengan makan malam special adalah,
makan dengan menu yang berbeda dengan menu harian.
Kata yang lebih tepat untuk itu adalah
entertaining food,
jadi tidak dianjurkan setiap hari.
Pilihan menu makan special ala kami berdua yaitu,
menu steak atau pizza.
Apalagi dulu, saya dan Mr.Software Engineer masih makan
seafood, ayam, dan lain sebagainya.
Rasa bangga bisa merayakan valentine,
masih sama dengan rasa bangga waktu SMU dulu.
Dan saya yakin,
saya nggak sendirian...pasti banyak gadis lain yang
mempunyai pendapat sama.
Nggak heran saat menjelang hari valentine,
toko boneka dan asesoris di Salatiga penuh sesak
oleh para pria yang membelikan kado
untuk pacar maupun gebetan.
Fakta yang unik,
karena pada dasarnya para pria itu nggak suka pergi
ke toko-toko tersebut,
tiba-tiba di suatu hari mereka pergi ke toko yang sama, dengan tujuan yang
sama untuk membeli kado hari valentine.
Setelah sekian lama bersama Mr.Software Engineer,
kebiasaan kami merayakan valentine pun
berubah drastis.
Perubahan itu dimulai begitu saja, tanpa direncanakan
terlebih dahulu.
Kami berdua tak lagi saling memberi coklat,
memberi kartu valentine apalagi boneka.
Bukannya sudah tak cinta lagi,
tapi kami semakin dewasa dan bijak,
jadi lebih tahu lagi apa pentingnya merayakan hari valentine,
serta bagaimana caranya.
Saya tak lagi membeli baju baru di hari valentine,
karena itu adalah tindakan yang kurang bijak
sekaligus pemborosan.
Dan tentu saja kami berdua hanya memesan
menu sehat di acara makan malamnya.
Itupun tak harus di tempat yang special,
yang penting bisa menikmati makan berdua.
Mengenai kado valentine,
uhm saya rasa Mr.Software Engineer sudah memberikan
yang terbaik yaitu
tabungan jangka panjang.
Bisa dibilang bahwa hari valentine adalah hari berbagi,
karena di hari itu banyak orang yang mempersiapkan
diri dengan baik,
untuk membagikan coklat, kado, dan lainnya.
Mengapa di hari valentine dan tidak di hari lainnya?
saya rasa jawaban yang paling mendekati adalah
karena saya dan anda sudah terbiasa mengikuti pola.
Kebanyakan orang merayakan valentine,
lalu kita ikut merayakan juga.
Nggak ada inisiatif pribadi,
ataupun inovasi..
dari dulu sampai sekarang coklat masih
menjadi primadona untuk hari valentine.
Kenapa harus coklat?
kenapa harus mawar?
padahal bunga yang lain nggak kalah indah,
permen rasa buah juga nggak kalah lezat.
Bahkan di supermarket 24 jam pun,
persediaan coklat pasti habis di hari valentine.
Begitu dahsyatnya efek hari kasih sayang,
yang erat kaitannya dengan saling memberi coklat.
Untuk penggemar coklat seperti saya,
tak akan sabar menunggu saat hari valentine,
hari lainnya pun kalau memang ingin makan coklat
ya langsung beli saja.
Kembali pada hari berbagi..
mungkin tanpa kita sadari, setiap hari
adalah kesempatan emas untuk berbagi.
Lepas dari hari kasih sayang atau nggak,
saya dan anda akan tetap berbagi.
Berbagi senyuman, berbagi cerita,
berbagi permen, makanan, minuman, dan
masih banyak lagi yang bisa dibagikan.
Ya hari valentine mungkin dirasa waktu yang pas
untuk berbagi,
namun bukan berarti di hari lain kita tak bisa berbagi.
Saya tak lagi terikat dengan kebiasaan merayakan
hari valentine,
hari apapun itu bisa saya rayakan.
Karena menurut saya,
berbagi tak harus mengeluarkan uang.
Malah berbagi sebaiknya dimulai dari hal yang sederhana,
berbagi kasih, berbagi senyum, berbagi semangat.
Terdengar klise mungkin,
tapi akan lebih berdampak daripada
membagi coklat sekali dalam setahun,
walaupun harga coklatnya mahal.
Saya boleh berbangga hati karena
Mr.Software Engineer tidak lagi mengikuti pola lama,
memberi coklat dan kado,
namun membuat pola sendiri dan memberikannya
dengan sepenuh hati.
Dan jangan pernah berhenti untuk membagikan kasih,
selain di hari valentine.
Berbuat sesuatu yang menolong atau yang memberi semangat
untuk orang lain bukan hal yang sulit
untuk dilakukan.
Tergantung dari niat dan kemauan kita
masing-masing.
Kalau bagi saya pribadi...
saya akan lebih sering berkomunikasi dengan orang tua
itu salah satu bukti bahwa saya merindukan dan mengasihi mereka.
Oh ya, tahun ini
saya akan lebih banyak berolahraga entah itu
jalan kaki, berenang, karena merawat tubuh adalah tanda
bahwa saya mensyukuri berkat Tuhan dan mencintai tubuh saya
apa adanya.
Saya akan berusaha lebih bijak lagi mengatur uang bulanan
itu sebagai bukti saya tidak meremehkan kepercayaan
yang diberikan oleh Mr.Software Engineer.
Saya akan berusaha lebih mengasihi teman-teman,
dengan lebih sabar menghadapi mereka,
mendengarkan keluh jesahnya,
menghibur dan memberi semangat.
Dampak yang sebenarnya bisa dua kali lipat,
untuk orang-orang di sekitar dan untuk kita pribadi.
Rasa puas bisa berbagi dengan ikhlas sungguh luar biasa,
saya takkan bisa mendefinisikannya dengan tepat untuk anda,
sebelum anda coba untuk melakukannya.
Belilah coklat di hari lain selain hari valentine,
makan coklat itu bersama keluarga, pasangan, teman kost,
teman kerja, teman kuliah, atau bahkan pembantu,
itulah makna hari kasih sayang yang sesungguhnya.
Selamat berbagi...
Penuh cinta,
-Ivana-
Thursday, February 6, 2014
Addiction
Siapa sih yang nggak suka maen game?!
Begitu banyak permainan tradisional maupun modern,
yang bisa menghibur kita.
Sebenarnya, permainan ada untuk menghibur dan
menambah wawasan, mengasah otak.
Teknologi menyediakan beraneka macam permainan,
untuk yang cowok ada game strategi, perang, olahraga
yang cewek ada game tentang salon, butik, mengasuh hewan kesayangan,
dan masih banyak lagi.
Dari jaman saya kecil,
sudah ada nitendo, dan banyak teman yang betah
berlama-lama untuk main.
Saya pernah kenal dengan seseorang yang
sangat suka bermain game di computer dan laptop.
Sebut saja Joko,
mahasiswa sastra Inggris asal Solo yang
kuliah di Salatiga.
Joko bisa berlama-lama hanya duduk di depan computer
sambil sesekali ke kamar mandi.
Hampir setiap hari dia tidak berada di kost,
tapi di warnet langganannya.
Makan, minum, mengerjakan tugas kuliah,
semua dilakukan sambil main game.
Pernah suatu ketika, Joko kehabisan uang,
habis sama sekali...bahkan 500 rupiah pun tak ada.
Dia berusaha menelfon orang tuanya untuk
minta sejumlah uang,
sayang sekali orang tuanya malah memarahinya
dan dia tak mendapat uang sepeser pun.
Joko tak kehabisan akal,
dia pinjam uang dari teman satu kost, beberapa
teman kampus, namun tak satu pun
membuahkan hasil.
Joko tak bisa makan, apalagi untuk pergi
ke warnet langganan.
Entah siapa yang memberinya inspirasi,
Joko memutuskan untuk pulang ke Solo dengan berjalan kaki.
Perjalanan itu memakan waktu 2 malam, 3 hari,
dia numpang tidur di depan toko pada malam hari,
dan meminta air minum dari rumah ke rumah.
Setibanya di Solo,
dia hanya bisa tidur selama seharian penuh tidak makan dan minum.
Dengan kejadian itu,
Joko benar-benar jera untuk main game,
dan meninggalkan kebiasaan buruknya itu.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya olehnya,
orang tua dan teman-teman sampai hati tak memberinya uang,
perjalanan ke Solo dengan berjalan kaki,
membuatnya mundur dari dunia game.
Awalnya Joko memang tidak suka main game,
begitu sekali mencoba langsung ketagihan,
ada yang kurang kalau belum main game,
hambar...seperti sayur tanpa garam.
Waktu duduk di kelas 2 SLTP,
saya dan beberapa teman cewek pernah mencoba
menghisap rokok.
Alasannya biar keren!
Saat itu, adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh para murid,
karena guru-guru rapat jadi kami boleh pulang pagi.
Me and the gank, nggak pulang melainkan nongkrong di
kantin sekolah,
tiba-tiba tercetus ide untuk merokok.
Rokok itu didapat dari salah seorang teman sekelas,
namanya Hermawan a.k.a Wawan.
Dengan bangganya kami para cewek-cewek galau ini,
menghisap sebatang rokok bergilir untuk 7 orang.
Untung saja, saya merokok hanya untuk terlihat keren saja,
tidak pernah ingin coba lagi.
Sampai sekarang saya masih tak habis pikir,
bagaimana merokok itu ada suatu hal yang keren,
dan mengagumkan.
Banyak cowok yang merasa sebagai pria sejati dan pemberani
kalau bisa merokok.
Benar-benar berbanding terbalik dengan pemikiran saya,
ukuran pria sejati dan pemberani
sama sekali tidak ditentukan dengan merokok.
Sewaktu kuliah,
saya dekat dengan seseorang yang tidak bisa
hidup tanpa rokok,
sebut saja namanya Ardo.
Kemanapun dia pergi, hampir bisa dipastikan
selalu membawa rokok dan pemantiknya.
Di kamar, sedang nongkrong, sedang nonton,
apapun aktivitasnya, rokok wajib menemaninya...
bahkan hingga ke toilet pun dia menghisap rokok.
Pernah suatu kali kami satu kelas,
dan dia menghilang selama 20 menit,
hanya untuk merokok.
Dia bilang,
takkan bisa hidup tanpa merokok.
Sebentar saja tidak menghisap rokok,
kepalanya pusing, lidahnya pahit, dan
merasa gelisah kalau tidak menghisap rokok.
Yang jelas Ardo tak bisa lama-lama berada di tempat seperti
toko buku, supermarket, dan lainnya,
pokoknya tempat dimana dia tidak bisa merokok.
Payah!
Ardo menganggap dirinya tidak baik-baik saja
tanpa rokok.
Tak heran, wajahnya kuyu,
bibirnya hitam dan giginya kuning, pikiran tidak fokus,
pandangan mata kosong.
Aktivitas lainnya selain main game, merokok
yang disinyalir bisa bikin kecanduan adalah berjudi.
Sebetulnya main kartu bukan termasuk judi,
nah..
bisa masuk dalam kategori judi karena ditambah dengan
bertaruh menggunakan uang.
Kebetulan salah satu teman saya punya hobi
main judi.
Kadang judi dengan main kartu, kadang juga judi bola
alias bertaruh menggunakan uang
dengan memprediksi tim mana yang akan menang.
Salah satu teman saya ada yang hobi main judi,
dia suka mempertaruhkan uang kiriman orang tua
untuk memasang tim sepakbola mana yang menang.
Pernah suatu hari,
dia menelfon lalu mengajak saya jalan-jalan keluar kota.
Barang-barang elektronik sampai kebutuhan sehari-hari
dia beli sekaligus dalam waktu sehari.
Saya heran dengan caranya belanja,
yaitu menghabiskan belasan juta dalam waktu sehari.
Seakan-akan dia tak mau menyisihkan
untuk kesokan harinya.
Ternyata uang tersebut adalah hasil dari menang judi bola,
ooohhhh pantas saja dia membelanjakannya
tanpa rasa khawatir sedikitpun.
Namanya berjudi,
kalau beruntung ya dapat banyak uang,
kalau kurang beruntung bisa-bisa buntung.
Pengalaman teman saya dalam dunia perjudian
sudah lama,
entah judi bola, judi kartu sudah pernah dicoba.
Pernah juga,
dia kehabisan uang, sampai-sampai uang 10 ribu saja
tidak punya.
Ya begitulah berjudi,
apabila menang, mau beli apa saja bisa.
Namun, bila sedang kurang beruntung seperti teman saya
itu yang sering keluar masuk pegadaian untuk
menggadai beberapa barangnya.
Dengan pengalaman jatuh bangun tersebut,
dia masih saja belum jera.
Menurutnya judi sudah melekat dalam dirinya,
dan mustahil untuk berubah.
Mengenaskan karena uang yang digunakan untuk berjudi
adalah hasil kiriman orang tua.
Hhhmmm...yang seharusnya untuk bayar kuliah,
bayar kost, bayar yang lainnya
malah disalahgunakan untuk berjudi.
Mempertaruhkan semua uangnya,
demi uang yang lebih besar dan tentunya dengan resiko yang
mematikan.
Sebagian besar wanita pasti suka belanja,
belanja apapun itu.
Belanja baju, tas, sepatu, buku, makanan,
peralatan rumah tangga,
dan masih banyak lagi.
Saya pernah kecanduan belanja baju,
setiap kali dapat kiriman dari orang tua
langsung habis di meja kasir butik.
Entah....
rasanya kalau dapat uang saya langsung punya hasrat untuk
menghabiskannya di butik.
Meskipun saya sedang tidak butuh beli baju baru,
tetap saja keinginan saya untuk belanja di butik
tak bisa ditahan lagi.
Kaos bergambar unik, cardigan aneka warna, kemeja,
dan masih banyak item lain yang bisa dibeli.
Biasanya setelah belanja di butik,
uang saya langsung habis...sekalipun masih ada sisa tapi
tinggal sedikit saja.
Uang kiriman yang seharusnya untuk sebulan, bisa bertahan
2 minggu saja.
Kalau uang kiriman sudah habis, namun tanggal pengiriman belum tiba,
saya mengeluarkan jurus tipuan.
Bilang pada orang tua kalau saya perlu uang tambahan,
untuk beli kebutuhan kuliah....padahal bohong!
Tentu saja...saya tak pernah merasa bersalah dengan hal itu,
yang penting bisa terus belanja di butik.
Tak heran, seringkali saya lupa
pernah beli baju apa saja bahkan kadang-kadang saya punya
2 baju yang sama model, maupun warnanya.
Sangat kurang bijak memang,
untunglah...sekarang saya tak lagi kecanduan untuk berbelanja.
Menurut KBBI,
kecanduan adalah terjangkit suatu kegemaran
hingga lupa hal-hal yang lain.
Main game sampai mengabaikan makan, mandi, istirahat,
belajar, bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Merokok hingga tak mempedulikan kesehatan diri sendiri
dan menyerah sebelum berusaha untuk bebas dari rokok.
Berjudi sampai-sampai tak sadar kalau yang digunakan adalah
uang dari orang tua.
Belanja hingga lupa kalau sebelumnya sudah pernah
membeli barang dengan warna dan model yang sama pula.
Tanpa disadari saya dan anda mungkin sedang kecanduan
dengan beberapa hal.
Di blog sebelumnya saya sudah pernah membahas tentang kemerdekaan
dari hal-hal mengikat,
ternyata setelah merenung kembali
saya masih menemukan hal yang bisa mengikat.
Indikasi kecanduan adalah,
kita merasa ada yang kurang bila
tak melakukan hal tersebut.
Mulut pahit bila tidak merokok,
gelisah apabila tidak belanja baju,
merasa kurang keren kalau belum berjudi,
dan sebagainya.
Letak kekeliruan bukan berada pada aktivitasnya,
tapi kurang bijaknya sikap yang kita ambil.
Bukan perusahaan rokok yang mempengaruhi atau bahkan
memaksa saya dan anda untuk merokok.
Para pemilik butik tidak akan memberi sanksi apapun
kalau kita tudak berbelanja disana.
Semua kembali pada cara pikir
masing-masing pribadi.
Yang namanya kecanduan pasti mengikat,
dan kita sendiri yang mengikatkan diri
pada hal-hal itu.
Entah apapun itu, kalau sampai ada rasa ada yang kurang
tanpa sesuatu,
apalagi sampai merasa gelisah, tidak enak badan,
pingin marah-marah itu disebut kecanduan.
Merubah pola makan saja butuh usaha ekstra,
apalagi sampai merubah kegemaran atau kesukaan.
Memang tidak mudah,
tapi mau sampai kapan kita mengikatkan diri.
Saya sendiri tak mau terikat dengan apapun juga
terlebih lagi yang bisa membawa dampak negatif bagi
kesehatan badan dan pikiran.
Yang Maha Kuasa sudah menciptakan manusi
dengan akal budi yang begitu rupa,
saya yakin kecanduan itu bukan tidak bisa teratasi,
tergantung seberapa besar kemauan kita untuk berusaha.
Menyudahi kecanduan belanja baju
membutuhkan waktu yang cukup lama bagi saya.
Hasilnya, saya merasa baik-baik saja tuh!
Dalam satu tahun mungkin hanya 3 sampai 4 kali
saja saya beli baju,
itupun dalam jumlah dan harga yang wajar.
Tenanglah,
kita takkan tertekan, depresi, kesepian
atau bahkan mati.
Justru,
hidup akan terasa lebih hidup
kalau saya dan anda tidak kecanduan akan apapun.
Love your life :)
Tuesday, February 4, 2014
Belajar dari kawat gigi
Hingga kini,
masih segar dalam ingatan,
bagaimana dokter gigi tua itu....
mencabut gigi saya.
Sekitar kelas 3 sampai 5 SD,
gigi bayi goyang satu per satu, akhirnya lepas
dan berganti dengan gigi dewasa...
itu memang proses alamiah.
Entah gigi tersebut tercabut dengan sendirinya atau dengan
cara tidak sengaja...
bisa juga dicabut ke dokter gigi.
Dalam kasus saya,
orang tua khususnya ibu...
selalu membawa saya ke dokter gigi saat gigi bayi
sudah mulai goyang.
Entah mengapa,
saat mendengar ajakan untuk
ke dokter gigi,
perut saya mual.
Dokter gigi masa kecil saya bernama
dokter Rahardjo, teman segereja nenek.
Sebenarnya, dokter itu sangat sabar, sangat baik,
namun pikiran dan hati saya sudah lebih dulu
ketakutan.
Membayangkan....
alat-alat untuk mencabut gigi,
seperti tang, dan suntikan bius, oh no!
Didukung oleh,
bau khas dari ruang praktek dokter gigi,
lalu suara alat penambal gigi yang mirip
bor otomatis, cukup
membuat saya mengurungkan niat untuk cabut gigi.
Ibu selalu memberi iming-iming berupa mainan baru
kalau saya mau dicabut giginya oleh dokter.
Saya memang tergiur dengan janji manis ibu,
memiliki mainan baru adalah
hal terindah untuk anak usia dibawah 10 tahun.
Sayang sekali,
saya tak pernah bisa merasa tenang dan santai di
ruang praktek dokter gigi!
Saat-saat sebelum masuk saja,
pikiran saya...
bagaimana kalau tang pencabut gigi itu meleset?
bagaimana kalau biusnya tak berfungsi dengan baik?
bagaimana kalau darah yang keluar sangat banyak?
bagaimana kalau ini, kalau itu...
Saya memasang wajah ketakutan,
namun ibu dan dokter seakan tak pernah menyerah untuk
mencabut gigi bayi saya.
Pernah suatu kali,
rasa ketakutan saya tak bisa dibendung lagi...
sudah didalam ruang praktek, sudah dibius,
saya lari sambil menangis keluar...
langsung naik becak langganan yang sengaja menunggu.
Dokter gigi dan ibu saya menghampiri,
alhasil... proses pencabutan gigi berlangsung diatas becak.
Sejak saat itu,
rasa trauma saya semakin besar.
Ketakutan yang berkebihan,
kalau mau ke dokter gigi tetap ada sampai sekarang.
Setelah gigi bayi habis,
ternyata urusan ke dokter gigi belum kunjung usai.
Masih ada masalah gigi berlubang yang harus ditambal,
dan yang lainnya.
Seiring berjalannya waktu
dokter Rahardjo sudah pensiun dan tidak lagi
membuka praktek.
Munculah dokter-dokter gigi baru,
yang lebih muda, tempat praktek yang lebih bagus,
alat yang lebih modern,
namun tetap saja belum bisa menyembuhkan trauma saya.
Pernah beberapa kali saya harus pergi ke dokter gigi,
karena terpaksa..
sudah tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ditimbulkan
oleh gigi berlubang.
Rasa takut yang berlebihan itu tetap menghantui saya,
belum bisa terlepaskan begitu saja.
Umur semakin bertambah,
dan ibu menyimpulkan
bahwa gigi saya harus dikawat karena tumbuhnya tidak rata.
Alias saya ada potensi untuk memiliki bimoli a.k.a
bibir monyong lima centi akibat gigi atas dan bawah
yang kurang teratur.
Oh my gosh,
kenapa ibu berpikiran untuk itu,
padahal gigi berkawat sangat terkenal dengan
rasa sakitnya.
Dulu,
belum ada kawat cantik dan modern,
yang ada kawat biasa dengan gusi palsu.
Akhirnya tiba hari itu,
dimana saya mau tak mau harus dicetak rongga mulut atas,
agar kawat dan gusi palsu bisa melekat dengan tepat.
Proses pencetakan rongga mulut atas tidak berjalan lancar,
saya hampir muntah...
jadi harus diulang beberapa kali sampai didapatkan
cetakan yang bagus,
yang paling menyerupai ukuran asli.
Sangat menyiksa, dan saya tak mau mengulang untuk kedua kalinya.
Beberapa minggu kemudian,
kawat dengan gusi palsu itu jadi...
harus dipakai sebelum tidur malam,
sampai bangun pagi.
Rasanya mengganjal, nggak nyaman,
mengurangi kenikmatan istirahat malam.
Bulan pertama saya masih rutin memakainya,
dengan menahan segala macam siksaannya.
Bulan selanjutnya...
saya mulai malas memakainya, dan membiarkannya
begitu saja.
Otomatis,
ibu mengomel dan memaksa saya untuk kembali
memakainya,
mengingat rasa tak nyaman itu...saya memutuskan
untuk mengabaikan nasihat ibu.
Era kawat dengan gusi palsu sudah selesai,
berganti dengan kawat modern plus karet warna-warni
sesuai dengan selera kita.
Sialnya,
ibu masih berpendapat bahwa gigi saya
belum sebagus yang diharapkan.
Penyiksaan cetakan kawat itu berlangsung lagi,
dan seperti biasa saya hampir muntah.
Kali ini kawatnya tanpa gusi palsu,
namun tetap melekat dan tak bisa dilepas
kecuali di dokter gigi.
Ya sudahlah,
daripada saya mendengar omelan ibu saya
setiap hari,
saya bersedia dengan terpaksa untuk dipasang kawat modern.
Penderitaan yang ditimbulkan lebih parah,
minggu pertama saya hanya bisa makan bubur, sup,
dan minum jus.
Selama seminggu juga gusi atas saya dipenuhi oleh
sariawan, damn!
Hhmmm kalau ini jalan satu-satunya agar tidak tonggos,
baiklah akan saya coba sebisanya.
Penyesuaian untuk bicara dengan menggunakan kawat,
tidaklah mudah...
sering kali bibir saya robek dan berdarah tergores kawat.
Ya ampun,
bagaimana mungkin para artis berlomba-lomba untuk
memasang kawat gigi permanen,
apa mereka sudah gila?!
Ibu memberitahu,
bahwa ada harga yang harus dibayar untuk tampil cantik,
dan kawat gigi adalah satu langkah penting
yang dirasa akan sangat membantu.
Saya mempunyai pendapat yang berbeda,
kenapa harus menyiksa diri seperti ini..
hanya untuk tampil cantik.
hhhmmmmm....
Percayalah,
bahwa takkan menjadi good kisser selama masih menggunakan
kawat gigi ;)
Dari SMU sampai kuliah,
saya memasang pagar di gigi depan.
Karena kuliah diluar kota,
saya pun tak rutin pergi periksa ke dokter gigi.
Uang kiriman dari orang tua,
tak pernah saya anggarkan untuk
rutin memeriksa kondisi kawat gigi dan gigi.
Kesimpulannya,
kawat gigi tak berkembang dengan maksimal,
dan hasilnya juga setengah-setengah.
Ah uang untuk makan dan bayar kuliah,
bayar kost sudah habis..
mana mungkin ada tambahan untuk
ke dokter gigi.
Ok, sebenarnya itu adalah alasan...
kalau saya memang berniat menyisihkan sebagian uangljuga pasti bisa,
masalahnya adalah saya tidak mau!!
Sudah cukup rasanya bergelut dengan masalah
gigi dan ketakutan ke dokter gigi.
Lama sekali kawat ini menemani saya
dalam keadaan suka dan duka,
sakit maupun sehat,
ada uang maupun tak ada uang, hahaha!
Karena sudah terlalu lama memakai kawat gigi,
ibu saya kembali lagi menyarankan untuk
pergi ke dokter gigi...
guna melepas kawat.
Saya tak langsung mengiyakan,
tapi membayangkan terlebih dahulu,
pakai alat apa ya melepasnya?
sakit nggak ya?
Permintaan ibu itu sempat saya undur beberapa bulan,
alasannya karena saya masih saja merasa ketakutan,
dan ngeri untuk ke dokter gigi.
Akhirnya, hari bersejarah tiba,
tepatnya hari ini,
hari selasa tanggal 4 februari 2014
hari dimana saya melepaskan kawat gigi! yay!
Tara!!!!!!
Saya tanpa kawat gigi,
bisa tersenyum bebas di foti,
dengan pose apapun.
Siang tadi,
rasa kantuk yang tak tertahankan lagi menghampiri saya,
dan satu-satunya solusi
adalah dengan tidur siang.
Saya sudah berjanji pada ibu,
bahwa sore ini akan pergi ke dokter gigi.
Bangun dari tidur siang,
saya bergegas cuci muka, gosok gigi
lalu berangkat.
Kalau saya datang agak sorean, antrian di dokter gigi
semakin panjang.
Berangkat jam 4 sore, saya dapat antrian nomer 3,
dan sewaktu saya datang,
dokternya saja belum ada tapi antrian pasien terus bertambah.
Setelah menunggu kurang lebih satu jam,
giliran saya masuk tiba..
Saya duduk di kursi periksa,
dan mengatakan pada dokter niat saya untuk melepas pagar gigi ini.
Dengan lincah dan senyum ramah,
dokter itu mengambil tang untuk melepas
kawat gigi.
Saya sempat menelan ludah, dan bertanya padanya...
dok, sakit nggak?
dok, apa saya akan baik-baik saja?
dokter itu berkata, ini takkan sakit dan prosesnya
hanya sebentar.
Kepalang tanggung,
saya hanya bisa menuruti apa kata dokter,
dan berusaha percaya bahwa semua ini
akan baik-baik saja.
Dimulailah gerakan luwes dari tangan dokter mencabuti
kawat satu per satu,
dan dilanjutkan dengan disemprot air dari suatu alat
untuk mengangkat bekas kawatnya.
Oh ya, sebelum itu dokter memberi masukan agar saya
melanjutkan proses kawat gigi ini,
dan menambah pemasangan kawat di gigi bawah,
tak perlu berpikir lama untuk menjawab pertanyaan tersebut,
tentu saja saya menolaknya.
Kawat yang sekian lama menempel,
dan menemani saya itu lepas...saya bebas.
Memang tujuan ibu demi kebaikan saya sendiri,
namun kalau boleh jujur saya tidak suka.
Banyak hal,
yang pernah kita sarankan pada orang lain,
pada orang tua, saudara, teman, pasangan.
Sebaiknya begini...
sebaiknya begitu...
namun seringkali kita lupa, bahwa tiap orang
berhak memilih apapun pilihannya,
sesuai atau tidak dengan yang kita sarankan.
Mari kita menjadi pemberi kemerdekaan,
ya...
kebebasan untuk menentukan pilihan.
Bukannya dilarang untuk memberi saran,
bagi yang membutuhkan,
tapi perlu diingat memberi saran sebaiknya dengan hati ikhlas
serta menyerahkan keputusan pada masing-masing pribadi.
Menuruti saran ibu saya untuk pasang kawat gigi,
tak sepenuhnya buruk...meskipun dengan terpaksa melakukannya,
dan...diluar rasa sakit luar biasa,
saya dapat belajar mengenai sesuatu yang berarti,
dan saya harap anda juga :)
Dulu,
saya menolak untuk dipasang kawat gigi...
tapi ibu terus memaksa.
Kebebasan memilih dalam hal itu tidak berhasil
saya dapatkan,
cukup sampai disitu.
Mulai hari ini, saya dibekali lebih banyak kebebasan...
bukan untuk diri sendiri...
melainkan untuk dibagikan kepada orang lain.
Hari ini saya mendapat hadiah besar,
kebebasan dari kawat gigi,
saya akan memberikan pada anda,
kebebasan untuk berpendapat tentang cerita ini.
Sunday, February 2, 2014
Cerita tentang asrama
Untuk lebih memastikan,
apa sebenarnya arti kata derita...
saya sengaja baca di KBBI,
dan penderitaan adalah....
keadaan yang menyedihkan, yang harus ditanggung.
Pada masa remaja,
saya pernah mengalami penderitaan...
ketika tinggal di asrama.
Belakangan ini,
keponakan saya yang paling tua, mengutarakan keinginannya
untuk tinggal di asrama selama beberapa tahun.
Sungguh hal yang luar biasa...
bagi anak seusianya.
Tak pernah terpikirkan di benak saya untuk tinggal
di luar kota, apalagi di asrama.
Namun, orang tua sudah mengatur semuanya,
termasuk sekolah dan asrama...
diluar pengetahuan saya.
Padahal dulu tujuan saya adalah...
masuk di SMU negri favorit, dan berkumpul
kembali bersama teman-teman lama.
Yah...apa daya,
saya dengan terpaksa menuruti keinginan orang tua,
dengan iming-iming...
saya bakal bersekolah di tempat yang tepat, lingkungan sekolah
yang lebih baik, dan tentu saja bergengsi.
Tak ada bayangan, harus bagaimana tinggal terpisah
dengan orang tua untuk pertama kalinya,
dan keadaan diperparah karena saya harus
tinggal di sebuah asrama katolik.
Dengan menulis blog ini,
saya kembali mengumpulkan kepingan-kepingan
cerita suka dan duka...
selama kurang lebih 4 bulan tinggal di asrama.
Percayalah,
asrama bukan tempat pembinaan yang tepat
entah itu pembinaan fisik maupun spiritual.
Berikut kisahnya....
★ Jaman saya tinggal di asrama,
belum ada smartphone...
yang ada hanya handphone biasa tanpa dilengkapi
dengan fasilitas kamera.
Jadi, foto-foto di blog kali ini hanyalah ilustrasi saja,
saya berusaha mencomot gambar dari internet,
yang mendekati kenangan masa lalu.
Pada waktu itu peraturan di asrama juga tidak memperbolehkan
kami untuk membawa handphone,
kalau ketahuan bakalan disita oleh suster.
Ok, pertama kali sampai di asrama,
saya tercengang...
bangunannya sangat luas dan uhm...suasananya seram.
Tentu saja,
lingkungan baru terasa sangat asing dan
kesan pertama ini kurang bagus...
tapi orang tua tetap pada pendirian bahwa,
tinggal di asrama membuat saya menjadi pribadi
yang lebih baik.
We will see, pemirsa...
bagaimana asrama dan lingkungannya bisa
membawa pengaruh yang baik untuk saya.
Semua tempat tinggal,
memiliki aturan masing-masing,
baik di rumah orang tua, di kost,
apalagi di asrama...
peraturannya sampai satu halaman penuh.
Dari hari pertama, malam pertama,
saya merasa takkan bisa bertahan lama,
tapi tak ada yang tahu...
selama belum dicoba.
Fasilitas dan biaya per bulan saya rasa tidak seimbang,
biaya bulanan yang termasuk mahal,
sedangkan fasilitasnya sangat minim.
Meskipun ada beberapa teman yang sudah saya kenal,
tetap saja...
rasa tidak betah ini lebih besar menguasai saya.
Disanalah saya akan tinggal bersama teman-teman,
kakak asrama dan tentu saja para suster.
Jumlah anak yang tinggal sekitar 150 anak,
dengan 3 suster dan para pekerja a.k.a pembantu.
Asrama putri ini sangat luas,
dan dibagi-bagi menjadi beberapa ruangan.
Dan ruangan yang paling dingin adalah
ruang kerja suster kepala asrama...
setiap anak yang tidak taat peraturan bakal
dipanggil kesana. hiiiii!
★ Kira-kira seperti inilah tempat tidur saya sewaktu di asrama,
kasur berukuran kecil, bertingkat, dan
parahnya lagi kasurnya dari kapuk.
Kasur berbahan dasar kapuk adalah
racun mematikan,
setiap pagi dan malam saya bersin dan sesak nafas.
Kamar tidurnya hanya ada 3,
untuk kelas 1, 2 dan 3.
Seberapa jumlah anak kelas 1 akan dikumpulkan
jadi satu kamar,
demikian juga untuk kelas 2 dan 3.
Seingat saya, anak kelas 1 berjumlah sekitar 52
dan kami harus tidur dalam satu kamar.
Meskipun tak pernah kesepian dengan teman tidur sebanyak itu,
namun masih saja tak bisa menepis...
rasa tidak betah.
Keluhan saya sangat banyak,
antara lain nasinya keras, air minum yang rasanya aneh,
kasur kapuk dan masih banyak lainnya.
Asrama yang dulu saya tinggali
adalah bangunan tua...
baik pagi, siang maupun malam hari beberapa
dari kami sering mendengar suara aneh,
dari alam lain.
Baik tempat dan lingkungan sosial asrama,
tidak membuat saya betah berlama-lama tinggal disana.
Oh ya, peraturan asrama hanya memperbolehkan
jajan diluar hari rabu sore,
ada beberapa pedagang makanan datang ke halaman belakang,
lalu kami berbondong-bondong memilih mana yang akan dibeli.
Saya kira tak seburuk ini tinggal di asrama,
ternyata lebih parah dari yang terpikirkan.
Privasi adahal hal yang tak mungkin ditemui disini,
suster selalu rutin dan rajin memeriksa
lemari pakaian, lemari makanan, bahkan tak segan-segan
memeriksa barang pribadi seperti dompet.
Hei...bahkan uang saku dari orang tua juga dibatasi lho,
rasa tertekan saya semakin memuncak.
★ Ok, kalau foto diatas ini hasil pencarian di internet,
karena saya masih ingat betul siapa nama
suster kepala asrama.
Setiap pagi jam 4 pagi bel bangun sudah berbunyi,
mau tak mau saya bergegas bangun, mandi,
lalu doa pagi di kapel.
Hampir setiap hari saya tak pernah mandi sendirian,
hahaha!
kamar mandi di asrama bukanlah kamar mandi biasa,
satu ruang besar, di bilik kanan kamar mandi, di bilik kiri
WC,
lampunya berwarna kuning, membuat suasana semakin mencekam.
Demikian juga,
kalau tengah malam saya terbangun pingin pipis,
pasti membangunkan satu atau dua atau bahkan tiga teman sekaligus,
untuk ke kamar mandi bersama.
Saya mengaku sejak awal bahwa saya takkan ke kamar mandi sendirian!!
Setelah acara mandi bersama usai,
saya dan semua penghuni asrama pergi ke kapel
untuk doa pagi,
mata mengantuk plus kedinginan tak pernah
membuat saya berkonsentrasi penuh.
Doa pagi di kapel sampai jam 6 kurang sedikit,
dan setelah itu adalah waktu untuk sarapan.
Kalau sudah selesai sarapan,
bagi kelompok yang bertugas harus merapikan ruang makan,
mencuci piring dan gelas.
Sekitar jam setengah 7 kami para anak asrama keluar untuk
berangkat sekolah,
dihimbau untuk berjalan kaki,
tidak naik becak, dijemput teman, ataupun naik angkutan umum.
Kebiasaan suster akan mengawasi kami
sampai ke depan gerbang....
saya pernah ketahuan naik becak ke sekolah, karena lagi malas...
dan ingin cepat sampai...
alhasil sepulang sekolah saya dapat teguran, damn!
★ Sepulang sekolah,
kami harus menunggu seluruh anak datang di ruang makan,
untuk makan siang bersama.
Kalau ada yang telat sampai asrama,
kami harus rela kelaparan dulu,
sampai formasinya lengkap.
Menunya hampir sama setiap hari,
tahu, tempe dan sayur...
boleh sih bawa atau beli lauk dari luar tapi harus
bawa juga untuk seluruh penghuni asrama.
Jadi saya bisa makan layak dan enak kalau
orang tua sedang datang berkunjung.
Ada waktu untuk tidur siang,
setelah itu...mandi sore,
dan masuk ke ruang belajar.
Pengaturan ruang belajar sama seperti ruang tidur,
sesuai dengan tingkatan kelas...
waktu belajar, suster pun selalu berjaga-jaga.
Jangan sampai ada yang ketahuan baca novel,
majalah, surat cinta atau apapun selain bahan pelajaran,
karena langsung dapat teguran.
Jam belajar selesai pukul 10 malam,
pintu kamar tidur baru dibuka dan...
kami bisa masuk untuk tidur atau mau lanjut belajar.
Begitu pintu kamar dibuka,
saya bergegas menuju kesana dan tidur...
ah ngapain berlama-lama di ruang belajar,
bikin ngantuk!
Sudah diakui,
bahwa saya tak terlalu cemerlang di bidang akademis,
apalagi yang berkaitan dengan ilmu pasti...
contohnya seperti matematika, fisika, kimia.
Hingga kini pun saya tetap tidak berminat
dengan ilmu pasti.
Peraturan asrama yang mengharuskan belajar setiap malam,
berhasil membuat saya mati bosan.
Belajar diawasi, makan diawasi, doa pagi, doa malam,
berangkat sekolah,
aaarrgghh!
Ya ampun, saya menyesal masuk ke asrama ini,
tak merasakan manfaatnya,
malah hati dan pikiran merasa tertekan.
Kegiatan yang saya lakukan sangatlah monoton,
tak boleh keluar asrama kecuali hari sabtu minggu
itupun pada jam-jam tertentu.
Lama kelamaan saya punya akal bulus agar bisa keluar
untuk nongkrong dan jalan-jalan bersama teman sekolah,
saya minta ijin untuk les pada sore hari..
cukup menulis buku daftar keluar,
dan saya pun bisa pergi!
Agak ribet memang,
karena harus bohong adan mengisi daftar setiap kali
saya berhasrat untuk keluyuran.
Bukannya mau berbuat kenakalan yang negatif,
saya hanya ingin jalan-jalan, nonton bioskop dan ngobrol dengan teman
selain teman asrama.
★ Alhasil visi misi orang tua untuk saya di asrama,
tidak berjalan lancar dan bisa dibilang gagal.
Hanya dalam waktu 4 bulan atau 1 caturwulan,
saya memutuskan untuk pindah.
Apa yang saya dapatkan di dalam asrama?
senioritas yang sangat kuat,
kualitas makanan yang kurang layak,
serta dimata-matai berlebihan oleh suster pengawas.
Orang tua saya merasa aneh,
karena setiap kali menjenguk selalu diantar pulang
dengan tangisan saya yang meronta-ronta.
Belum lagi,
saya seolah-olah tak pernah makan...
jadi begitu orang tua datang menjenguk,
saya selalu minta makan yang enak-enak.
Saya makan dengan sangat lahap,
seakan-akan sudah berminggu-minggu tidak makan.
Tak ada sedikitpun rasa nyaman tinggal di asrama,
belum lagi pengalaman-pengalaman mistis
yang saya alami.
Entahlah...
menurut saya pribadi,
saya tidak betah tinggal di asrama.
Terlepas dari makanan yang tidak enak, rebusan air minum
yang rasanya aneh, harus bekerja keras sendiri
mencuci baju, menjemur kasur,
dan masih banyak lagi.
Saya tidak tahan dengan suasananya yang tidak nyaman,
uhm dingin, sepi, mencekam.
Asrama bukan tempat yang baik untuk saya bertumbuh,
sebaliknya...
tempat itu membuat saya trauma.
Namun itu semua kembali pada masing-masing pribadi,
saya merasa lebih bertumbuh di tempat lain.
Tempat yang lebih membebaskan,
mau naik apa ke sekolah, mau jam berapa orang tua menelfon,
mau pergi untuk membeli keperluan mendadak.
Bagi yang mau tinggal atau masih tinggal di asrama,
betah atau tidaknya kembali bertanya pada hati nurani,
kalau memang bisa maksimal di tempat tersebut
ya bertahanlah.
Ingat,
bahwa saya maupun anda harus punya keteguhan hati untuk
memilih sesuatu,
termasuk memilih tempat tinggal
yang juga turut menentukan masa depan.
Peraturan di asrama terlalu mengikat,
sehingga saya merasa tak bisa jadi diri sendiri,
maka dari itu...
lebih baik saya mundur teratur,
meninggalkan kehidupan asrama...
untuk masuk pada kehidupan asmara ;)
apa sebenarnya arti kata derita...
saya sengaja baca di KBBI,
dan penderitaan adalah....
keadaan yang menyedihkan, yang harus ditanggung.
Pada masa remaja,
saya pernah mengalami penderitaan...
ketika tinggal di asrama.
Belakangan ini,
keponakan saya yang paling tua, mengutarakan keinginannya
untuk tinggal di asrama selama beberapa tahun.
Sungguh hal yang luar biasa...
bagi anak seusianya.
Tak pernah terpikirkan di benak saya untuk tinggal
di luar kota, apalagi di asrama.
Namun, orang tua sudah mengatur semuanya,
termasuk sekolah dan asrama...
diluar pengetahuan saya.
Padahal dulu tujuan saya adalah...
masuk di SMU negri favorit, dan berkumpul
kembali bersama teman-teman lama.
Yah...apa daya,
saya dengan terpaksa menuruti keinginan orang tua,
dengan iming-iming...
saya bakal bersekolah di tempat yang tepat, lingkungan sekolah
yang lebih baik, dan tentu saja bergengsi.
Tak ada bayangan, harus bagaimana tinggal terpisah
dengan orang tua untuk pertama kalinya,
dan keadaan diperparah karena saya harus
tinggal di sebuah asrama katolik.
Dengan menulis blog ini,
saya kembali mengumpulkan kepingan-kepingan
cerita suka dan duka...
selama kurang lebih 4 bulan tinggal di asrama.
Percayalah,
asrama bukan tempat pembinaan yang tepat
entah itu pembinaan fisik maupun spiritual.
Berikut kisahnya....
★ Jaman saya tinggal di asrama,
belum ada smartphone...
yang ada hanya handphone biasa tanpa dilengkapi
dengan fasilitas kamera.
Jadi, foto-foto di blog kali ini hanyalah ilustrasi saja,
saya berusaha mencomot gambar dari internet,
yang mendekati kenangan masa lalu.
Pada waktu itu peraturan di asrama juga tidak memperbolehkan
kami untuk membawa handphone,
kalau ketahuan bakalan disita oleh suster.
Ok, pertama kali sampai di asrama,
saya tercengang...
bangunannya sangat luas dan uhm...suasananya seram.
Tentu saja,
lingkungan baru terasa sangat asing dan
kesan pertama ini kurang bagus...
tapi orang tua tetap pada pendirian bahwa,
tinggal di asrama membuat saya menjadi pribadi
yang lebih baik.
We will see, pemirsa...
bagaimana asrama dan lingkungannya bisa
membawa pengaruh yang baik untuk saya.
Semua tempat tinggal,
memiliki aturan masing-masing,
baik di rumah orang tua, di kost,
apalagi di asrama...
peraturannya sampai satu halaman penuh.
Dari hari pertama, malam pertama,
saya merasa takkan bisa bertahan lama,
tapi tak ada yang tahu...
selama belum dicoba.
Fasilitas dan biaya per bulan saya rasa tidak seimbang,
biaya bulanan yang termasuk mahal,
sedangkan fasilitasnya sangat minim.
Meskipun ada beberapa teman yang sudah saya kenal,
tetap saja...
rasa tidak betah ini lebih besar menguasai saya.
Disanalah saya akan tinggal bersama teman-teman,
kakak asrama dan tentu saja para suster.
Jumlah anak yang tinggal sekitar 150 anak,
dengan 3 suster dan para pekerja a.k.a pembantu.
Asrama putri ini sangat luas,
dan dibagi-bagi menjadi beberapa ruangan.
Dan ruangan yang paling dingin adalah
ruang kerja suster kepala asrama...
setiap anak yang tidak taat peraturan bakal
dipanggil kesana. hiiiii!
★ Kira-kira seperti inilah tempat tidur saya sewaktu di asrama,
kasur berukuran kecil, bertingkat, dan
parahnya lagi kasurnya dari kapuk.
Kasur berbahan dasar kapuk adalah
racun mematikan,
setiap pagi dan malam saya bersin dan sesak nafas.
Kamar tidurnya hanya ada 3,
untuk kelas 1, 2 dan 3.
Seberapa jumlah anak kelas 1 akan dikumpulkan
jadi satu kamar,
demikian juga untuk kelas 2 dan 3.
Seingat saya, anak kelas 1 berjumlah sekitar 52
dan kami harus tidur dalam satu kamar.
Meskipun tak pernah kesepian dengan teman tidur sebanyak itu,
namun masih saja tak bisa menepis...
rasa tidak betah.
Keluhan saya sangat banyak,
antara lain nasinya keras, air minum yang rasanya aneh,
kasur kapuk dan masih banyak lainnya.
Asrama yang dulu saya tinggali
adalah bangunan tua...
baik pagi, siang maupun malam hari beberapa
dari kami sering mendengar suara aneh,
dari alam lain.
Baik tempat dan lingkungan sosial asrama,
tidak membuat saya betah berlama-lama tinggal disana.
Oh ya, peraturan asrama hanya memperbolehkan
jajan diluar hari rabu sore,
ada beberapa pedagang makanan datang ke halaman belakang,
lalu kami berbondong-bondong memilih mana yang akan dibeli.
Saya kira tak seburuk ini tinggal di asrama,
ternyata lebih parah dari yang terpikirkan.
Privasi adahal hal yang tak mungkin ditemui disini,
suster selalu rutin dan rajin memeriksa
lemari pakaian, lemari makanan, bahkan tak segan-segan
memeriksa barang pribadi seperti dompet.
Hei...bahkan uang saku dari orang tua juga dibatasi lho,
rasa tertekan saya semakin memuncak.
★ Ok, kalau foto diatas ini hasil pencarian di internet,
karena saya masih ingat betul siapa nama
suster kepala asrama.
Setiap pagi jam 4 pagi bel bangun sudah berbunyi,
mau tak mau saya bergegas bangun, mandi,
lalu doa pagi di kapel.
Hampir setiap hari saya tak pernah mandi sendirian,
hahaha!
kamar mandi di asrama bukanlah kamar mandi biasa,
satu ruang besar, di bilik kanan kamar mandi, di bilik kiri
WC,
lampunya berwarna kuning, membuat suasana semakin mencekam.
Demikian juga,
kalau tengah malam saya terbangun pingin pipis,
pasti membangunkan satu atau dua atau bahkan tiga teman sekaligus,
untuk ke kamar mandi bersama.
Saya mengaku sejak awal bahwa saya takkan ke kamar mandi sendirian!!
Setelah acara mandi bersama usai,
saya dan semua penghuni asrama pergi ke kapel
untuk doa pagi,
mata mengantuk plus kedinginan tak pernah
membuat saya berkonsentrasi penuh.
Doa pagi di kapel sampai jam 6 kurang sedikit,
dan setelah itu adalah waktu untuk sarapan.
Kalau sudah selesai sarapan,
bagi kelompok yang bertugas harus merapikan ruang makan,
mencuci piring dan gelas.
Sekitar jam setengah 7 kami para anak asrama keluar untuk
berangkat sekolah,
dihimbau untuk berjalan kaki,
tidak naik becak, dijemput teman, ataupun naik angkutan umum.
Kebiasaan suster akan mengawasi kami
sampai ke depan gerbang....
saya pernah ketahuan naik becak ke sekolah, karena lagi malas...
dan ingin cepat sampai...
alhasil sepulang sekolah saya dapat teguran, damn!
★ Sepulang sekolah,
kami harus menunggu seluruh anak datang di ruang makan,
untuk makan siang bersama.
Kalau ada yang telat sampai asrama,
kami harus rela kelaparan dulu,
sampai formasinya lengkap.
Menunya hampir sama setiap hari,
tahu, tempe dan sayur...
boleh sih bawa atau beli lauk dari luar tapi harus
bawa juga untuk seluruh penghuni asrama.
Jadi saya bisa makan layak dan enak kalau
orang tua sedang datang berkunjung.
Ada waktu untuk tidur siang,
setelah itu...mandi sore,
dan masuk ke ruang belajar.
Pengaturan ruang belajar sama seperti ruang tidur,
sesuai dengan tingkatan kelas...
waktu belajar, suster pun selalu berjaga-jaga.
Jangan sampai ada yang ketahuan baca novel,
majalah, surat cinta atau apapun selain bahan pelajaran,
karena langsung dapat teguran.
Jam belajar selesai pukul 10 malam,
pintu kamar tidur baru dibuka dan...
kami bisa masuk untuk tidur atau mau lanjut belajar.
Begitu pintu kamar dibuka,
saya bergegas menuju kesana dan tidur...
ah ngapain berlama-lama di ruang belajar,
bikin ngantuk!
Sudah diakui,
bahwa saya tak terlalu cemerlang di bidang akademis,
apalagi yang berkaitan dengan ilmu pasti...
contohnya seperti matematika, fisika, kimia.
Hingga kini pun saya tetap tidak berminat
dengan ilmu pasti.
Peraturan asrama yang mengharuskan belajar setiap malam,
berhasil membuat saya mati bosan.
Belajar diawasi, makan diawasi, doa pagi, doa malam,
berangkat sekolah,
aaarrgghh!
Ya ampun, saya menyesal masuk ke asrama ini,
tak merasakan manfaatnya,
malah hati dan pikiran merasa tertekan.
Kegiatan yang saya lakukan sangatlah monoton,
tak boleh keluar asrama kecuali hari sabtu minggu
itupun pada jam-jam tertentu.
Lama kelamaan saya punya akal bulus agar bisa keluar
untuk nongkrong dan jalan-jalan bersama teman sekolah,
saya minta ijin untuk les pada sore hari..
cukup menulis buku daftar keluar,
dan saya pun bisa pergi!
Agak ribet memang,
karena harus bohong adan mengisi daftar setiap kali
saya berhasrat untuk keluyuran.
Bukannya mau berbuat kenakalan yang negatif,
saya hanya ingin jalan-jalan, nonton bioskop dan ngobrol dengan teman
selain teman asrama.
★ Alhasil visi misi orang tua untuk saya di asrama,
tidak berjalan lancar dan bisa dibilang gagal.
Hanya dalam waktu 4 bulan atau 1 caturwulan,
saya memutuskan untuk pindah.
Apa yang saya dapatkan di dalam asrama?
senioritas yang sangat kuat,
kualitas makanan yang kurang layak,
serta dimata-matai berlebihan oleh suster pengawas.
Orang tua saya merasa aneh,
karena setiap kali menjenguk selalu diantar pulang
dengan tangisan saya yang meronta-ronta.
Belum lagi,
saya seolah-olah tak pernah makan...
jadi begitu orang tua datang menjenguk,
saya selalu minta makan yang enak-enak.
Saya makan dengan sangat lahap,
seakan-akan sudah berminggu-minggu tidak makan.
Tak ada sedikitpun rasa nyaman tinggal di asrama,
belum lagi pengalaman-pengalaman mistis
yang saya alami.
Entahlah...
menurut saya pribadi,
saya tidak betah tinggal di asrama.
Terlepas dari makanan yang tidak enak, rebusan air minum
yang rasanya aneh, harus bekerja keras sendiri
mencuci baju, menjemur kasur,
dan masih banyak lagi.
Saya tidak tahan dengan suasananya yang tidak nyaman,
uhm dingin, sepi, mencekam.
Asrama bukan tempat yang baik untuk saya bertumbuh,
sebaliknya...
tempat itu membuat saya trauma.
Namun itu semua kembali pada masing-masing pribadi,
saya merasa lebih bertumbuh di tempat lain.
Tempat yang lebih membebaskan,
mau naik apa ke sekolah, mau jam berapa orang tua menelfon,
mau pergi untuk membeli keperluan mendadak.
Bagi yang mau tinggal atau masih tinggal di asrama,
betah atau tidaknya kembali bertanya pada hati nurani,
kalau memang bisa maksimal di tempat tersebut
ya bertahanlah.
Ingat,
bahwa saya maupun anda harus punya keteguhan hati untuk
memilih sesuatu,
termasuk memilih tempat tinggal
yang juga turut menentukan masa depan.
Peraturan di asrama terlalu mengikat,
sehingga saya merasa tak bisa jadi diri sendiri,
maka dari itu...
lebih baik saya mundur teratur,
meninggalkan kehidupan asrama...
untuk masuk pada kehidupan asmara ;)
Subscribe to:
Posts (Atom)