Tuesday, February 18, 2014

Cinta kok maya, maya kok cinta



Sebut saja namaku Sophie,
25 tahun dan sudah bekerja disalah satu bank swasta.
Setelah menyelesaikan kuliah jurusan akuntansi,
kuputuskan untuk tetap tinggal di Salatiga, untuk mencari kerja.
Orang tua sempat memintaku untuk pulang kampung,
mereka sudah menyiapkan dana yang besar agar aku
bisa buka usaha sendiri.
Namun aku tak memiliki keinginan berwiraswasta,
menurutku agak membosankan dan kurang menantang.
Seusai legalisir ijazah aku segera ikut job fair,
dan rajin browsing di internet untuk mencari
lowongan kerja.
Tak lama sesudah mengikuti job fair di kampus,
aku mendapat panggilan kerja, betapa bahagianya!
Seminggu sebelum wawancara kerja, aku melakukan banyak persiapan,
mulai dari baca buku, latihan presentasi, latihan wawancara,
dan banyak bertanya pada teman-teman yang sudah berpengalaman.
Hari H wawancara kerja pun dimulai,
aku sempat tak yakin dengan hasilnya, karena
merasa tak percaya diri.
Masa penantian adalah waktu yang sangat mendebarkan,
aku ingin diterima kerja di bank tersebut namun sekaligus
takut hasil wawancaraku tidak memuaskan.
Tiga hari setelah wawancara, pihak bank menelfonku untuk
memberitahukan bahwa aku bisa mulai kerja minggu depan.
Oh rasa lega dan gembira bercampur menjadi satu,
paling tidak aku tak harus pulang kampung dan
menekuni bidang yang tak kusukai.
Aktivitas kerja setiap hari,
sangat aku syukuri, meskipun terkadang aku
harus lembur.
Masalah pekerjaan bisa kuatasi satu per satu,
sembari terus membuka hati untuk seseorang.
Selama ini aku tak pernah berpacaran lebih dari 2 tahun,
dan sudah setengah tahun ini aku berstatus jomblo.
Sempat iri juga kalau melihat dan menghadiri resepsi
pernikahan teman.
Dalam hati aku bertanya, kapan ya aku punya pacar lagi?
sedangkan aku tak punya banyak kesempatan untuk hang out,
sebagian besar waktuku sudah tersita di pekerjaan.
Ditambah lagi aku semakin pusing kalau orang tua sudah bertanya,
apa aku sudah punya calon pendamping? dan kapan
akan dikenalkan pada mereka?
Ya ampun, untung saja aku tinggal jauh dari orang tua
jadi pertanyaan semacam itu tak kudengar setiap hari.
Aktivitas sepulang kerja biasanya aku makan bersama teman
kantor atau teman kost,
lalu sebelum tidur....biasanya aku membuka facebook
untuk tahu kabar-kabar terbaru.
Dari profile seorang teman, aku lihat seorang cowok berkulit putih,
bermata sipit...
dari pertama kali lihat fotonya, aku langsung tertarik
dan kuundang untuk berteman di facebook.
Tak ada pikiran apa-apa selain iseng,
diterima ya bagus...hitung-hitung punya teman baru,
seandainya nggak diterima juga nggak masalah.
Hari berikutnya, kubuka facebook dan ternyata
aku sudah berteman dengan cowok berkulit putih,
bermata sipit itu, senangnya hatiku.
Sebut saja namanya Sophian, 22 tahun, bekerja di Jakarta
di sebuah tour and travel.
Diterima sebagai teman saja aku sudah girang minta ampun,
tapi untuk mengajaknya ngobrol masih belum berani
aku grogi abis!







Tak diduga-guda ternyata Sophian lah yang mengajak aku
ngobrol duluan.
Dia bertanya mengenai beberapa pertanyaan standart, seperti tinggal
dimana? kerja apa? asalnya dari kota mana?
Setiap pulang kerja, aku punya semangat tersendiri
untuk buka facebook.
Obrolan kami sangat asyik,
maksudnya nyambung satu sama lain padahal
hanya chatting di facebook.
Kira-kira sepuluh hari setelah chatting, Sophian bertanya
nomer handphone ku,
wow nggak terkatakan lagi betapa antusiasnya aku
untuk mengenal dia lebih jauh.
Entah kenapa baru ditanya nomer handphone tapi
rasanya sudah deg-degan nggak karuan,
ada apakah gerangan?
Semenjak kami berdua saling bertukar nomer ponsel,
komunikasi semakin lancar,
tak perlu koneksi internet, tak perlu terhambat kalau
page facebook lagi lama loadingnya.
Aku sempat cerita pada teman dekatku mengenai Sophian,
temanku bilang...
aku harus berhati-hati kalau mau mengenal cowok lebih jauh
apalagi dari internet, bisa saja dia sudah beristri, bisa saja dia
bohong tentang banyak hal..
intinya jangan membeli kucing dalam karung.
Saran itu selalu dia sampaikan saat aku bercerita
menggebu-gebu tentang Sophian,
dia tetap kurang setuju kalau aku naksir seseorang
tanpa bertemu terlebih dahulu.
Sementara itu,
komunikasiku bersama Sophian terus berjalan,
aku semakin tahu apa saja kegiatannya setiap hari,
dia tinggal bersama siapa saja, apa makanan kesukaannya,
dan sampai pada siapa mantan pacarnya.
Setiap kali ada kesempatan untuk buka handphone,
aku selalu mengirim pesan atau menelfonnya
walaupun hanya 5 sampai 10 menit.
Cukup mendengar suaranya, aku bisa berbunga-bunga,
konyol bukan?!
Sophian berusia 3 tahun lebih muda dariku,
dia anak pertama dari 3 bersaudara, asalnya dari Surabaya,
kemudian merantau ke Jakarta untuk bekerja.
Sophian tinggal di sebuah rumah kontrak bersama
teman-temannya, dia berangkat beraktivitas jam 7 pagi,
sampai di rumah rata-rata jam 9 malam.
Mulanya Sophian hanya menelfonku 2 kali dalam seminggu,
kami saling bercerita tentang pekerjaan, hobi, tentang teman-teman,
sampai acara kuis di televisi.
Lama-kelamaan dia menelfonku setiap malam,
dan semakin banyak informasi yang aku ketahui dari dirinya,
tentu saja, aku percaya semua yang dikatakannya tanpa
kecurigaan sedikitpun.
Setiap malam menelfon ternyata belum cukup,
akhirnya...
dalam satu hari Sophian bisa 3 atau 4 kali menelfonku.







Aku semakin suka dengan sosok Sophian,
dari hari ke hari ada saja kata-katanya yang membuatku terpesona.
Pulsa telfon pun semakin boros,
karena dalam sehari kami bisa ngobrol lebih dari 5 jam...
Saat pagi mau berangkat aktivitas, saat di dalam busway,
sudah sampai kantor, istirahat siang, pulang kantor,
perjalanan pulang dengan taxi atau busway, sampai rumah,
sambil gosok gigi dan sebelum tidur, fiuh...
Teman-teman kost sudah bilang hubunganku nggak wajar,
belum bertemu langsung tapi sudah begitu dekat lewat telfon,
lagi-lagi aku mendengar saran yang sama..
"jangan membeli kucing dalam karung".
Seberapa sering mereka berkomentar, dan memberi saran
aku tak peduli,
karena tak seorang pun boleh merusak mimpi indahku
bersama Sophian.
Obrolan kami berdua terus berlanjut,
di setiap aktivitas, kami selalu memberi kabar satu
sama lain agar tak ada yang merasa cemas.
Topik yang tidak umum seperti,
gaji bulanan, konflik dalam keluarga kami masing-masing,
sampai pada keyakinan sudah kami bahas.
Bahkan dengan blak-blakan dia menceritakan mengenai
keluarga inti maupun keluarga besarnya.
Adik perempuan dan mamanya sudah pernah ngobrol
denganku, dan lagi-lagi meskipun hanya lewat telfon,
hatiku sangat berdebar-debar.
Tak hanya lewat telfon saja,
kami saling berkirim barang, seperti kado ulang tahun,
kado valentine, dan kado-kado yang lain,
beribu alasan untuk memberikan kado
padahal sebenarnya hanya ingin menunjukkan rasa perhatian yang lebih.
Setelah berdiskusi kami berdua memutuskan untuk bertemu,
yay...pangeran berkuda dan berkulit putih
akan segera menjemputku.
Aku merasa Sophian sangat serius dalam menjalani
hubungan ini,
kalau tidak buat apa dja mau repot-repot menelfonku berkali-kali
dalam sehari, melaporkan semua aktivitasnya,
bercerita tentang aib di keluarganya, mengirim kado.
Mungkin sudah saatnya aku juga serius menjalani hubungan dengan
seseorang,
tunggu apalagi...semua sudah saling tahu, saling bercerita,
hanya tinggal bertemu muka dengan muka.
Sophian bilang akan mengajukan cuti untuk seminggu,
untuk datang ke Salatiga,
oh my gosh...rasanya seperti mimpi.
Sekitar 4 bulan sebelum kedatangannya, aku sudah sibuk
mempersiapkan hotel tempat dia menginap, menyiapkan
baju-baju mana saja yang akan aku kenakan saat bersamanya,
lalu mendaftar tempat wisata yang bisa dikunjungi selama satu minggu.
Teman-temanku menyambut baik niat dari Sophian
untuk datang menemuiku,
setelah 1,5 tahun kami hanya saling bicara, bercanda, bertengkar,
bahkan bermesraan lewat telfon,
sudah waktunya untuk saling menatap mata.
Alamak,
rasanya melayang ke langit ke sembilan, atau bahkan sebelas,
aku tak tahu lagi ini melayang kemana.
Kedatangan Sophian akan memperlengkapi hidupku,
karir sudah ada dan sedang berjalan,
tinggal menemukan calon pendamping hidup,
dan Sophian sedang berjalan kearahku.








Hari pun berlalu,
bulan pun berganti, hari H untuk bertemu Sophian
sudah mendekati.
Emosiku sering naik turun seperti curah hujan,
kadang aku jadi sangat pemarah dan sensitif,
disisi lain bisa jadi aku sangat pendiam, cuek,
tak peduli tentang apapun selain Sophian.
Persiapan untuk menyambut kedatangannya pun
terus rutin ku lakukan,
seperti luluran, facial, rajin creambath, olahraga,
bahkan sampai belajar make up wajah.
Aku rasa Sophian layak mendapatkan semua ini,
karena dia terdengar cukup serius menjalin
hubungan ini ke arah yang lebih jauh.
Faktor-faktor seperti sudah mengenal dan pernah ngobrol
beberapa kali dengan mama dan adiknya
membuatku maju pantang mundur untuk bertahan
bersama Sophian.
Meskipun selama ini, banyak salah paham yang terjadi di antara
kami tentang pembagian waktu telfon, perbedaan pendapat,
sampai rasa cemburu juga pernah ada..
namun aku memutuskan untuk menanti Sophian datang,
dan meraih kebahagiaan bersamanya.
Sophian pun sudah browsing di internet, tentang
penginapan yang ada di Salatiga,
dia tertarik karena Salatiga masih sejuk, dan udaranya
lebih segar daripada Jakarta.
Kami berdua sering berkirim foto,
foto saat akan berangkat kerja, berangkat ke gereja,
saat akan nonton bioskop, bahkan saat tidak enak badan,
dan bangun tidur.
Sudah sering mengamati wajahnya di layar handphone
maupun computer masih saja membuatku menduga-duga..
apa ya seoerti ini juga wajah aslinya?
oh betapa tampannya...
Satu bulan menjelang hari pertemuan kami,
penginapan sudah dipesan, bahkan aku sudah menyewa
mobil di rental selama seminggu, untuk menjemput
Sophian di bandara dan mengajaknya jalan-jalan.
Dua minggu sebelum pertemuan itu,
aku merasa Sophian berubah drastis.
Dia tak lagi sering menelfonku,
cukup sekali dalam sehari itupun jam 2 dini hari
dan aku sudah tertidur.
Ok, mungkin dia sedang sangat sibuk menjelang cuti satu minggu,
aku putuskan untuk menelfonnya saat istirahat siang,
dan malam hari, namun tak pernah diangkat.
Wah, ada apa ini?!
mengapa Sophian tiba-tiba sibuk, mengapa dia seolah-olah tak ada
waktu lagi untuk berbicara denganku.
Hari jumat dini hari pukul 2, dia menelfon,
dengan suara yang sangat berat,
dia mengaku bahwa selama 2 minggu terakhir ini
dia dekat dengan cewek lain, teman persekutuan doa.
Dunia seakan runtuh detik itu juga,
hatiku rasanya mau diambil paksa dari dalam tubuh...
mendengar pengakuan Sophian.
Karena gengsi, aku pun menanggapi pengakuan itu dengan sangat tenang,
sangat dingin, cuek, seakan-akan aku baik-baik saja.
Hancur sudah angan-angan indah bersamanya,
apa mau dikata...
dia sudah memilih orang lain bernama Sonya.
Pengalaman bersama Sophian memberiku pelajaran berharga,
yaitu....
jangan percaya perkataan manis pria lewat dunia maya.
Hhhmmm...seperti slogan sebuah iklan detergen pencuci baju..
"kalau nggak ada noda nggak belajar".
Hatiku tertohok mendengar hal itu,
dan kini...aku harus menerima kenyataan
janji Sophian hanyalah janji palsu.




# Cerita diatas bukan rekayasa,
hanya namanya saja yang dirubah untuk menjaga
privasi masing-masing.

No comments:

Post a Comment