Tuesday, February 4, 2014
Belajar dari kawat gigi
Hingga kini,
masih segar dalam ingatan,
bagaimana dokter gigi tua itu....
mencabut gigi saya.
Sekitar kelas 3 sampai 5 SD,
gigi bayi goyang satu per satu, akhirnya lepas
dan berganti dengan gigi dewasa...
itu memang proses alamiah.
Entah gigi tersebut tercabut dengan sendirinya atau dengan
cara tidak sengaja...
bisa juga dicabut ke dokter gigi.
Dalam kasus saya,
orang tua khususnya ibu...
selalu membawa saya ke dokter gigi saat gigi bayi
sudah mulai goyang.
Entah mengapa,
saat mendengar ajakan untuk
ke dokter gigi,
perut saya mual.
Dokter gigi masa kecil saya bernama
dokter Rahardjo, teman segereja nenek.
Sebenarnya, dokter itu sangat sabar, sangat baik,
namun pikiran dan hati saya sudah lebih dulu
ketakutan.
Membayangkan....
alat-alat untuk mencabut gigi,
seperti tang, dan suntikan bius, oh no!
Didukung oleh,
bau khas dari ruang praktek dokter gigi,
lalu suara alat penambal gigi yang mirip
bor otomatis, cukup
membuat saya mengurungkan niat untuk cabut gigi.
Ibu selalu memberi iming-iming berupa mainan baru
kalau saya mau dicabut giginya oleh dokter.
Saya memang tergiur dengan janji manis ibu,
memiliki mainan baru adalah
hal terindah untuk anak usia dibawah 10 tahun.
Sayang sekali,
saya tak pernah bisa merasa tenang dan santai di
ruang praktek dokter gigi!
Saat-saat sebelum masuk saja,
pikiran saya...
bagaimana kalau tang pencabut gigi itu meleset?
bagaimana kalau biusnya tak berfungsi dengan baik?
bagaimana kalau darah yang keluar sangat banyak?
bagaimana kalau ini, kalau itu...
Saya memasang wajah ketakutan,
namun ibu dan dokter seakan tak pernah menyerah untuk
mencabut gigi bayi saya.
Pernah suatu kali,
rasa ketakutan saya tak bisa dibendung lagi...
sudah didalam ruang praktek, sudah dibius,
saya lari sambil menangis keluar...
langsung naik becak langganan yang sengaja menunggu.
Dokter gigi dan ibu saya menghampiri,
alhasil... proses pencabutan gigi berlangsung diatas becak.
Sejak saat itu,
rasa trauma saya semakin besar.
Ketakutan yang berkebihan,
kalau mau ke dokter gigi tetap ada sampai sekarang.
Setelah gigi bayi habis,
ternyata urusan ke dokter gigi belum kunjung usai.
Masih ada masalah gigi berlubang yang harus ditambal,
dan yang lainnya.
Seiring berjalannya waktu
dokter Rahardjo sudah pensiun dan tidak lagi
membuka praktek.
Munculah dokter-dokter gigi baru,
yang lebih muda, tempat praktek yang lebih bagus,
alat yang lebih modern,
namun tetap saja belum bisa menyembuhkan trauma saya.
Pernah beberapa kali saya harus pergi ke dokter gigi,
karena terpaksa..
sudah tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ditimbulkan
oleh gigi berlubang.
Rasa takut yang berlebihan itu tetap menghantui saya,
belum bisa terlepaskan begitu saja.
Umur semakin bertambah,
dan ibu menyimpulkan
bahwa gigi saya harus dikawat karena tumbuhnya tidak rata.
Alias saya ada potensi untuk memiliki bimoli a.k.a
bibir monyong lima centi akibat gigi atas dan bawah
yang kurang teratur.
Oh my gosh,
kenapa ibu berpikiran untuk itu,
padahal gigi berkawat sangat terkenal dengan
rasa sakitnya.
Dulu,
belum ada kawat cantik dan modern,
yang ada kawat biasa dengan gusi palsu.
Akhirnya tiba hari itu,
dimana saya mau tak mau harus dicetak rongga mulut atas,
agar kawat dan gusi palsu bisa melekat dengan tepat.
Proses pencetakan rongga mulut atas tidak berjalan lancar,
saya hampir muntah...
jadi harus diulang beberapa kali sampai didapatkan
cetakan yang bagus,
yang paling menyerupai ukuran asli.
Sangat menyiksa, dan saya tak mau mengulang untuk kedua kalinya.
Beberapa minggu kemudian,
kawat dengan gusi palsu itu jadi...
harus dipakai sebelum tidur malam,
sampai bangun pagi.
Rasanya mengganjal, nggak nyaman,
mengurangi kenikmatan istirahat malam.
Bulan pertama saya masih rutin memakainya,
dengan menahan segala macam siksaannya.
Bulan selanjutnya...
saya mulai malas memakainya, dan membiarkannya
begitu saja.
Otomatis,
ibu mengomel dan memaksa saya untuk kembali
memakainya,
mengingat rasa tak nyaman itu...saya memutuskan
untuk mengabaikan nasihat ibu.
Era kawat dengan gusi palsu sudah selesai,
berganti dengan kawat modern plus karet warna-warni
sesuai dengan selera kita.
Sialnya,
ibu masih berpendapat bahwa gigi saya
belum sebagus yang diharapkan.
Penyiksaan cetakan kawat itu berlangsung lagi,
dan seperti biasa saya hampir muntah.
Kali ini kawatnya tanpa gusi palsu,
namun tetap melekat dan tak bisa dilepas
kecuali di dokter gigi.
Ya sudahlah,
daripada saya mendengar omelan ibu saya
setiap hari,
saya bersedia dengan terpaksa untuk dipasang kawat modern.
Penderitaan yang ditimbulkan lebih parah,
minggu pertama saya hanya bisa makan bubur, sup,
dan minum jus.
Selama seminggu juga gusi atas saya dipenuhi oleh
sariawan, damn!
Hhmmm kalau ini jalan satu-satunya agar tidak tonggos,
baiklah akan saya coba sebisanya.
Penyesuaian untuk bicara dengan menggunakan kawat,
tidaklah mudah...
sering kali bibir saya robek dan berdarah tergores kawat.
Ya ampun,
bagaimana mungkin para artis berlomba-lomba untuk
memasang kawat gigi permanen,
apa mereka sudah gila?!
Ibu memberitahu,
bahwa ada harga yang harus dibayar untuk tampil cantik,
dan kawat gigi adalah satu langkah penting
yang dirasa akan sangat membantu.
Saya mempunyai pendapat yang berbeda,
kenapa harus menyiksa diri seperti ini..
hanya untuk tampil cantik.
hhhmmmmm....
Percayalah,
bahwa takkan menjadi good kisser selama masih menggunakan
kawat gigi ;)
Dari SMU sampai kuliah,
saya memasang pagar di gigi depan.
Karena kuliah diluar kota,
saya pun tak rutin pergi periksa ke dokter gigi.
Uang kiriman dari orang tua,
tak pernah saya anggarkan untuk
rutin memeriksa kondisi kawat gigi dan gigi.
Kesimpulannya,
kawat gigi tak berkembang dengan maksimal,
dan hasilnya juga setengah-setengah.
Ah uang untuk makan dan bayar kuliah,
bayar kost sudah habis..
mana mungkin ada tambahan untuk
ke dokter gigi.
Ok, sebenarnya itu adalah alasan...
kalau saya memang berniat menyisihkan sebagian uangljuga pasti bisa,
masalahnya adalah saya tidak mau!!
Sudah cukup rasanya bergelut dengan masalah
gigi dan ketakutan ke dokter gigi.
Lama sekali kawat ini menemani saya
dalam keadaan suka dan duka,
sakit maupun sehat,
ada uang maupun tak ada uang, hahaha!
Karena sudah terlalu lama memakai kawat gigi,
ibu saya kembali lagi menyarankan untuk
pergi ke dokter gigi...
guna melepas kawat.
Saya tak langsung mengiyakan,
tapi membayangkan terlebih dahulu,
pakai alat apa ya melepasnya?
sakit nggak ya?
Permintaan ibu itu sempat saya undur beberapa bulan,
alasannya karena saya masih saja merasa ketakutan,
dan ngeri untuk ke dokter gigi.
Akhirnya, hari bersejarah tiba,
tepatnya hari ini,
hari selasa tanggal 4 februari 2014
hari dimana saya melepaskan kawat gigi! yay!
Tara!!!!!!
Saya tanpa kawat gigi,
bisa tersenyum bebas di foti,
dengan pose apapun.
Siang tadi,
rasa kantuk yang tak tertahankan lagi menghampiri saya,
dan satu-satunya solusi
adalah dengan tidur siang.
Saya sudah berjanji pada ibu,
bahwa sore ini akan pergi ke dokter gigi.
Bangun dari tidur siang,
saya bergegas cuci muka, gosok gigi
lalu berangkat.
Kalau saya datang agak sorean, antrian di dokter gigi
semakin panjang.
Berangkat jam 4 sore, saya dapat antrian nomer 3,
dan sewaktu saya datang,
dokternya saja belum ada tapi antrian pasien terus bertambah.
Setelah menunggu kurang lebih satu jam,
giliran saya masuk tiba..
Saya duduk di kursi periksa,
dan mengatakan pada dokter niat saya untuk melepas pagar gigi ini.
Dengan lincah dan senyum ramah,
dokter itu mengambil tang untuk melepas
kawat gigi.
Saya sempat menelan ludah, dan bertanya padanya...
dok, sakit nggak?
dok, apa saya akan baik-baik saja?
dokter itu berkata, ini takkan sakit dan prosesnya
hanya sebentar.
Kepalang tanggung,
saya hanya bisa menuruti apa kata dokter,
dan berusaha percaya bahwa semua ini
akan baik-baik saja.
Dimulailah gerakan luwes dari tangan dokter mencabuti
kawat satu per satu,
dan dilanjutkan dengan disemprot air dari suatu alat
untuk mengangkat bekas kawatnya.
Oh ya, sebelum itu dokter memberi masukan agar saya
melanjutkan proses kawat gigi ini,
dan menambah pemasangan kawat di gigi bawah,
tak perlu berpikir lama untuk menjawab pertanyaan tersebut,
tentu saja saya menolaknya.
Kawat yang sekian lama menempel,
dan menemani saya itu lepas...saya bebas.
Memang tujuan ibu demi kebaikan saya sendiri,
namun kalau boleh jujur saya tidak suka.
Banyak hal,
yang pernah kita sarankan pada orang lain,
pada orang tua, saudara, teman, pasangan.
Sebaiknya begini...
sebaiknya begitu...
namun seringkali kita lupa, bahwa tiap orang
berhak memilih apapun pilihannya,
sesuai atau tidak dengan yang kita sarankan.
Mari kita menjadi pemberi kemerdekaan,
ya...
kebebasan untuk menentukan pilihan.
Bukannya dilarang untuk memberi saran,
bagi yang membutuhkan,
tapi perlu diingat memberi saran sebaiknya dengan hati ikhlas
serta menyerahkan keputusan pada masing-masing pribadi.
Menuruti saran ibu saya untuk pasang kawat gigi,
tak sepenuhnya buruk...meskipun dengan terpaksa melakukannya,
dan...diluar rasa sakit luar biasa,
saya dapat belajar mengenai sesuatu yang berarti,
dan saya harap anda juga :)
Dulu,
saya menolak untuk dipasang kawat gigi...
tapi ibu terus memaksa.
Kebebasan memilih dalam hal itu tidak berhasil
saya dapatkan,
cukup sampai disitu.
Mulai hari ini, saya dibekali lebih banyak kebebasan...
bukan untuk diri sendiri...
melainkan untuk dibagikan kepada orang lain.
Hari ini saya mendapat hadiah besar,
kebebasan dari kawat gigi,
saya akan memberikan pada anda,
kebebasan untuk berpendapat tentang cerita ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment