Saya tiba di kantin kampus pukul 10 pagi,
suasananya masih tak begitu ramai.
Begitu masuk,
saya disambut aroma kopi panas berpadu dengan asap rokok,
hhmmm segera saya berjalan ke arah rak makanan.
Nasi goreng, 2 potong chicken nugget, dan 2 potong sosis goreng,
serta segelas teh manis panas menjadi menu sarapan
saya pagi ini.
Tempat duduk di dekat kasir, yang menghadap ke lapangan
sepak bola adalah tempat yang saya pilih.
Sembari menikmati makanan dengan hati yang sedikit khawatir,
karena siapa tahu saya akan bertemu dosen, atau kawan lama,
atau bahkan adik angkatan.
Satu hal yang saya takutkan adalah bertemu orang-orang,
yang bisa saja mereka akan menanyakan beberapa hal yang pribadi,
seperti misalnya...
kapan lulus?
lho, masih disini aja?
udah kerja dimana?
masih ngekost di tempat lama?
Aduh! pertanyaan-pertanyaan diatas nampaknya mudah untuk dijawab,
namun tidak bagi saya.
Saya tidak suka orang lain bertanya atau mencampuri urusan pribadi,
lebih takut lagi,
kalau-kalau saya menjadi topik perbincangan.
Hhhmmm nasi goreng di piring masih setengah,
saya masih terus menikmati sembari melihat-lihat
pemandangan sekitar.
Di sebelah kanan meja,
ada tiga orang cowok, memakai kaos berkerah,
warna cerah, dipadu dengan celana jeans, dan sepatu snikers.
Tidak tampak piring makanan di meja mereka,
hanya ada beberapa cangkir kopi hitam, dan aneka macam gorengan,
dan dengan posisi duduk yang santai,
mereka mulai menghisap rokok, minum kopi,
dan mengobrol.
Saya tak kenal siapa mereka, namun sempat tertangkap mata
beberapa kali mereka melemparkan pandangan ke arah saya,
apa cara berpakaian saya aneh?
apa ada sisa butiran nasi di pinggir mulut?
apa saya lupa menutup restleting celana?
apa potongan rambut saya yang aneh?
apa mungkin saya mengoles gel rambut terlalu banyak?
ah, ada apa ya?
Sepuluh menit kemudian,
datanglah 2 cewek, dan 2 cowok yang bergabung
dengan trio kaos berkerah.
Mereka bercanda dan tertawa sangat keras,
semula saya menahan diri untuk tidak
melempar pandangan ke arah mereka namun lama-lama
saya jadi sangat penasaran.
Oh ternyata mereka bermain kartu,
jadi sekarang ada 5 cowok dan 2 cewek,
semuanya menghisap rokok dengan santainya,
seolah-olah hidup mereka begitu indah dan tak ada beban.
Terkadang,
saya iri melihat orang yang bisa tertawa lepas, tanpa rasa cemas,
saya berpikir...
mungkin kuliah mereka beres, keadaan financial baik,
semuanya baik-baik saja dan tidak ada masalah.
Dua cewek di meja sebelah kanan,
menurut saya tak begitu menarik,
mereka berkulit gelap namun rambutnya diwarnai,
uhm...itu perpaduan yang kurang pas.
Rambut berwarna-warni paling cocok dimiliki
oleh orang-orang berkulit putih,
belum lagi mereka merokok, penilaian saya tentang
cewek yang berani merokok di tempat umum
adalah cewek yang tidak beretika.
Saya memperlambat ritme menyuapkan sendok demi sendok
ke dalam mulut,
sembari masih terus mengamati orang-orang di sekitar,
mumpung tidak ada yang kenal,
jadi saya agak tenang dan bisa duduk lebih lama lagi.
Saya tak tahu harus bercerita darimana,
mengapa terdampar di kota kecil seperti Salatiga.
Satu sama lain cenderung saling tahu, saling kenal,
dan saling ingin tahu,
hal itu sangat menyiksa batin.
Sudah 10 tahun lebih di universitas ini,
namun saya belum juga berhasil memperoleh
gelar sarjana.
Dosen pembimbing sangat menyulitkan saya,
dengan idealisme yang membuat
kuliah juga skripsi terhambat.
Sudah beberapa kali saya ingin pindah universitas,
pindah kota tempat tinggal,
namun orang tua saya masih mendesak untuk
meneruskan hingga selesai.
Ah serba salah jadinya,
mau tetap di Salatiga namun saya sudah malu,
malu pada bapak kost yang seringkali tanya,
mengapa saya tak kunjung lulus kuliah.
Malu pada teman-teman satu angkatan,
yang sudah bekerja diluar kota, menikah,
dan punya anak.
Malu pada adik-adik angkatan setiap kali
mereka bertanya sebenarnya apa masalah saya,
sehingga 10 tahun pun belum cukup untuk
menyelesaikan kuliah.
Saya malu pada ibu kantin, ibu penjual kue, ibu warung makan
langganan saya,
setiap kali mereka bertanya,
kapan lulus?
skripsinya susah ya?
mereka bertanya seolah tak berpikir bagaimana
hancurnya perasaan saya.
Sebenarnya jurusan elektro bukanlah
jurusan yang saya inginkan,
saya ingin masuk kedokteran,
namun pada saat itu orang tua belum mempunyai
dana yang cukup.
Walaupun kuliah di jurusan elektro,
tapi hati saya masih merindukan kedokteran.
Kemudian mereka sedikit mendesak agar saya masuk jurusan
elektro,
karena mereka beranggapan jurusan ini mempunyai
jenjang karir yang cukup bagus untuk kedepannya.
Alhasil saya hanya bisa menuruti apa kata mereka,
namun hati nurani masih menolak,
apa yang saya jalani sekarang bukanlah keinginan
pribadi melainkan karena desakan orang tua.
Kemana saya pergi, beban tersebut selalu mengikuti,
saat berada di kost,
saya banyak menghindar bertemu bapak dan ibu
pengurus kost untuk menghindari
pertanyaan yang membuat saya marah.
Saat di kampus,
saya sudah tak punya teman satu angkatan, mereka sudah lulus
kuliah bertahun-tahun yang lalu,
saya menghindar untuk bertemu dosen pembimbing,
bertemu adik angkatan, sampai tukang jual jajanan,
karena tidak tahan dengan pandangan mata mereka
yang terkesan meremehkan saya.
Saya merasa...
mereka meragukan kecerdasan juga kemampuan akademis,
mereka bertanya-tanya apa saya berasal dari keluarga berada
hingga kuliah 10 tahun pun masih berlanjut tanpa
putus di tengah jalan.
mereka menganggap saya mungkin penyuka sejenis
karena gaya berpakaian yang lebih rapi
dibanding mahasiswa elektro yang lain,
dan entah apalagi yang mereka pikirkan
tentang saya?!
Bila saya harus berangkat ke kampus untuk
konsultasi dengan pembimbing,
sepanjang jalan dari kost ke kampus,
saya lebih banyak menyibukkan diri,
melihat dan menekan tombol handphone,
walaupun sedang tak ingin.
Hal itu saya lakukan untuk menghindari
dari menyapa dan disapa,
saya takut menyapa dan disapa karena
bisa saja mereka bertanya mengenai kehidupan pribadi.
Daripada harus bersandiwara, berpura-pura baik,
tapi sebenarnya saya tak ingin bertemu dan menjawab pertanyaan mereka,
lebih baik saya jalan kaki dengan posisi
kepala menunduk dan selalu memegang handphone.
Itulah hal yang paling aman menurut saya
untuk dilakukan sepanjang berjalan kemanapun,
karena pada dasarnya saya selalu was-was akan
pertanyaan yang diajukan kepada saya.
Dengan berusaha cukup keras,
saya menyelesaikan kuliah ini.
Disisi lain saya merasa,
para dosen pembimbing kurang membantu,
dalam berbagai hal,
mereka justru mempersulit, sehingga posisi
saya semakin terhimpit.
Untuk menghibur keadaan,
saya membayar lebih demi menjadi anggota
di sebuah hotel untuk club olahraga,
lebih tepatnya,
saya cukup berani mengeluarkan banyak uang,
untuk menjadi member fitnes dan berenang.
Saya beranggapan,
mereka-mereka yang berani membayar lebih
bukanlah orang yang sembarangan, orang kampungan,
seperti bapak kost dan teman-teman yang sering
mencampuri urusan.
Maka dari itu setiap harinya paling tidak
saya habiskan 6 sampai 7 jam
untuk berada di hotel.
Dengan begitu saya tak terlalu seting nampak
di kost dan di kampus,
teman-teman dan bapak kost takkan bisa
menebak kemana saya pergi.
Di dalam hotel, saya mendapatkan kenyamanan,
bertemu dengan orang-orang baru,
dan saya bisa mengenalkan diri
dengan identitas palsu.
Skripsi yang menjadi mimpi buruk pun
tak kunjung selesai,
malah saya harus mengulang beberapa mata kuliah
bersama mahasiswa baru karena peraturan universitas.
Beberapa kali saya ingin bunuh diri,
berpikiran untuk menenggak racun serangga,
atau bahan kimia yang mematikan,
namun selalu gagal di tengah jalan.
Ya ampun...
untuk apa terus hidup kalau
posisi saya semakin dipersulit.
Jangankan untuk ke kampus dan ke kost,
ke tempat ibadah pun saya merasa tidak aman.
Bisa saja beberapa orang yang mengenal saya,
berada dibdalam satu tempat ibadah,
pada jam ibadah yang sama pula,
wah...
jujur saja, sungguh tak nyaman dengan hal itu,
saya takut kalau-kalau saja saya dijadikan
bahan pembicaraan.
Alhasil saya sudah tidak pernah beribadah lagi,
lebih baik pergi ke tempat ibadah yang baru,
yang sekiranya banyak orang-orang baru,
yang tak mengenal saya.
Saya tak habis pikir,
bagaimana dengan mudahnya mereka ingin tahu
urusan pribadi saya,
bagaimana mereka bisa begitu mencurigai
bahwa saya penyuka sesama jenis.
Rasanya ingin mati saja,
tapi saya paling tak tahan dengan rasa sakit.
Dalam hidup,
sudah berulang kali saya sakit hati, disakiti,
dan dibuat sakit
oleh perkataan maupun tindakan orang lain.
Samapi kapan saya harus menanggung beban ini,
sampai kapan lagi harus berpura-pura kaya,
agar saya diterima oleh beberapa orang tertentu
untuk menjadi temannya.
Saya lelah...
#NB
Tulisan ini terinspirasi dari kisah hidup seorang teman,
saya belum tahu harus berbuat apa, namun saya
sangat ingin menunjukkan padanya,
bahwa hidup itu indah, hidup itu anugerah, jadi nikmatilah!
Monday, June 9, 2014
Wednesday, June 4, 2014
( andai ) Saya punya toko buku.
Sedari dulu saya suka pergi ke toko buku,
walaupun tak suka membaca dan membeli buku.
Aneka permainan menarik disediakan disana,
ada penjual makanan dan minuman juga.
Masih segar dalam ingatan,
saudara sepupu saya sering mengajak ke toko buku.
Yang langsung saya tuju adalah sebuah mesin,
seukuran kulkas pintu satu, warnanya merah,
dan di dalamnya terdapat ratusan atau mungkin ribuan kartu
bergambar dragon ball, sailormoon, and card captor sakura.
Suasana toko buku tersebut,
selalu ramai apalagi di akhir minggu,
banyak anak-anak kecil membeli mainan, dan berkumpul
menjadi satu bersama saya di depan mesin kartu tersebut.
Toko buku itu terdiri dari 3 lantai,
lantai pertama untuk permainan, pernak-pernik, alat tulis,
dan lain sebagainya.
Lantai kedua khusus untuk buku-buku dengan bermacam-macam genre.
mulai dari novel hingga buku tentang sejarah politik.
Dan kemungkinan besar lantai tiga adalah untuk kantor,
dan gudang penyimpanan.
Saya paling suka berada di lantai 1,
karena tempat itu sangat sesuai dengan harapan saat itu,
tempatnya luas, dilengkapi pendingin ruangan,
berbau harum, dan terdapat banyak macam mainan yang dijual,
ah surga!
Walaupun pada masa itu saya belum paham tentang uang,
berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli koin,
guna menghidupkan mesin berwarna merah tersebut.
Kedua kakak sepupu saya dengan senang hati mengeluarkan uang untuk
membeli koin,
dan dengan sabar mereka menemani saya bermain sampai puas.
Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di toko buku itu,
saya sudah tahu bahwa rasa suka ini akan bertahan lama,
dan memang benar,
sampai sekarang toko buku...
memiliki daya tarik tersendiri bagi saya pribadi.
Kalau dulu saya suka berpetualang di bagian mainan,
dan alat-alat tulis,
sekarang...saya lebih suka berlama-lama di bagian buku.
Apalagi kalau koleksi bukunya lengkap,
dalam artian tersedia bermacam-macam genre,
dan buku-buku lama juga masih tersedia.
Di blog sebelumnya, saya sudah sempat menulis tentang
membaca,
bagaimana awalnya saya suka membaca, dan
mengapa membaca begitu penting bagi saya.
Meskipun tidak sedikit uang yang harus dikeluarkanu
untuk membeli buku,
bagaimanapun juga saya akan tetap membelinya.
Salah satu genre buku yang saya suka adalah novel percintaan,
ada banyak macam novel...novel fiksi, kisah nyata, filosofi,
pembunuhan, politik sampai horor.
Diantara sekian banyak jenis novel,
saya belum atau sepertinya tidak akan membaca yang horor.
Novel percintaan bukan hanya menyajikan cerita-cerita sedih,
galau, ataupun cengeng,
tergantung pada gaya kepenulisan sang penulis,
maka dari itu saya sangat selektif dalam memilih sebuah novel.
Mungkin ada dari anda yang beranggapan,
ah dimana-mana novel percintaan ya sama saja,
intinya sama, ceritanya kurang lebih mirip
drama atau sinetron.
Eittsss...tunggu dulu, memang ada banyak yang seperti itu,
namun banyak juga yang sama sekali beda.
Saya justru mendapat banyak pengetahuan dari novel percintaan,
dan segala macam masalah yang dituliskan disana...
membuka mata saya lebar-lebar,
selama kita masih hidup di dunia,
segala jenis masalah memungkinkan untuk terjadi.
Kembali lagi ke toko buku,
saya juga suka saat berada di toko buku yang mempunyai
ukuran lorong yang lebar,
memudahkan untuk jongkok, berlutut, memilih buku-buku
yang ada di bawah.
Sejauh pengamatan saya,
belum semua toko buku memiliki fasilitas seperti itu,
jadi terkesan sempit, penataan bukunya tak beraturan,
bukunya sangat berdebu,
sehingga sangat tidak bersahabat bagi saya yang mempunyai
alergi debu.
Keteraturan penataan sesuai genre buku memang harus dipelajari,
dan membutuhkan waktu yang lama,
saya bisa mengerti akan hal itu,
namun justru seringkali hal itu menyesatkan,
saat sebuah toko menaruh di rak genre yang kurang tepat,
pembeli akan sangat sulit untuk menemukannya,
ujung-ujungnya pembeli batal membeli
buku yang dia inginkan atau harus membuat pusing
karyawan toko buku yang pengetahuannya tentang buku sendiri
sangatlah minim.
Belum lagi kalau melihat beberapa karyawan yang sengaja
dengan enggan melayani pembeli,
sorot mata tak bersemangat, langkah kaki berat,
ah mau jadi apa masa depan negara ini kalau
sumber pengetahuan dilayani oleh para pemalas.
Saya berpikir bahwa toko buku adalah salah satu
sumber pengetahuan,
disana terdapat berbagai macam pengetahuan tentang apa saja
yang saya inginkan.
Bagi anda yang kurang puas dengan apa yang didapatkan
di sekolah, di universitas sampai di tempat kerja,
coba cari di toko buku,
semoga anda bisa menemukan keajaiban,
seperti saya menemukannya disana juga.
Selain keajaiban, saya juga sering mengalami kekecewaan,
entah karena cara bersikap para karyawan,
kurang berfungsinya pendingin ruangan,
sampai kurang luasnya lorong per lorong.
Sesuai dengan judul blog kali ini,
andai saya punya toko buku,
hhhmmmm membayangkannya saja membuat
kegembiraan saya buncah,
seperti baru mendapat kiriman uang ratusan juta secara tiba-tiba.
Bangunannya tak harus luas,
yang penting bersih, dan penataannya harus teratur,
saat toko dalam kondisi ramai,
sebaiknya sebagian karyawan ada yang melayani pembeli,
dan menata ulang tatanan buku yang sudah berantakan.
Mungkin hal ini sangat sepele atau bahkan belum pernah terpikirkan,
namun menjaga susunan buku tetap rapi,
bisa mengundang pembeli untuk lebih betah dan pada akhirnya
membeli sesuatu.
Bayangkan saja saat berada di toko buku dengan tatanan yang
sudah tak karuan dan tetap dibiarkan,
tentu saja hal tersebut akan berdampak langsung
pada minat para pembeli.
Yang saya lihat selama ini adalah,
para karyawan enggan untuk merapikannya kembali,
entah karena tidak ada instruksi atau memang karena malas.
Buku yang masuk dalam kategori promo, alias discount juga
tak kalah penting.
Yang banyak terjadi selama ini adalah,
lorong untuk buku promo berantakan, berdebu,
biarpun setengah harga buku tetaplah buku,
manfaat dari sebuah buku tak bisa dilihat dari harganya yang
mahal atau murah.
Belum lagi pandangan mata meremehkan yang dilemparkan
oleh para karyawan tatkala saya masuk di lorong buku discount.
Jika saya yang mempunyai toko buku,
saya akan tetap berusaha fokus pada goal akhir,
potongan harga yang diberikan agar stocknya habis bersih,
maka dari itu saya akan menaikkan daya jual dengan merapikan dan
membersihkannya,
dan menasehati para karyawan agar tetap melayani dengan
sebaik-baiknya.
Selain penataan yang diusahakan selalu rapi,
fungsi dari pendingin ruangan juga sangat menjadi perhatian.
Saya pernah merasakan bagaimana tersiksanya
berada di sebuah toko buku,
koleksinya bisa dibilang lengkap,
harganya murah, alat-alat tulisnya pun punya kualitas bagus,
namun penataannya amburadul dan tidak dilengkapi
pendingin ruangan.
Alhasil saya belanja buku seperti ibu-ibu yang berebut
belanja sembako murah,
saya tak sempat mengamati buku mana yang bagus, siapa yang menerbitkan,
saya hanya melirik sebentar covernya,
kalau terlihat meyakinkan akan saya beli.
Lebih parah lagi jikalau toko buku tanpa pendingin ruangan tersebut,
berada di kota yang cuacanya panas,
ah saya tak akan bisa bertahan lebih dari 20 menit.
Maka dari itu di musim kemarau maupun musim hujan,
fungsi pendingin ruangan harus memndapat perhatian
dan perawatan yang bagus,
tak baik juga kalau pendingin ruangan tak pernah dibersihkan,
karena tak semua pengunjung toko buku,
tahan dengan debu.
Andai saya punya toko buku,
fungsi pendingin ruangan akan sangat saya perhatikan,
perawatan juga dilakukan dengan rutin,
tak hanya kejar setoran tapi harus mengelola bagaimana
merawatnya agar pembeli semakin kerasan.
Kalau perlu dalam dua minggu,
ada satu hari khusus untuk melakukan perawatan dan pembersihan
dengan para karyawan dengan konsekuensi
bahwa hari itu tak ada pemasukan.
Tiga hal yang sudah saya tulis diatas kelihatannya
tak terlalu penting,
namun selama ini 3 hal tersebut belum ada yang
melakukannya dengan berkelanjutan.
Ditata ulang hanya untuk saat-saat tertentu saja,
atau hanya saat diawasi oleh bos,
saat tidak ada bos para karyawan akan kembali pada kebiasaan lama.
Saya memandang,
bahwa para pengunjung dan pembeli di toko buku adalah
sekelompok orang yang haus akan pengetahuan,
mereka tak cukup puas dengan apa yang sudah didapatkan,
maka dari itu...
mereka rela mengeluarkan uang lebih
untuk membeli pengetahuan.
Sudah semestinya,
saya sebagai pemilik buku akan menyambut dan melayani mereka
dengan sepenuh hati,
rasanya terharu bila ada orang yang masih mau berusaha
mencari pengetahuan dan mengembangkan bakat.
Saat ini saya belum punya modal uang untuk membangun toko buku,
namun saya mempunyai modal kemampuan dan komitmen
untuk melayani dengan lebih baik lagi.
Andai saya punya toko buku yang luas,
saya akan sediakan satu ruangan serbaguna,
bisa dijadikan ruangan untuk penulis yang akan mengadakan
meet and greet bersama para pembacanya,
sekaligus saya menyediakan fasilitas MC, atau mereka bisa membawa
MC favorit sendiri.
Saya ingin mengadakan lomba baca puisi, lomba baca dongeng,
baca undang-undang dasar 1945, lomba mewarnai, lomba melukis tembok atau
kanvas.
Untuk hadiahnya akan disediakan oleh para sponsor,
yang terketuk pintu hatinya, mau bekerja sama atau bahkan
menyumbangkan sedikit keuntungan.
Andai saya punya toko buku,
saya akan semakin sering mengadakan discount untuk
semua macam genre buku,
karena yang saya temui,
buku yang didiscount adalah buku yang tak laku dipasaran,
kalau saya akan berlaku sebaliknya,
pada hari-hari tertentu,
saya akan memberi discount pada buku new release dan best seller.
Kurangnya minat para pembeli akan buku discount,
adalah karena kualitas buku itu sendiri.
Oh ya, andai saya punya toko buku,
saya akan berusaha mencoba memiliki satu team
yang gemar membaca buku
( tentu saja saya termasik didalamnya )
untuk menyortir buku mana saja yang akan masuk ke toko
dan buku mana yang sebaiknya tidak dijual di toko saya.
Sejauh pengamatan saya,
di pusat-pusat perbelanjaan memang toko buku
jauh lebih sepi dibandingkan dengan
outlet baju, makanan, asesoris,
maka dari itu saya punya kerinduan untuk mengubah pemikiran
banyak orang,
ternyata hang out di toko buku itu asyik juga!
Andai saya punya toko buku,
saya takkan berada di belakang meja kantor,
setiap harinya saya akan terjun ke lapangan seperti karyawan lainnya,
saya akan berbaur dengan para pembeli,
memberi informasi tentang buku bacaan yang saya tahu,
ataupun sekedar ngobrol dan menambah relasi.
Saya akan sangat berusaha menganggap para pembeli
bukan sekedar pembeli,
namun menempatkan posisi saya pada mereka,
sama-sama mencari pengetahuan,
dan rela membayar lebih untuk mendapatkan itu.
Sekali lagi,
saya belum punya modal uang sebanyak itu untuk
mewujudkan impian ini,
namun saya akan tetap bermimpi, dan memperbaiki konsep
yang saya miliki,
juga yang tak kalah penting adalah...
memperbaharui komitmen untuk melayani.
Kedepannya bila memang benar,
saya memiliki sebuah toko buku,
saya yakin akan srmakin banyak orang yang ingin membaca buku,
dengan begitu bangsa kita juga akan maju :)
Semangat!!
walaupun tak suka membaca dan membeli buku.
Aneka permainan menarik disediakan disana,
ada penjual makanan dan minuman juga.
Masih segar dalam ingatan,
saudara sepupu saya sering mengajak ke toko buku.
Yang langsung saya tuju adalah sebuah mesin,
seukuran kulkas pintu satu, warnanya merah,
dan di dalamnya terdapat ratusan atau mungkin ribuan kartu
bergambar dragon ball, sailormoon, and card captor sakura.
Suasana toko buku tersebut,
selalu ramai apalagi di akhir minggu,
banyak anak-anak kecil membeli mainan, dan berkumpul
menjadi satu bersama saya di depan mesin kartu tersebut.
Toko buku itu terdiri dari 3 lantai,
lantai pertama untuk permainan, pernak-pernik, alat tulis,
dan lain sebagainya.
Lantai kedua khusus untuk buku-buku dengan bermacam-macam genre.
mulai dari novel hingga buku tentang sejarah politik.
Dan kemungkinan besar lantai tiga adalah untuk kantor,
dan gudang penyimpanan.
Saya paling suka berada di lantai 1,
karena tempat itu sangat sesuai dengan harapan saat itu,
tempatnya luas, dilengkapi pendingin ruangan,
berbau harum, dan terdapat banyak macam mainan yang dijual,
ah surga!
Walaupun pada masa itu saya belum paham tentang uang,
berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli koin,
guna menghidupkan mesin berwarna merah tersebut.
Kedua kakak sepupu saya dengan senang hati mengeluarkan uang untuk
membeli koin,
dan dengan sabar mereka menemani saya bermain sampai puas.
Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di toko buku itu,
saya sudah tahu bahwa rasa suka ini akan bertahan lama,
dan memang benar,
sampai sekarang toko buku...
memiliki daya tarik tersendiri bagi saya pribadi.
Kalau dulu saya suka berpetualang di bagian mainan,
dan alat-alat tulis,
sekarang...saya lebih suka berlama-lama di bagian buku.
Apalagi kalau koleksi bukunya lengkap,
dalam artian tersedia bermacam-macam genre,
dan buku-buku lama juga masih tersedia.
Di blog sebelumnya, saya sudah sempat menulis tentang
membaca,
bagaimana awalnya saya suka membaca, dan
mengapa membaca begitu penting bagi saya.
Meskipun tidak sedikit uang yang harus dikeluarkanu
untuk membeli buku,
bagaimanapun juga saya akan tetap membelinya.
Salah satu genre buku yang saya suka adalah novel percintaan,
ada banyak macam novel...novel fiksi, kisah nyata, filosofi,
pembunuhan, politik sampai horor.
Diantara sekian banyak jenis novel,
saya belum atau sepertinya tidak akan membaca yang horor.
Novel percintaan bukan hanya menyajikan cerita-cerita sedih,
galau, ataupun cengeng,
tergantung pada gaya kepenulisan sang penulis,
maka dari itu saya sangat selektif dalam memilih sebuah novel.
Mungkin ada dari anda yang beranggapan,
ah dimana-mana novel percintaan ya sama saja,
intinya sama, ceritanya kurang lebih mirip
drama atau sinetron.
Eittsss...tunggu dulu, memang ada banyak yang seperti itu,
namun banyak juga yang sama sekali beda.
Saya justru mendapat banyak pengetahuan dari novel percintaan,
dan segala macam masalah yang dituliskan disana...
membuka mata saya lebar-lebar,
selama kita masih hidup di dunia,
segala jenis masalah memungkinkan untuk terjadi.
Kembali lagi ke toko buku,
saya juga suka saat berada di toko buku yang mempunyai
ukuran lorong yang lebar,
memudahkan untuk jongkok, berlutut, memilih buku-buku
yang ada di bawah.
Sejauh pengamatan saya,
belum semua toko buku memiliki fasilitas seperti itu,
jadi terkesan sempit, penataan bukunya tak beraturan,
bukunya sangat berdebu,
sehingga sangat tidak bersahabat bagi saya yang mempunyai
alergi debu.
Keteraturan penataan sesuai genre buku memang harus dipelajari,
dan membutuhkan waktu yang lama,
saya bisa mengerti akan hal itu,
namun justru seringkali hal itu menyesatkan,
saat sebuah toko menaruh di rak genre yang kurang tepat,
pembeli akan sangat sulit untuk menemukannya,
ujung-ujungnya pembeli batal membeli
buku yang dia inginkan atau harus membuat pusing
karyawan toko buku yang pengetahuannya tentang buku sendiri
sangatlah minim.
Belum lagi kalau melihat beberapa karyawan yang sengaja
dengan enggan melayani pembeli,
sorot mata tak bersemangat, langkah kaki berat,
ah mau jadi apa masa depan negara ini kalau
sumber pengetahuan dilayani oleh para pemalas.
Saya berpikir bahwa toko buku adalah salah satu
sumber pengetahuan,
disana terdapat berbagai macam pengetahuan tentang apa saja
yang saya inginkan.
Bagi anda yang kurang puas dengan apa yang didapatkan
di sekolah, di universitas sampai di tempat kerja,
coba cari di toko buku,
semoga anda bisa menemukan keajaiban,
seperti saya menemukannya disana juga.
Selain keajaiban, saya juga sering mengalami kekecewaan,
entah karena cara bersikap para karyawan,
kurang berfungsinya pendingin ruangan,
sampai kurang luasnya lorong per lorong.
Sesuai dengan judul blog kali ini,
andai saya punya toko buku,
hhhmmmm membayangkannya saja membuat
kegembiraan saya buncah,
seperti baru mendapat kiriman uang ratusan juta secara tiba-tiba.
Bangunannya tak harus luas,
yang penting bersih, dan penataannya harus teratur,
saat toko dalam kondisi ramai,
sebaiknya sebagian karyawan ada yang melayani pembeli,
dan menata ulang tatanan buku yang sudah berantakan.
Mungkin hal ini sangat sepele atau bahkan belum pernah terpikirkan,
namun menjaga susunan buku tetap rapi,
bisa mengundang pembeli untuk lebih betah dan pada akhirnya
membeli sesuatu.
Bayangkan saja saat berada di toko buku dengan tatanan yang
sudah tak karuan dan tetap dibiarkan,
tentu saja hal tersebut akan berdampak langsung
pada minat para pembeli.
Yang saya lihat selama ini adalah,
para karyawan enggan untuk merapikannya kembali,
entah karena tidak ada instruksi atau memang karena malas.
Buku yang masuk dalam kategori promo, alias discount juga
tak kalah penting.
Yang banyak terjadi selama ini adalah,
lorong untuk buku promo berantakan, berdebu,
biarpun setengah harga buku tetaplah buku,
manfaat dari sebuah buku tak bisa dilihat dari harganya yang
mahal atau murah.
Belum lagi pandangan mata meremehkan yang dilemparkan
oleh para karyawan tatkala saya masuk di lorong buku discount.
Jika saya yang mempunyai toko buku,
saya akan tetap berusaha fokus pada goal akhir,
potongan harga yang diberikan agar stocknya habis bersih,
maka dari itu saya akan menaikkan daya jual dengan merapikan dan
membersihkannya,
dan menasehati para karyawan agar tetap melayani dengan
sebaik-baiknya.
Selain penataan yang diusahakan selalu rapi,
fungsi dari pendingin ruangan juga sangat menjadi perhatian.
Saya pernah merasakan bagaimana tersiksanya
berada di sebuah toko buku,
koleksinya bisa dibilang lengkap,
harganya murah, alat-alat tulisnya pun punya kualitas bagus,
namun penataannya amburadul dan tidak dilengkapi
pendingin ruangan.
Alhasil saya belanja buku seperti ibu-ibu yang berebut
belanja sembako murah,
saya tak sempat mengamati buku mana yang bagus, siapa yang menerbitkan,
saya hanya melirik sebentar covernya,
kalau terlihat meyakinkan akan saya beli.
Lebih parah lagi jikalau toko buku tanpa pendingin ruangan tersebut,
berada di kota yang cuacanya panas,
ah saya tak akan bisa bertahan lebih dari 20 menit.
Maka dari itu di musim kemarau maupun musim hujan,
fungsi pendingin ruangan harus memndapat perhatian
dan perawatan yang bagus,
tak baik juga kalau pendingin ruangan tak pernah dibersihkan,
karena tak semua pengunjung toko buku,
tahan dengan debu.
Andai saya punya toko buku,
fungsi pendingin ruangan akan sangat saya perhatikan,
perawatan juga dilakukan dengan rutin,
tak hanya kejar setoran tapi harus mengelola bagaimana
merawatnya agar pembeli semakin kerasan.
Kalau perlu dalam dua minggu,
ada satu hari khusus untuk melakukan perawatan dan pembersihan
dengan para karyawan dengan konsekuensi
bahwa hari itu tak ada pemasukan.
Tiga hal yang sudah saya tulis diatas kelihatannya
tak terlalu penting,
namun selama ini 3 hal tersebut belum ada yang
melakukannya dengan berkelanjutan.
Ditata ulang hanya untuk saat-saat tertentu saja,
atau hanya saat diawasi oleh bos,
saat tidak ada bos para karyawan akan kembali pada kebiasaan lama.
Saya memandang,
bahwa para pengunjung dan pembeli di toko buku adalah
sekelompok orang yang haus akan pengetahuan,
mereka tak cukup puas dengan apa yang sudah didapatkan,
maka dari itu...
mereka rela mengeluarkan uang lebih
untuk membeli pengetahuan.
Sudah semestinya,
saya sebagai pemilik buku akan menyambut dan melayani mereka
dengan sepenuh hati,
rasanya terharu bila ada orang yang masih mau berusaha
mencari pengetahuan dan mengembangkan bakat.
Saat ini saya belum punya modal uang untuk membangun toko buku,
namun saya mempunyai modal kemampuan dan komitmen
untuk melayani dengan lebih baik lagi.
Andai saya punya toko buku yang luas,
saya akan sediakan satu ruangan serbaguna,
bisa dijadikan ruangan untuk penulis yang akan mengadakan
meet and greet bersama para pembacanya,
sekaligus saya menyediakan fasilitas MC, atau mereka bisa membawa
MC favorit sendiri.
Saya ingin mengadakan lomba baca puisi, lomba baca dongeng,
baca undang-undang dasar 1945, lomba mewarnai, lomba melukis tembok atau
kanvas.
Untuk hadiahnya akan disediakan oleh para sponsor,
yang terketuk pintu hatinya, mau bekerja sama atau bahkan
menyumbangkan sedikit keuntungan.
Andai saya punya toko buku,
saya akan semakin sering mengadakan discount untuk
semua macam genre buku,
karena yang saya temui,
buku yang didiscount adalah buku yang tak laku dipasaran,
kalau saya akan berlaku sebaliknya,
pada hari-hari tertentu,
saya akan memberi discount pada buku new release dan best seller.
Kurangnya minat para pembeli akan buku discount,
adalah karena kualitas buku itu sendiri.
Oh ya, andai saya punya toko buku,
saya akan berusaha mencoba memiliki satu team
yang gemar membaca buku
( tentu saja saya termasik didalamnya )
untuk menyortir buku mana saja yang akan masuk ke toko
dan buku mana yang sebaiknya tidak dijual di toko saya.
Sejauh pengamatan saya,
di pusat-pusat perbelanjaan memang toko buku
jauh lebih sepi dibandingkan dengan
outlet baju, makanan, asesoris,
maka dari itu saya punya kerinduan untuk mengubah pemikiran
banyak orang,
ternyata hang out di toko buku itu asyik juga!
Andai saya punya toko buku,
saya takkan berada di belakang meja kantor,
setiap harinya saya akan terjun ke lapangan seperti karyawan lainnya,
saya akan berbaur dengan para pembeli,
memberi informasi tentang buku bacaan yang saya tahu,
ataupun sekedar ngobrol dan menambah relasi.
Saya akan sangat berusaha menganggap para pembeli
bukan sekedar pembeli,
namun menempatkan posisi saya pada mereka,
sama-sama mencari pengetahuan,
dan rela membayar lebih untuk mendapatkan itu.
Sekali lagi,
saya belum punya modal uang sebanyak itu untuk
mewujudkan impian ini,
namun saya akan tetap bermimpi, dan memperbaiki konsep
yang saya miliki,
juga yang tak kalah penting adalah...
memperbaharui komitmen untuk melayani.
Kedepannya bila memang benar,
saya memiliki sebuah toko buku,
saya yakin akan srmakin banyak orang yang ingin membaca buku,
dengan begitu bangsa kita juga akan maju :)
Semangat!!
Thursday, May 22, 2014
Pergi begitu saja
Belum pernah kau katakan rindu,
rindu yang timbul dari hati,
kemudian diucapkan lewat kata-kata,
entah...apa kau sengaja ataukah terlalu malu?
Sejak pertama bertemu,
tatapan matamu nampak sendu,
ternyata kau menyimpan kepahitan masa lalu,
hingga kau dibuatnya menjadi seorang pemalu.
Dengan segala keterbatasan kalimat yang diucapkan
kau mengajak aku berteman,
berteman hanya sekedar kenal dan berteman,
terkadang kau tak menyapa bahkan disaat kita berhadapan.
Kau datang dan pergi begitu saja,
kadang ada, kadang menghilang entah kemana,
kau memilih bersembunyi di belakang luka,
yang semestinya bisa dihadapi dengan hati terbuka.
Tak pernah disangka-sangka,
tiba-tiba kau bilang bahwa kau sedang jatuh cinta,
dan menginginkanku lebih dari segalanya,
benarkah begitu? atau hanya rasa penasaran belaka?
Pada saat itu, aku bingung harus bagaimana,
ingin mencoba menerima cinta,
namun tak bisa..
rasa takut dihatiku lebih besar dari semuanya.
Bagaimana bisa, disaat yang sama,
kau menawarkan cinta,
disaat itu juga kau masih bersama pacar lama,
hey, apa kau sedang bercanda?!
Waktu berlalu,
sudah sangat lama kita tak bertemu,
dengan ragu-ragu aku menghubungimu,
dan dari situlah aku menciptakan masalah baru.
Berharap sudah tak ada sisa-sisa rasa penasaran dari masa lalu,
kita bisa memulai pertemanan dengan awal yang baru,
namun ternyata sangat susah untuk seperti itu,
kita yaitu, aku dan kamu memulai cerita baru.
Semula aku datang hanya untuk menyapa,
mengajak bercanda dan berbagi cerita,
semua mengalir begitu adanya,
hingga kau raih tanganku dan menggenggamnya.
Tahukah kau bahwa saat itu aku serasa di alam mimpi,
sulit membedakan mana kenyataan dan ilusi,
seketika itu juga ada yang berbisik dalam hati,
bagaimanakah kelanjutannya nanti?
Dibalik kesan hampa,
ternyata kau suka bercerita,
memberitahukan mana yang kau suka dan tidak suka,
sembari meminta pelukan manja.
Aku tahu bahwa aku sangat menginginkanmu,
kamu juga seolah-olah menginginkan diriku,
namun tak ada yang tahu,
karena kau tak pernah berkata padaku.
Gaya bicaramu beda,
tingkah laku mu tak sama,
entah kau anggap aku ini apa,
kekasih atau hanya teman istimewa?
Sebetulnya sudah ku nanti sejak lama,
sebuah kalimat yang bisa membuat bahagia,
entah itu cinta, sayang, atau sekedar suka,
tapi kau tak pernah sekalipun mengucapkannya.
Kita hanya berjalan tanpa tujuan,
kalau hanya gairah, itu takkan lama bertahan,
maka disinilah titik yang melelahkan,
sehingga aku hanya pergi saja, tanpa berpamitan.
rindu yang timbul dari hati,
kemudian diucapkan lewat kata-kata,
entah...apa kau sengaja ataukah terlalu malu?
Sejak pertama bertemu,
tatapan matamu nampak sendu,
ternyata kau menyimpan kepahitan masa lalu,
hingga kau dibuatnya menjadi seorang pemalu.
Dengan segala keterbatasan kalimat yang diucapkan
kau mengajak aku berteman,
berteman hanya sekedar kenal dan berteman,
terkadang kau tak menyapa bahkan disaat kita berhadapan.
Kau datang dan pergi begitu saja,
kadang ada, kadang menghilang entah kemana,
kau memilih bersembunyi di belakang luka,
yang semestinya bisa dihadapi dengan hati terbuka.
Tak pernah disangka-sangka,
tiba-tiba kau bilang bahwa kau sedang jatuh cinta,
dan menginginkanku lebih dari segalanya,
benarkah begitu? atau hanya rasa penasaran belaka?
Pada saat itu, aku bingung harus bagaimana,
ingin mencoba menerima cinta,
namun tak bisa..
rasa takut dihatiku lebih besar dari semuanya.
Bagaimana bisa, disaat yang sama,
kau menawarkan cinta,
disaat itu juga kau masih bersama pacar lama,
hey, apa kau sedang bercanda?!
Waktu berlalu,
sudah sangat lama kita tak bertemu,
dengan ragu-ragu aku menghubungimu,
dan dari situlah aku menciptakan masalah baru.
Berharap sudah tak ada sisa-sisa rasa penasaran dari masa lalu,
kita bisa memulai pertemanan dengan awal yang baru,
namun ternyata sangat susah untuk seperti itu,
kita yaitu, aku dan kamu memulai cerita baru.
Semula aku datang hanya untuk menyapa,
mengajak bercanda dan berbagi cerita,
semua mengalir begitu adanya,
hingga kau raih tanganku dan menggenggamnya.
Tahukah kau bahwa saat itu aku serasa di alam mimpi,
sulit membedakan mana kenyataan dan ilusi,
seketika itu juga ada yang berbisik dalam hati,
bagaimanakah kelanjutannya nanti?
Dibalik kesan hampa,
ternyata kau suka bercerita,
memberitahukan mana yang kau suka dan tidak suka,
sembari meminta pelukan manja.
Aku tahu bahwa aku sangat menginginkanmu,
kamu juga seolah-olah menginginkan diriku,
namun tak ada yang tahu,
karena kau tak pernah berkata padaku.
Gaya bicaramu beda,
tingkah laku mu tak sama,
entah kau anggap aku ini apa,
kekasih atau hanya teman istimewa?
Sebetulnya sudah ku nanti sejak lama,
sebuah kalimat yang bisa membuat bahagia,
entah itu cinta, sayang, atau sekedar suka,
tapi kau tak pernah sekalipun mengucapkannya.
Kita hanya berjalan tanpa tujuan,
kalau hanya gairah, itu takkan lama bertahan,
maka disinilah titik yang melelahkan,
sehingga aku hanya pergi saja, tanpa berpamitan.
Wednesday, May 14, 2014
Nenek
Beberapa kali ibu pernah bercerita,
bahwa saat beliau seumuran dengan saya sekarang,
anaknya sudah masuk Taman kanak-kanak,
dan anaknya itu tak lain tak bukan adalah saya sendiri.
Mungkin maksud ibu,
agar saya tertarik untuk segera menikah,
dan memiliki anak seperti apa yang sudah dilaluinya.
Ah, ternyata cara itu belum berhasil,
kalimat itu hanya saya nikmati sebagai cerita indah
tentang masa lalu,
dan sama sekali belum mempengaruhi saya
untuk terburu-buru melaksanakan pernikahan.
Saya sendiri masih berusaha keras meyakinkan diri sendiri,
kapan akan menikah,
jadi jangan tanya kapan pada orang yang sudah berpasangan,
belum tentu mereka sudah merindukan pernikahan.
Ditambah lagi,
akhir-akhir ini saya membeli, membaca, merenungi
buku-buku tentang pernikahan.
Walaupun saya belum pernah melakukan ini sebelumnya,
namun...nampaknya pernikahan adalah tahap baru dalam
kehidupan,
seperti waktu dulu...
dari SMU lalu masuk kuliah,
dari single lalu masuk dalam pernikahan.
Paling tidak,
saya tak buta arah, harus banyak tahu, banyak belajar,
agar masalah-masalahnya bisa diminimalisir,
ternyata...
pengetahuan bukan hanya untuk anak sekolahan,
karyawan kantoran,
namun juga sangat penting untuk menjalani
kehidupan pernikahan.
Ayah dan ibu menikah pada usia muda,
disaat ayah belum mendapat pekerjaan tetap,
jadi tidak ada kepastian juga untuk gaji bulanan,
kadang ayah mendapatkannya, kadang juga pulang
dengan tangan kosong.
Saya masih sering terheran-heran,
apa yang membuat ibu percaya untuk menikahi
seorang laki-laki yang
gaji bulanan saja masih dipertanyakan.
Kalau saya bertanya pada ibu seperti itu,
jawabannya adalah karena cinta dan percaya bahwa
beliau tidak salah memilih pendamping hidup, keren!
Satu bulan sebelum resepsi pernikahan,
ayah dan ibu harus menjalani masa pingitan
tidak bisa bertemu dan bertatap muka.
Ibu tak boleh keluar rumah selama satu bulan,
kalau ada keperluan untuk membeli sesuatu,
adik-adiknya lah yang akan keluar rumah dan
membelikan untuknya.
Ayah masih lebih bebas,
beliau boleh keluar kemanapun
asal bukan ke rumah ibu,
buktinya...
selama masa pingitan ayah rajin mengirim surat lewat
kantor pos, yang sebagian suratnya berisi nasehat untuk ibu
supaya sabar dan ikhlas dalam menjalani masa pingitan.
Tak disangka,
dibalik watak keras, tubuh yang tinggi besar,
ayah juga bisa mempunyai inisiatif yang romantis
Karena belum mempunyai pekerjaan tetap,
maka setelah resepsi pernikahan,
ayah mengajak ibu tinggal di rumah nenek.
Setelah dua tahun menjalani kehidupan berumah tangga,
ibu akhirnya mengandung,
dan melahirkan saya 9 bulan kemudian,tepatnya
tanggal 12 november jam 2 siang menjelang sore.
Jadi,
sedari lahir saya tinggal bersama ayah, ibu,
kakek, nenek dan satu kakak sepupu.
Entah karena harga rumah yang belum terjangkau,
atau memang enggan meninggalkan kenyamanan,
ayah tak kunjung membeli rumah sendiri untuk mengajak
keluarga kecilnya pindah.
Saat saya lahir,
kakek sudah pensiun, pekerjaan sehari-harinya adalah
membantu nenek yang menjalankan sebuah usaha cathering makanan.
Dulu,
kakek adalah pedagang beras,
bahkan beliau mempunyai sebuah gudang,
kira-kira sebesar rumah dengan 4 kamar khusus untuk
menyimpan beras.
Meskipun pada akhirnya, gudang tersebut terpaksa harus dijual
untuk membayar hutang dari paman saya,
namun saya masih bisa sesekali menengok gudang bersejarah tersebut.
Seperti anak kecil kebanyakan,
saya suka bermain, suka mencari tahu tentang sesuatu,
meskipun caraku untuk mencari tahu dianggap sebagai kenakalan
oleh orang yang lebih dewasa.
Contohnya...
saya suka memakai sepatu hak tinggi milik nenek,
berjalan mengelilingi rumah,
seolah-olah saya adalah ibu manager yang mondar-mandir untuk
memantau keadaan kantor sekaligus aktivitas anak buah saya.
Uhm,
foundation wajah milik nenek juga salah satu hal,
yang sangat mengusik rasa penasaran saya,
botolnya terbuat dari kaca, lalu warnanya hijau muda,
dan cairan didalamnya berwarna cokelat muda,
mirip warna cappucinno.
Saat iseng,
saya sering masuk ke kamar nenek, duduk di hadapan
meja riasnya, dan mulai mencari-cari,
apa yang dapat dimainkan,
setelah mengamati benda-benda yang ada,
mata saya tertuju pada botol foundation itu,
saya buka botolnya, kemudian secara perlahan saya mencium aromanya,
dan mengeluarkan isinya,
karena takut ketahuan, foundation yang sudah berada di telapak tangan,
saya oleskan pada sarung bantal milik nenek,
selesai perkara!
Setiap kali bermain-main dengan foundation,
setiap kali itu juga ibu memarahi,
bahkan mencubit lengan saya sampai berwarna kebiruan,
tapi saya tak pernah jera, kawan!
botol foundation itu tetap mengundang rasa penasaran.
Hampir setiap hari ibu sibuk membantu nenek,
untuk membuat pesanan makanan, kue, dan lain
sebagainya.
Meskipun ibu tidak bekerja diluar rumah, namun beliau tetap sibuk
setiap harinya.
Saya juga sibuk,
sibuk bermain bersama kakak sepupu yang usianya 10 tahun
lebih tua,
dia sering mengajak bermain masak-masakan di halaman rumah,
dengan batu bata, daun mangga, pasir, dan air untuk melembutkan
adonan tersebut.
Suatu kali seusai bermain adonan pasir,
saya dan kakak masuk ke dalam rumah,
kemudian nenek menyuguhkan sepiring buah
semangka merah yang sudah dipotong-potong,
dan bijinya sudah dibuang.
Spontan, saya mengulurkan tangan kanan untuk
mencicipi potongan semangka yang nampak
sangat menggiurkan itu,
dengan lincah nenek menangkis tangan saya,
dan membentak bahwa buah semangka itu untuk kakak
dan bukan untuk saya.
Hhmmmm, waktu itu saya belum terlalu paham,
mengapa semangka itu hanya untuk kakak?
dan saya tak boleh mengambilnya,
bahkan ketika kakak sudah menyodorkan
piring berisi semangka itu didepan mata.
Nenek langsung mengambil piring tersebut,
dan menyimpannya di tempat yang tidak bisa
saya raih.
Kejadian mengenai semangka itu secara tidak langsung
saya ingat sampai sekarang,
dan jujur saja...
membawa rasa pahit yang bisa saja berdampak tidak baik
untuk masa depan saya.
Bermula dari hal itu,
setiap kali nenek dan kakek mempunyai makanan,
saya tak berani mengambilnya ataupun mencoba memintanya...
ada rasa takut ditolak dan tentu saja...
masih sakit hati sekaligus terheran-heran akibat
beberapa potong semangka merah tanpa biji.
Walaupun di hari-hari berikutnya,
mereka sering menawarkan makanan hanya untuk
sekedar berbasa-basi.
tapi secara otomatis saya menolaknya,
seperti sudah ada rasa penolakan dari dalam.
Nenek orangnya suka bergosip,
hampir setiap hari ada temannya menelfon ke rumah,
kemudian mereka membicarakan tentang kekurangan atau musibah
yang menimpa orang lain.
Tanpa bermaksud untuk mendengarkan,
tapi...suara nenek volumenya sangat keras dan bernada tinggi,
sehingga saya pun tak bisa mendengarkan suara TV,
jadi tak heran,
apapun yang dibicarakan, terdengar oleh siapa saja
yang ada di dalam rumah.
Kegemarannya untuk bergosip,
tidak hanya lewat telfon,
setiap kali selesai ibadah di gereja nenek selalu
pulang terlambat,
karena menyempatkan untuk membahas mengenai keluarga,
kehidupan percintaan, bahkan kehidupan seksual orang lain.
Selain gemar membicarakan kehidupan pribadi orang lain,
ada satu lagi kegemarannya, yaitu berdandan,
bahkan dulu nenek pernah ikut lomba merias wajah
tanpa melihat kaca, dan meraih juara 3.
Sampai usia lanjut nenek masih suka berdandan,
bahkan sampai di tahun ini,
menginjak umurnya yang ke 90 tahun,
tangannya masih lincah mengoleskan foundation,
menyapukan bedak, lipstik, dan pemerah pipi.
Sewaktu kecil,
saat saya akan pentas di acara 17 agustusan, nenek selalu
menawarkan diri untuk meriasi wajah,
namun saya tak pernah mau.
Dulu,
saya tak bisa menjelaskan mengapa tak pernah mau
setiap kali nenek dan kakek menawarkan makanan atau
bantuan.
Berbeda dengan kini, setelah dewasa...
kurang lebih saya tahu bahwa
ada kepahitan di dalam hati
yang membuat saya sangat menjaga jarak dengan mereka,
terutama nenek.
Cucu kesayangannya adalah kakak sepupu saya,
anak dari kakak tertua ayah,
nenek menganggapnya seperti anaknya sendiri,
apapun akan diberikan untuknya,
hhmmm menerima perlakuan yang dibedakan sejak kecil
itu sangat sesuatu.
Kira-kira saat saya duduk di kelas 4 SD,
hampir setiap hari nenek bertengkar dengan kakek,
berteriak, melotot, dan membanting barang-barang,
tak jarang juga nenek menangis.
Itu semua,
karena nenek menangkap basah
perselingkuhan kakek dengan seorang wanita muda,
yang dilakukan di hotel.
Saya tak betah berada di rumah,
kalau mereka bertengkar suasananya panas, penuh teriakan,
penuh kalimat-kalimat menjatuhkan, saling menuduh dan menyalahkan,
tapi anehnya...
dalam lubuk hati, saya merasa senang,
sepertinya kakek turut membalaskan luka hati
saya yang terpendam sejak kecil.
Bertahun-tahun setelah itu,
keadaan masih sama, nenek masih mengungkit-ungkit
masalah yang sama,
meskipun kakek sudah tak pernah pergi ke hotel lagi.
Oh ya,
salah satu hal lagi yang tidak wajar dari nenek adalah,
dia tak pernah tersenyum,
sekalipun ada lelucon yang menyentuh rasa humornya,
dia hanya tersenyum tipis, bukan tertawa terbahak-bahak,
bahkan di ysianya yang sudah 90 tahun,
nenek masih sangat jarang tersenyum.
Entahlah,
mungkin nenek juga menyimpan kepahitan yang
sangat dalam,
sampai-sampai perilaku dan kata-katanya
mengeluarkan dan mengakibatkan kepahitan juga.
Menerima perlakuan yang seperti itu,
dari hari demi hari,
bulan demi bulan,
tahun demi tahun...
menjadikan saya tak pernah mau dekat dengan nenek,
walaupun kami tinggal satu atap,
dan sialnya atap itu adalah miliknya bukan milik ayah.
Syukurlah sejak SMU,
saya sudah pergi dari situ, tinggal diluar kota
untuk menuntut ilmu,
ya paling tidak saya tak harus bertemu dengannya,
beradu pendapat, rebutan channel TV,
saya sering bertanya dalam hati,
apa nenek saya adalah titisan dari nenek lampir?
yang suka mengintimidasi, mengancam anak kecil.
Semakin saya bertumbuh dewasa,
kepekaan yang ada di dalam hati juga semakin berkembang.
Sedikit demi sedikit,
saya sadar penuh dan berani mengambil kesimpulan,
bahwa nenek mengasihi cucu-cucunya,
terlebih lagi kakak sepupu saya.
Menerima dengan ikhlas,
sebuah kenyataan yang mana,
saya mendapatkan porsi kasih sayang yang lebih sedikit,
itu sangat menyakitkan,
dan butuh waktu lama untuk berdamai dengan diri sendiri
yang merasa terintimidasi, serta tak dikasihi.
Sembari menuliskan cerita ini,
sembari saya mengingat-ingat, apa saja yang turut
membentuk karakter yang saya miliki
hingga kini.
Kalau melihat,
seorang wanita tua, yang usianya 90 tahun,
badannya pendek, kulitnya sudah mengeriput di seluruh bagian,
langkah kakinya sudah tak selincah sewaktu muda dulu,
rasanya sedih juga.
Disaat saya mencoba untuk menerima dan mengampuni
perlakuannya di masa lalu,
disaat itu juga saya diuji,
dengan kebawelannya, kecerewetannya,
tanya ini, tanya itu, yang mana saya merasa
pertanyaan yang dilontarkan itu bersifat mengintimidasi.
Untunglah,
saya tak terlalu sering pulang ke rumah,
dengan begitu,
saya tak terlalu sering bertemu muka dengan wanita
yang telah membesarkan ayah.
Kini,
saya selalu ingat membelikannya satu atau dua potong
cake cokelat,
itu merupakan makanan kesukaannya.
Mungkin ada dari anda yang pernah atau sedang
mengalami hal yang sama,
dibedakan, disisihkan, diperlakukan tak adil,
dan lain sebagainya.
Kabar buruknya adalah,
hal itu memang sangat bisa membawa dampak buruk
bagi masa depan,
karena kepahitan yang dialami itu mengakar kuat,
dab bertumbuh pesat.
Namun...kabar baiknya adalah,
pribadi yang mengalami bisa menyembuhkan
diri masing-masing,
Menyembuhkan, atau melakukan sendiri
proses penyembuhan luka batin,
bisa dengan berbagai macam cara,
salah duanya adalah dengan,
mendekatkan diri pada Sang Pencipta, dan mau mengampuni.
Saya kira,
tak ada yang setuju bahwa kedua hal tersebut
bisa dilakukan dengan mudah,
tapi bukan berarti mustahil untuk dilakukan.
Kalau saya dan anda,
melangkah pada satu tujuan yaitu menyembuhkan
luka batin tersebut,
dan berkeinginan kuat untuk sembuh,
saya rasa alam pun pasti turut membantu.
Luka tersebut bila dibiarkan akan menggerogoti
sukacita dan semangat,
sangat disayangkan,
karena manusia pada hakekatnya diciptakan,
dan diperlengkapi dengan akal budi
untuk tujuan yang baik juga mulia.
Melakukan tujuan baik, menjadi berguna bagi sesama,
takkan bisa dilakukan dengan maksimal,
tanpa menyembuhkan luka batin terlebih dahulu.
Yang bisa mendeteksi,
luka tersebut sudah sembuh total atau masih setengah kering,
adalah pribadi masing-masing
yang mengalaminya.
Bila saya dan anda sudah berhasil
memulihkan keadaan diri sendiri,
itulah saat yang tepat untuk berbagi banyak hal baik
pada sesama.
Karena sudah terbebas,
maka kita juga bisa membebaskan.
Hidup cuma sekali,
persediaan nyawa kita juga cuma satu,
mari bahu membahu menjadikan hidup kita,
dan hidup sesama menjadi lebih baik lagi,
saya bisa, dan saya yakin anda juga :)
bahwa saat beliau seumuran dengan saya sekarang,
anaknya sudah masuk Taman kanak-kanak,
dan anaknya itu tak lain tak bukan adalah saya sendiri.
Mungkin maksud ibu,
agar saya tertarik untuk segera menikah,
dan memiliki anak seperti apa yang sudah dilaluinya.
Ah, ternyata cara itu belum berhasil,
kalimat itu hanya saya nikmati sebagai cerita indah
tentang masa lalu,
dan sama sekali belum mempengaruhi saya
untuk terburu-buru melaksanakan pernikahan.
Saya sendiri masih berusaha keras meyakinkan diri sendiri,
kapan akan menikah,
jadi jangan tanya kapan pada orang yang sudah berpasangan,
belum tentu mereka sudah merindukan pernikahan.
Ditambah lagi,
akhir-akhir ini saya membeli, membaca, merenungi
buku-buku tentang pernikahan.
Walaupun saya belum pernah melakukan ini sebelumnya,
namun...nampaknya pernikahan adalah tahap baru dalam
kehidupan,
seperti waktu dulu...
dari SMU lalu masuk kuliah,
dari single lalu masuk dalam pernikahan.
Paling tidak,
saya tak buta arah, harus banyak tahu, banyak belajar,
agar masalah-masalahnya bisa diminimalisir,
ternyata...
pengetahuan bukan hanya untuk anak sekolahan,
karyawan kantoran,
namun juga sangat penting untuk menjalani
kehidupan pernikahan.
Ayah dan ibu menikah pada usia muda,
disaat ayah belum mendapat pekerjaan tetap,
jadi tidak ada kepastian juga untuk gaji bulanan,
kadang ayah mendapatkannya, kadang juga pulang
dengan tangan kosong.
Saya masih sering terheran-heran,
apa yang membuat ibu percaya untuk menikahi
seorang laki-laki yang
gaji bulanan saja masih dipertanyakan.
Kalau saya bertanya pada ibu seperti itu,
jawabannya adalah karena cinta dan percaya bahwa
beliau tidak salah memilih pendamping hidup, keren!
Satu bulan sebelum resepsi pernikahan,
ayah dan ibu harus menjalani masa pingitan
tidak bisa bertemu dan bertatap muka.
Ibu tak boleh keluar rumah selama satu bulan,
kalau ada keperluan untuk membeli sesuatu,
adik-adiknya lah yang akan keluar rumah dan
membelikan untuknya.
Ayah masih lebih bebas,
beliau boleh keluar kemanapun
asal bukan ke rumah ibu,
buktinya...
selama masa pingitan ayah rajin mengirim surat lewat
kantor pos, yang sebagian suratnya berisi nasehat untuk ibu
supaya sabar dan ikhlas dalam menjalani masa pingitan.
Tak disangka,
dibalik watak keras, tubuh yang tinggi besar,
ayah juga bisa mempunyai inisiatif yang romantis
Karena belum mempunyai pekerjaan tetap,
maka setelah resepsi pernikahan,
ayah mengajak ibu tinggal di rumah nenek.
Setelah dua tahun menjalani kehidupan berumah tangga,
ibu akhirnya mengandung,
dan melahirkan saya 9 bulan kemudian,tepatnya
tanggal 12 november jam 2 siang menjelang sore.
Jadi,
sedari lahir saya tinggal bersama ayah, ibu,
kakek, nenek dan satu kakak sepupu.
Entah karena harga rumah yang belum terjangkau,
atau memang enggan meninggalkan kenyamanan,
ayah tak kunjung membeli rumah sendiri untuk mengajak
keluarga kecilnya pindah.
Saat saya lahir,
kakek sudah pensiun, pekerjaan sehari-harinya adalah
membantu nenek yang menjalankan sebuah usaha cathering makanan.
Dulu,
kakek adalah pedagang beras,
bahkan beliau mempunyai sebuah gudang,
kira-kira sebesar rumah dengan 4 kamar khusus untuk
menyimpan beras.
Meskipun pada akhirnya, gudang tersebut terpaksa harus dijual
untuk membayar hutang dari paman saya,
namun saya masih bisa sesekali menengok gudang bersejarah tersebut.
Seperti anak kecil kebanyakan,
saya suka bermain, suka mencari tahu tentang sesuatu,
meskipun caraku untuk mencari tahu dianggap sebagai kenakalan
oleh orang yang lebih dewasa.
Contohnya...
saya suka memakai sepatu hak tinggi milik nenek,
berjalan mengelilingi rumah,
seolah-olah saya adalah ibu manager yang mondar-mandir untuk
memantau keadaan kantor sekaligus aktivitas anak buah saya.
Uhm,
foundation wajah milik nenek juga salah satu hal,
yang sangat mengusik rasa penasaran saya,
botolnya terbuat dari kaca, lalu warnanya hijau muda,
dan cairan didalamnya berwarna cokelat muda,
mirip warna cappucinno.
Saat iseng,
saya sering masuk ke kamar nenek, duduk di hadapan
meja riasnya, dan mulai mencari-cari,
apa yang dapat dimainkan,
setelah mengamati benda-benda yang ada,
mata saya tertuju pada botol foundation itu,
saya buka botolnya, kemudian secara perlahan saya mencium aromanya,
dan mengeluarkan isinya,
karena takut ketahuan, foundation yang sudah berada di telapak tangan,
saya oleskan pada sarung bantal milik nenek,
selesai perkara!
Setiap kali bermain-main dengan foundation,
setiap kali itu juga ibu memarahi,
bahkan mencubit lengan saya sampai berwarna kebiruan,
tapi saya tak pernah jera, kawan!
botol foundation itu tetap mengundang rasa penasaran.
Hampir setiap hari ibu sibuk membantu nenek,
untuk membuat pesanan makanan, kue, dan lain
sebagainya.
Meskipun ibu tidak bekerja diluar rumah, namun beliau tetap sibuk
setiap harinya.
Saya juga sibuk,
sibuk bermain bersama kakak sepupu yang usianya 10 tahun
lebih tua,
dia sering mengajak bermain masak-masakan di halaman rumah,
dengan batu bata, daun mangga, pasir, dan air untuk melembutkan
adonan tersebut.
Suatu kali seusai bermain adonan pasir,
saya dan kakak masuk ke dalam rumah,
kemudian nenek menyuguhkan sepiring buah
semangka merah yang sudah dipotong-potong,
dan bijinya sudah dibuang.
Spontan, saya mengulurkan tangan kanan untuk
mencicipi potongan semangka yang nampak
sangat menggiurkan itu,
dengan lincah nenek menangkis tangan saya,
dan membentak bahwa buah semangka itu untuk kakak
dan bukan untuk saya.
Hhmmmm, waktu itu saya belum terlalu paham,
mengapa semangka itu hanya untuk kakak?
dan saya tak boleh mengambilnya,
bahkan ketika kakak sudah menyodorkan
piring berisi semangka itu didepan mata.
Nenek langsung mengambil piring tersebut,
dan menyimpannya di tempat yang tidak bisa
saya raih.
Kejadian mengenai semangka itu secara tidak langsung
saya ingat sampai sekarang,
dan jujur saja...
membawa rasa pahit yang bisa saja berdampak tidak baik
untuk masa depan saya.
Bermula dari hal itu,
setiap kali nenek dan kakek mempunyai makanan,
saya tak berani mengambilnya ataupun mencoba memintanya...
ada rasa takut ditolak dan tentu saja...
masih sakit hati sekaligus terheran-heran akibat
beberapa potong semangka merah tanpa biji.
Walaupun di hari-hari berikutnya,
mereka sering menawarkan makanan hanya untuk
sekedar berbasa-basi.
tapi secara otomatis saya menolaknya,
seperti sudah ada rasa penolakan dari dalam.
Nenek orangnya suka bergosip,
hampir setiap hari ada temannya menelfon ke rumah,
kemudian mereka membicarakan tentang kekurangan atau musibah
yang menimpa orang lain.
Tanpa bermaksud untuk mendengarkan,
tapi...suara nenek volumenya sangat keras dan bernada tinggi,
sehingga saya pun tak bisa mendengarkan suara TV,
jadi tak heran,
apapun yang dibicarakan, terdengar oleh siapa saja
yang ada di dalam rumah.
Kegemarannya untuk bergosip,
tidak hanya lewat telfon,
setiap kali selesai ibadah di gereja nenek selalu
pulang terlambat,
karena menyempatkan untuk membahas mengenai keluarga,
kehidupan percintaan, bahkan kehidupan seksual orang lain.
Selain gemar membicarakan kehidupan pribadi orang lain,
ada satu lagi kegemarannya, yaitu berdandan,
bahkan dulu nenek pernah ikut lomba merias wajah
tanpa melihat kaca, dan meraih juara 3.
Sampai usia lanjut nenek masih suka berdandan,
bahkan sampai di tahun ini,
menginjak umurnya yang ke 90 tahun,
tangannya masih lincah mengoleskan foundation,
menyapukan bedak, lipstik, dan pemerah pipi.
Sewaktu kecil,
saat saya akan pentas di acara 17 agustusan, nenek selalu
menawarkan diri untuk meriasi wajah,
namun saya tak pernah mau.
Dulu,
saya tak bisa menjelaskan mengapa tak pernah mau
setiap kali nenek dan kakek menawarkan makanan atau
bantuan.
Berbeda dengan kini, setelah dewasa...
kurang lebih saya tahu bahwa
ada kepahitan di dalam hati
yang membuat saya sangat menjaga jarak dengan mereka,
terutama nenek.
Cucu kesayangannya adalah kakak sepupu saya,
anak dari kakak tertua ayah,
nenek menganggapnya seperti anaknya sendiri,
apapun akan diberikan untuknya,
hhmmm menerima perlakuan yang dibedakan sejak kecil
itu sangat sesuatu.
Kira-kira saat saya duduk di kelas 4 SD,
hampir setiap hari nenek bertengkar dengan kakek,
berteriak, melotot, dan membanting barang-barang,
tak jarang juga nenek menangis.
Itu semua,
karena nenek menangkap basah
perselingkuhan kakek dengan seorang wanita muda,
yang dilakukan di hotel.
Saya tak betah berada di rumah,
kalau mereka bertengkar suasananya panas, penuh teriakan,
penuh kalimat-kalimat menjatuhkan, saling menuduh dan menyalahkan,
tapi anehnya...
dalam lubuk hati, saya merasa senang,
sepertinya kakek turut membalaskan luka hati
saya yang terpendam sejak kecil.
Bertahun-tahun setelah itu,
keadaan masih sama, nenek masih mengungkit-ungkit
masalah yang sama,
meskipun kakek sudah tak pernah pergi ke hotel lagi.
Oh ya,
salah satu hal lagi yang tidak wajar dari nenek adalah,
dia tak pernah tersenyum,
sekalipun ada lelucon yang menyentuh rasa humornya,
dia hanya tersenyum tipis, bukan tertawa terbahak-bahak,
bahkan di ysianya yang sudah 90 tahun,
nenek masih sangat jarang tersenyum.
Entahlah,
mungkin nenek juga menyimpan kepahitan yang
sangat dalam,
sampai-sampai perilaku dan kata-katanya
mengeluarkan dan mengakibatkan kepahitan juga.
Menerima perlakuan yang seperti itu,
dari hari demi hari,
bulan demi bulan,
tahun demi tahun...
menjadikan saya tak pernah mau dekat dengan nenek,
walaupun kami tinggal satu atap,
dan sialnya atap itu adalah miliknya bukan milik ayah.
Syukurlah sejak SMU,
saya sudah pergi dari situ, tinggal diluar kota
untuk menuntut ilmu,
ya paling tidak saya tak harus bertemu dengannya,
beradu pendapat, rebutan channel TV,
saya sering bertanya dalam hati,
apa nenek saya adalah titisan dari nenek lampir?
yang suka mengintimidasi, mengancam anak kecil.
Semakin saya bertumbuh dewasa,
kepekaan yang ada di dalam hati juga semakin berkembang.
Sedikit demi sedikit,
saya sadar penuh dan berani mengambil kesimpulan,
bahwa nenek mengasihi cucu-cucunya,
terlebih lagi kakak sepupu saya.
Menerima dengan ikhlas,
sebuah kenyataan yang mana,
saya mendapatkan porsi kasih sayang yang lebih sedikit,
itu sangat menyakitkan,
dan butuh waktu lama untuk berdamai dengan diri sendiri
yang merasa terintimidasi, serta tak dikasihi.
Sembari menuliskan cerita ini,
sembari saya mengingat-ingat, apa saja yang turut
membentuk karakter yang saya miliki
hingga kini.
Kalau melihat,
seorang wanita tua, yang usianya 90 tahun,
badannya pendek, kulitnya sudah mengeriput di seluruh bagian,
langkah kakinya sudah tak selincah sewaktu muda dulu,
rasanya sedih juga.
Disaat saya mencoba untuk menerima dan mengampuni
perlakuannya di masa lalu,
disaat itu juga saya diuji,
dengan kebawelannya, kecerewetannya,
tanya ini, tanya itu, yang mana saya merasa
pertanyaan yang dilontarkan itu bersifat mengintimidasi.
Untunglah,
saya tak terlalu sering pulang ke rumah,
dengan begitu,
saya tak terlalu sering bertemu muka dengan wanita
yang telah membesarkan ayah.
Kini,
saya selalu ingat membelikannya satu atau dua potong
cake cokelat,
itu merupakan makanan kesukaannya.
Mungkin ada dari anda yang pernah atau sedang
mengalami hal yang sama,
dibedakan, disisihkan, diperlakukan tak adil,
dan lain sebagainya.
Kabar buruknya adalah,
hal itu memang sangat bisa membawa dampak buruk
bagi masa depan,
karena kepahitan yang dialami itu mengakar kuat,
dab bertumbuh pesat.
Namun...kabar baiknya adalah,
pribadi yang mengalami bisa menyembuhkan
diri masing-masing,
Menyembuhkan, atau melakukan sendiri
proses penyembuhan luka batin,
bisa dengan berbagai macam cara,
salah duanya adalah dengan,
mendekatkan diri pada Sang Pencipta, dan mau mengampuni.
Saya kira,
tak ada yang setuju bahwa kedua hal tersebut
bisa dilakukan dengan mudah,
tapi bukan berarti mustahil untuk dilakukan.
Kalau saya dan anda,
melangkah pada satu tujuan yaitu menyembuhkan
luka batin tersebut,
dan berkeinginan kuat untuk sembuh,
saya rasa alam pun pasti turut membantu.
Luka tersebut bila dibiarkan akan menggerogoti
sukacita dan semangat,
sangat disayangkan,
karena manusia pada hakekatnya diciptakan,
dan diperlengkapi dengan akal budi
untuk tujuan yang baik juga mulia.
Melakukan tujuan baik, menjadi berguna bagi sesama,
takkan bisa dilakukan dengan maksimal,
tanpa menyembuhkan luka batin terlebih dahulu.
Yang bisa mendeteksi,
luka tersebut sudah sembuh total atau masih setengah kering,
adalah pribadi masing-masing
yang mengalaminya.
Bila saya dan anda sudah berhasil
memulihkan keadaan diri sendiri,
itulah saat yang tepat untuk berbagi banyak hal baik
pada sesama.
Karena sudah terbebas,
maka kita juga bisa membebaskan.
Hidup cuma sekali,
persediaan nyawa kita juga cuma satu,
mari bahu membahu menjadikan hidup kita,
dan hidup sesama menjadi lebih baik lagi,
saya bisa, dan saya yakin anda juga :)
Wednesday, May 7, 2014
Sama dan saling cinta
Hari ini sepertinya adalah waktu yang pas
untuk bepergian,
cerah dan sekaligus hari libur...
saya dan Mr.PM memutuskan untuk
mencoba pergi ke Semarang.
Perjalanan ke Semarang hanya memakan waktu
kurang lebih satu jam dari Salatiga,
karena saya menggunakan sepeda motor, jadi bisa
melaju lebih cepat dan menerobos kemacetan.
Saya bersama Mr.PM tetap bersemangat melanjutkan
perjalanan,
walaupun hari itu panas matahari begitu menyengat
diatas kepala.
Sepanjang perjalanan saya mengamati sisi kanan dan kiri,
banyak kendaraan besar yang menjadi rekan seperjalanan,
bus kota, sampai truk pengangkut barang yang ukuran besarnya
melebihi rumah kontrakan,
yang asap knalpotnya sangat memicu timbulnya
polusi udara.
Sesampainya di Semarang, saya membuka kaca helm
yang selama perjalanan tadi terpaksa ditutup
untuk meminimalisir asap yang masuk,
ah...saya suka aroma yang keluar dari kota ini,
perpaduan antara panas menyengat, aspal, dan
bau pusat-pusat perbelanjaan,
saya menyebutnya dengan aroma kota besar.
Tujuan pertama kami adalah paragon mall,
yang memakan waktu 30 menit dari pinggir sampai
ke tengah kota,
semestinya bisa lebih cepat namun karena...
hari itu adalah tanggal 4 mei 2014 masih digelar
perayaan besar-besaran dalam rangka ulang tahun
kota Semarang sehingga jalanan menjadi macet.
Jadi kami harus bersabar dan lebih berhati-hati untuk mengemudi,
hingga sampai di tempat tujuan.
Setelah beres dengan urusan parkir,
saya dan Mr.PM bergandengan tangan memasuki mall 5 lantai
tersebut,
ah angin panas khas kota Semarang menyambut kami berdua,
semilir namun udara yang berhembus panas seperti
hembusan asap dari nasi putih yang baru matang.
Begitu masuk,
yang saya lihat hanyalah lautan manusia yang sibuk berbelanja,
dengan teman, pasangan, keluarga,
dan memang saya akui minggu ini mall lebih ramai dibandingkan
hari-hari biasa.
Mungkin,
ini karena efek ulang tahun kota Semarang, atau karena
masih tanggal muda dan akhir pekan,
dirasa waktu yang pas untuk pergi berbelanja,
dan makan mewah :)
Tanpa berpikir panjang,
saya dan Mr.PM langsung naik ekskalator ke lantai 4,
dan mengurus keperluan untuk
tiket nonton bioskop elektrik,
yang bisa dipesan lewat handphone, sangat memudahkan,
namun harus melakukan registrasi terlebih dahulu.
Ah, tempat nonton bioskop ini memberi kenyamanan lebih,
lantainya beralaskan karpet lembut warna cokelat,
begitu masuk area ini...bau harum pewangi ruangan sangat
semerbak, dan dijuga suhu pendingin ruangan
yang membuat betah berlama-lama berada disini.
Belum selesai mengurus registrasi ulang,
dari kejauhan....ada seseorang yang sangat ku kenal...
datang dengan senyum yang mengembang....
Dan pemilik senyuman itu adalah Tobby,
saya sudah mengenalnya 6 tahun terakhir,
kami dekat layaknya kakak perempuan dan adiknya.
Dia menyambut saya dan Mr.PM dengan sangat
antusias,
seolah-olah kedatangan saya sudah lama dinanti-nantikan.
Hari itu Tobby memakai kaos berwarna hitam, dihiasi
gambar tengkorang di bagian depan,
lalu memakai celana warna hijau toska,
dengan rambut berwarna-warni dia melangkah penuh
percaya diri,
walaupun secara terang-terangan ada beberapa orang
yang melempar pandangan ke arahnya.
Saya sudah tak heran dengan gaya berpakaian dan gaya rambutnya,
karena memang..
Tobby suka bereksperimen dengan kedua hal diatas,
ditambah lagi dengan tinggi dan berat badan ideal,
dia semakin sedap dipandang bagi para wanita maupun pria.
Sebagai anak terakhir dari 5 bersaudara,
bisa dibilang Tobby sangat mandiri,
dia bekerja di salah satu koperasi di Semarang.
Tugas kesehariannya adalah
berkeliling dari pintu ke pintu untuk menawarkan produk
seperti tabungan, pinjaman
dengan sepeda motor milik kantor.
Panas dan hujan, dia terobos demi meraih sesuatu yang lebih,
karena dengan gaya hidip yang konsumerisme,
Tobby mau tak mau harus bekerja keras,
demi memuaskan dirinya sendiri,
dan juga membantu keluarganya.
Sejak kuliah,
prestasi Tobby memang diakui bagus,
dia lulus tepat waktu dengan nilai yang bagus.
Tak butuh waktu lama untuk mencari kerja,
maka...sejak diterima kerja di Semarang,
dia memilih untuk meninggalkan kota kecil seperti Salatiga,
dan mencoba peruntungan di kota yang lebih besar.
Dengan etos kerja yang dimilikinya,
Tobby bisa bertahan hidup,
walaupun sempat berpindah-pindah tempat kerja.
Keadaan mall paragon yang penuh sesak,
seakan mengharuskan kami mencari tempat untuk dudik dan berbincang.
Sembari menunggu jam makan siang,
kami bertiga menikmati minuman dingin di sebuah kedai kecil,
di lantai dasar mall paragon,
kami duduk dan menikmati pemandangan sekitar,
toko-toko yang dipadati orang-orang memilih barang,
entah pada akhirnya dibeli atau tidak,
yang jelas hari itu mall sangat penuh kecuali toko buku.
Akhirnya, Tobby mengusulkan untuk pergi ke mall lainnya,
siapa tahu tak sepadat ini,
dan bisa berjalan-jalan.
Sekali lagi kami harus menghadapi panasnya sinar matahari
siang itu,
dari mall paragon menuju mall citraland hanya membutuhkan
waktu 20 menit,
karena kami naik motor jadi bisa melewati gang-gang tikus yang dipenuhi
oleh rumah penduduk.
Akhirnya,
sampailah kami di tempat yang dituju...
Mall ciputra jauh lebih besar dibandingkan dengan
mall paragon,
namun disini tak memiliki pendingin ruangan yang cukup memadai,
udara di dalam mall terasa panas.
Secara tak sengaja kami juga bertemu Robby dan keluarganya,
sedang berdiri di suatu sudut pusat perbelanjaan ini.
Bisa dibilang,
Robby adalah teman terdekat Tobby selama
2 tahun terakhir ini.
Berbeda dengan Tobby,
Robby memiliki postur tubuh yang lebih pendek, lebih gemuk,
dan warna kulitnya lebih gelap.
Caranya berbicara sangat lemah gemulai,
rambutnya berwarna merah keunguan,
matanya memakai kotak lensa berwarna biru muda.
Robby bekerja di sebuah toko besi,
yang mana pekerjaannya adalah
berkeliling dari pintu ke pintu untuk mendapatkan
proyek.
Robby asli dari Semarang, namun dia memilih tinggal
bersama Tobby di sebuah rumah kost,
di perumahan Semarang Indah.
Dulu,
saat pertama kali Tobby mengenalkan Robby pada saya,
keduanya tidak malu-malu,
mereka tak segan menunjukkan keakraban di depan saya.
Seperti Tobby,
demikian Robby juga memberi perhatian kepada saya
layaknya kepada saudara perempuannya.
Dimana ada Tobby disitu juga ada Robby,
hampir di setiap kesempatan mereka habiskan berdua,
bahkan kedua keluarga masing-masing juga
sudah bertemu dan berkenalan.
Saya melihat Robby begitu perhatian pada Tobby,
apa yang menjadi keperluan dan keinginan
Tobby selaku diutamakan.
Tak heran,
kebersamaan mereka sering dipandang aneh oleh beberapa orang.
Dua pria tampan, berpakaian rapi,
kemana-mana selalu bersama,
yang satu pendiam,
yang satu lagi lebih cerewet, ceria, dan melambai.
Saat berhadapan dengan mereka berdua,
saya tahu mereka punya ikatan yang
tanpa bertanya pun saya tahu jawabannya.
Mungkin alasan kuat mengapa mereka nyaman
bersahabat dengan saya,
adalah...saya tak pernah bertanya,
namun memberikan kebebasan pada mereka yang menceritakannya.
Dari situ,
Tobby lebih banyak bercerita sekaligus minta nasehat,
tentang keluarga, pekerjaan dan Robby.
Tentu saja nama yang saya pakai adalah nama samaran,
tapi tidak dengan kisahnya...
kisahnya nyata, dan mungkin ada dari anda yang mengalaminya juga.
Saya menganggap ini bukan hal yang menakutkan
dan perlu dihindari,
selama tak memberi pengaruh buruk bagi diri kita sendiri.
Kisah seperti Tobby dan Robby,
adalah satu dari berjuta kisah yang ada di dunia,
kisah tentang cinta, untuk siapapun yang menjalaninya,
cinta tak pandang bulu,
justru manusialah yang membedakannya.
Walaupun sebenarnya dari dulu banyak
yang bertanya,
siapa Tobby bagi Robby atau sebaliknya.
Mereka juga sama seperti kita,
manusia dengan 2 tangan, 2 kaki, 2 mata.
Saya berpikir,
cinta itu seperti keyakinan dalam hati,
dan itu hanya pribadi bersangkutan yang memahami.
Saya dan anda akan sangat sulit untuk bisa mengerti,
atau bahkan tak bisa sama sekali,
karena tempatnya di dalam hati.
Setiap pribadi memiliki
keyakinan,
yang menjadi dasar perbuatan juga perkatannya.
Sama atau beda,
namanya tetap cinta,
suka atau tidak mereka tetap memilih untuk bersama.
Saya yakin tak ada yang suka bila
harus meyakini sesuatu dengan terpaksa,
semoga kita memilih keyakinan tersebut dengan sadar,
apapun pilihannya...
pilih dengan bahagia, agar dunia tetap penuh dengan cinta.
untuk bepergian,
cerah dan sekaligus hari libur...
saya dan Mr.PM memutuskan untuk
mencoba pergi ke Semarang.
Perjalanan ke Semarang hanya memakan waktu
kurang lebih satu jam dari Salatiga,
karena saya menggunakan sepeda motor, jadi bisa
melaju lebih cepat dan menerobos kemacetan.
Saya bersama Mr.PM tetap bersemangat melanjutkan
perjalanan,
walaupun hari itu panas matahari begitu menyengat
diatas kepala.
Sepanjang perjalanan saya mengamati sisi kanan dan kiri,
banyak kendaraan besar yang menjadi rekan seperjalanan,
bus kota, sampai truk pengangkut barang yang ukuran besarnya
melebihi rumah kontrakan,
yang asap knalpotnya sangat memicu timbulnya
polusi udara.
Sesampainya di Semarang, saya membuka kaca helm
yang selama perjalanan tadi terpaksa ditutup
untuk meminimalisir asap yang masuk,
ah...saya suka aroma yang keluar dari kota ini,
perpaduan antara panas menyengat, aspal, dan
bau pusat-pusat perbelanjaan,
saya menyebutnya dengan aroma kota besar.
Tujuan pertama kami adalah paragon mall,
yang memakan waktu 30 menit dari pinggir sampai
ke tengah kota,
semestinya bisa lebih cepat namun karena...
hari itu adalah tanggal 4 mei 2014 masih digelar
perayaan besar-besaran dalam rangka ulang tahun
kota Semarang sehingga jalanan menjadi macet.
Jadi kami harus bersabar dan lebih berhati-hati untuk mengemudi,
hingga sampai di tempat tujuan.
Setelah beres dengan urusan parkir,
saya dan Mr.PM bergandengan tangan memasuki mall 5 lantai
tersebut,
ah angin panas khas kota Semarang menyambut kami berdua,
semilir namun udara yang berhembus panas seperti
hembusan asap dari nasi putih yang baru matang.
Begitu masuk,
yang saya lihat hanyalah lautan manusia yang sibuk berbelanja,
dengan teman, pasangan, keluarga,
dan memang saya akui minggu ini mall lebih ramai dibandingkan
hari-hari biasa.
Mungkin,
ini karena efek ulang tahun kota Semarang, atau karena
masih tanggal muda dan akhir pekan,
dirasa waktu yang pas untuk pergi berbelanja,
dan makan mewah :)
Tanpa berpikir panjang,
saya dan Mr.PM langsung naik ekskalator ke lantai 4,
dan mengurus keperluan untuk
tiket nonton bioskop elektrik,
yang bisa dipesan lewat handphone, sangat memudahkan,
namun harus melakukan registrasi terlebih dahulu.
Ah, tempat nonton bioskop ini memberi kenyamanan lebih,
lantainya beralaskan karpet lembut warna cokelat,
begitu masuk area ini...bau harum pewangi ruangan sangat
semerbak, dan dijuga suhu pendingin ruangan
yang membuat betah berlama-lama berada disini.
Belum selesai mengurus registrasi ulang,
dari kejauhan....ada seseorang yang sangat ku kenal...
datang dengan senyum yang mengembang....
Dan pemilik senyuman itu adalah Tobby,
saya sudah mengenalnya 6 tahun terakhir,
kami dekat layaknya kakak perempuan dan adiknya.
Dia menyambut saya dan Mr.PM dengan sangat
antusias,
seolah-olah kedatangan saya sudah lama dinanti-nantikan.
Hari itu Tobby memakai kaos berwarna hitam, dihiasi
gambar tengkorang di bagian depan,
lalu memakai celana warna hijau toska,
dengan rambut berwarna-warni dia melangkah penuh
percaya diri,
walaupun secara terang-terangan ada beberapa orang
yang melempar pandangan ke arahnya.
Saya sudah tak heran dengan gaya berpakaian dan gaya rambutnya,
karena memang..
Tobby suka bereksperimen dengan kedua hal diatas,
ditambah lagi dengan tinggi dan berat badan ideal,
dia semakin sedap dipandang bagi para wanita maupun pria.
Sebagai anak terakhir dari 5 bersaudara,
bisa dibilang Tobby sangat mandiri,
dia bekerja di salah satu koperasi di Semarang.
Tugas kesehariannya adalah
berkeliling dari pintu ke pintu untuk menawarkan produk
seperti tabungan, pinjaman
dengan sepeda motor milik kantor.
Panas dan hujan, dia terobos demi meraih sesuatu yang lebih,
karena dengan gaya hidip yang konsumerisme,
Tobby mau tak mau harus bekerja keras,
demi memuaskan dirinya sendiri,
dan juga membantu keluarganya.
Sejak kuliah,
prestasi Tobby memang diakui bagus,
dia lulus tepat waktu dengan nilai yang bagus.
Tak butuh waktu lama untuk mencari kerja,
maka...sejak diterima kerja di Semarang,
dia memilih untuk meninggalkan kota kecil seperti Salatiga,
dan mencoba peruntungan di kota yang lebih besar.
Dengan etos kerja yang dimilikinya,
Tobby bisa bertahan hidup,
walaupun sempat berpindah-pindah tempat kerja.
Keadaan mall paragon yang penuh sesak,
seakan mengharuskan kami mencari tempat untuk dudik dan berbincang.
Sembari menunggu jam makan siang,
kami bertiga menikmati minuman dingin di sebuah kedai kecil,
di lantai dasar mall paragon,
kami duduk dan menikmati pemandangan sekitar,
toko-toko yang dipadati orang-orang memilih barang,
entah pada akhirnya dibeli atau tidak,
yang jelas hari itu mall sangat penuh kecuali toko buku.
Akhirnya, Tobby mengusulkan untuk pergi ke mall lainnya,
siapa tahu tak sepadat ini,
dan bisa berjalan-jalan.
Sekali lagi kami harus menghadapi panasnya sinar matahari
siang itu,
dari mall paragon menuju mall citraland hanya membutuhkan
waktu 20 menit,
karena kami naik motor jadi bisa melewati gang-gang tikus yang dipenuhi
oleh rumah penduduk.
Akhirnya,
sampailah kami di tempat yang dituju...
Mall ciputra jauh lebih besar dibandingkan dengan
mall paragon,
namun disini tak memiliki pendingin ruangan yang cukup memadai,
udara di dalam mall terasa panas.
Secara tak sengaja kami juga bertemu Robby dan keluarganya,
sedang berdiri di suatu sudut pusat perbelanjaan ini.
Bisa dibilang,
Robby adalah teman terdekat Tobby selama
2 tahun terakhir ini.
Berbeda dengan Tobby,
Robby memiliki postur tubuh yang lebih pendek, lebih gemuk,
dan warna kulitnya lebih gelap.
Caranya berbicara sangat lemah gemulai,
rambutnya berwarna merah keunguan,
matanya memakai kotak lensa berwarna biru muda.
Robby bekerja di sebuah toko besi,
yang mana pekerjaannya adalah
berkeliling dari pintu ke pintu untuk mendapatkan
proyek.
Robby asli dari Semarang, namun dia memilih tinggal
bersama Tobby di sebuah rumah kost,
di perumahan Semarang Indah.
Dulu,
saat pertama kali Tobby mengenalkan Robby pada saya,
keduanya tidak malu-malu,
mereka tak segan menunjukkan keakraban di depan saya.
Seperti Tobby,
demikian Robby juga memberi perhatian kepada saya
layaknya kepada saudara perempuannya.
Dimana ada Tobby disitu juga ada Robby,
hampir di setiap kesempatan mereka habiskan berdua,
bahkan kedua keluarga masing-masing juga
sudah bertemu dan berkenalan.
Saya melihat Robby begitu perhatian pada Tobby,
apa yang menjadi keperluan dan keinginan
Tobby selaku diutamakan.
Tak heran,
kebersamaan mereka sering dipandang aneh oleh beberapa orang.
Dua pria tampan, berpakaian rapi,
kemana-mana selalu bersama,
yang satu pendiam,
yang satu lagi lebih cerewet, ceria, dan melambai.
Saat berhadapan dengan mereka berdua,
saya tahu mereka punya ikatan yang
tanpa bertanya pun saya tahu jawabannya.
Mungkin alasan kuat mengapa mereka nyaman
bersahabat dengan saya,
adalah...saya tak pernah bertanya,
namun memberikan kebebasan pada mereka yang menceritakannya.
Dari situ,
Tobby lebih banyak bercerita sekaligus minta nasehat,
tentang keluarga, pekerjaan dan Robby.
Tentu saja nama yang saya pakai adalah nama samaran,
tapi tidak dengan kisahnya...
kisahnya nyata, dan mungkin ada dari anda yang mengalaminya juga.
Saya menganggap ini bukan hal yang menakutkan
dan perlu dihindari,
selama tak memberi pengaruh buruk bagi diri kita sendiri.
Kisah seperti Tobby dan Robby,
adalah satu dari berjuta kisah yang ada di dunia,
kisah tentang cinta, untuk siapapun yang menjalaninya,
cinta tak pandang bulu,
justru manusialah yang membedakannya.
Walaupun sebenarnya dari dulu banyak
yang bertanya,
siapa Tobby bagi Robby atau sebaliknya.
Mereka juga sama seperti kita,
manusia dengan 2 tangan, 2 kaki, 2 mata.
Saya berpikir,
cinta itu seperti keyakinan dalam hati,
dan itu hanya pribadi bersangkutan yang memahami.
Saya dan anda akan sangat sulit untuk bisa mengerti,
atau bahkan tak bisa sama sekali,
karena tempatnya di dalam hati.
Setiap pribadi memiliki
keyakinan,
yang menjadi dasar perbuatan juga perkatannya.
Sama atau beda,
namanya tetap cinta,
suka atau tidak mereka tetap memilih untuk bersama.
Saya yakin tak ada yang suka bila
harus meyakini sesuatu dengan terpaksa,
semoga kita memilih keyakinan tersebut dengan sadar,
apapun pilihannya...
pilih dengan bahagia, agar dunia tetap penuh dengan cinta.
Friday, May 2, 2014
Saya suka membaca
Suara sepeda motor honda grand astrea tahun 1900 an itu
sudah tak asing lagi di telinga...
begitu memasuki halaman rumah,
saya langsung bisa menebak....siapa pengemudinya dan
untuk apa dia datang kesini.
Pak Topo nama pengemudi motor tersebut,
yang setia setiap minggu mengantarkan majalah bobo,
dan mentari...saya
selalu menyambut kedatangannya dengan riang gembira.
Dua majalah baru sekaligus datang,
yay!
segera saya robek pembungkus plastiknya...
dibolak-balik halaman yang penuh dengan warna-warni,
menarik sekaligus membuat saya...
terkagum-kagum.
Apalagi kalau dua majalah tersebut sedang dilengkapi bonus,
entah itu pencil, penggaris, pembatas buku, atau mainan,
semakin tak sabar rasanya...
membuka plastik pembungkus,
dan mencari tahu apa saja yang ada di dalamnya.
Sebenarnya ide untuk berlangganan majalah,
datang dari ibu...
mungkin beliau mau anaknya dapat asupan pengetahuan
yang positif dan berguna.
Saya menyambut ide tersebut dengan semangat,
pasti menyenangkan berlangganan majalah,
bisa melihat gambar-gambar menarik lainnya,
selain di televisi.
Ah jadi aku bisa cerita dengan teman-teman yang lain,
tentang majalah-majalah yang aku punya...
menarik bukan?!
Uhm..tokoh-tokoh yang melekat di pikiran sampai sekarang,
yaitu para tokoh dari negeri dongeng,
ada okky, nirmala, ratu,
okky yang bajunya berwarna hijau rumput,
dia jahil, dan rasa penasarannya sangat tinggi,
seringkali dia melakukan kenakalan yang membuatnya
kakaknya jengkel.
Nirmala....adalah sosok putri cantik, memakai gaun panjang
berwarna pink, rambutnya kuning dan memakai bandana melingkar
di kepalanya,
dia digambarkan sebagai sosok yang baik hati, suka menolong,
dan mempunyai ilmu sihir yang digunakan
untuk menolong orang lain.
Ah, betapa menyenangkan ternyata aku masih ingat sebagian
kecil cerita tersebut.
Tokoh lain yang masih bisa saya ingat,
adalah bobo sekeluarga,
bapak, emak, bobo, coren, upik, dan mereka punya
satu bibi bernama bibi tutup pintu,
dulu cerita-cerita seperti itu sangat menarik untuk saya.
Belum lagi gambarnya yang full colour,
membuat betah berlama-lama membacanya.
Dalam satu majalah anak-anak,
sebenarnya tidak hanya cerita saja yang disuguhkan,
ada juga pengetahuan alam, sosial,
lalu teka-teki silang, dan lain sebagainya,
namun saya cenderung...
hanya tertarik membaca cergam a.k.a cerita bergambar,
dan melihat-lihat gambar-gambar menarik lainnya,
tanpa mau membaca keterangannya,
keterangan gambarnya disusun dalam kalimat
yang panjang,
saya terlalu malas untuk membacanya,
gambarnya saja sudah bisa dinikmati, buat apa susah payah
membaca keterangannya juga.
Itulah masa lalu dengan majalah anak-anak di masa kecil,
waktu berlalu...
dan saya beranjak dewasa..
Masa remaja adalah masa dimana kita sadar akan
kehadiran dan pesona dari lawan jenis,
alias umurnya untuk mengidolakan dan naksir.
Pada masa itu saya sedang mengidolakan satu vocal group barat, dan satu
vocal group asia.
Kemunculan mereka di televisi mutlak harus ditonton,
dan volume TV harus dimaksimalkan.
Hampir setiap pulang sekolah,
saya bersama teman mampir ke sebuah kios majalah,
untuk membeli majalah, koran yang membahas
tentang group idola.
Tak peduli berapa uang yang ada di saku seragam sekolah,
pokoknya saya harus beli segala sesuatu
yang berhubungan dengan mereka-mereka itu,
sekelompok pria bule dan asia yang tampannya super!
Tak perlu pikir panjang, kalau uang saku habis tinggal minta saja
ke ibu...
beres kan masalahnya.
Mulai dari majalah, koran, khusus saya beli,
hanya demi memuaskan mata,
cerita atau keterangan gambar tak penting,
yang penting gambarnya, posternya, dan bonus-bonus yang
ada dalam majalah itu.
Wah, tanpa saya sadari...begitu lulus SMU...
begitu banyak majalah dan koran yang menumpuk,
berdebu, bahkan ada beberapa gambarnya yang sudah rusak.
Waktu di bangku kuliah,
saya habiskan dengan mencoba berhura-hura,
berbelanja dan sering pergi keluar kota.
Sehingga kamar kost mirip gudang penyimpanan,
akibat dari...sering membeli barang yang tidak penting.
Sekitar tahun 2008 saya mulai lagi membeli buku dan membaca,
judul bukunya adalah chicken soup,
ada beberapa edisi dan aku cukup tertarik pada buku itu.
Pada cover depan buku selalu ditulis,
beberapa kisah yang membangkitkan semangat,
and bla bla bla,
jadi buku-buku chicken soup berisi tentang pengalaman
orang lain, bagaimana mereka hidup, menghadapi masalah,
bangkit dari keterpurukan,
dan ditambah dengan kalimat-kalimat motivasi yang
ada disana.
Lama-kelamaan jadi bosan dengan buku tersebut,
uhm..rasanya...
saya membutuhkan sesuatu yang lebih...
lebih dari sekedar pengalaman orang lain, lebih dari sekedar
kalimat-kalimat penghiburan.
Saya mulai melirik buku-buku lain....
misalnya saja tentang petualangan seseorang,
pergi ke suatu negara, suatu museum, suatu restoran,
ternyata yang seperti itu juga sangat menyenangkan
untuk dibaca.
Sejak dulu memang saya suka pelajaran
IPS dan geografi,
namun entah karena cara guru menerangkan tidak bagus,
atau saya yang terlalu malas untuk mencari tahu lebih,
yang jelas pengetahuan tentang pulau-pulau itu sangat minim.
Padahal sama-sama pulau Jawa,
namun saya tak mengerti dengan detail,
dan (dulu) malas untuk belajar,
masa bodoh dengan itu semua! yang penting saya tinggal
di suatu tempat yang nyaman, dan suatu hari nanti saya akan
tinggal di kota besar, yang ada banyak mall.
Tentang daerah dimana saya berasal, tinggal, ada apa saja disana,
apa ada peninggalan sejarah, apa hasil buahnya,
makanan lokal, tempat-tempat yang bisa dikunjungi,
saya tak tahu karena tak ada keinginan untuk mencari tahu.
Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang....
yang mana...
Buku-buku motivasi, petualangan, novel percintaan,
pembunuhan, kisah nyata, sejarah politik,
rohani, saya lahap semuanya.
Menemukan kecintaan terhadap membaca itu seperti
bertemu seseorang yang tak disangka-sangka,
dari sifat yang malas mencari tahu, malas membaca dan tidak kritis,
saya menjadi begitu haus dengan pengetahuan.
Memang banyak hal yang bisa didapatkan dari sekolah,
tapi itu sangatlah dangkal,
seperti misalnya belajar tentang 5 gunung tertinggi di Indonesia,
terletak dimana saja? lalu seperti apa daerah yang terletak
di kaki gunungnya? lalu masih aktif atau sudah dinyatakan
non aktif? apa sudah pernah ada yang mencapai puncaknya?
saya merasa guru-guru juga tak sedemikian detail belajar dan
mencari tahu,
sialnya kita mendapat guru yang semacam itu.
Nah, menurut saya....
membaca adalah guru yang hebat,
memperkenalkan hal baru, menguak fakta,
dan merekam lewat tulisan hal atau moment yang pernah terjadi.
Membaca akan memperkenalkan hal baru tentang sesuatu,
kalau masih ingin tahu lebih, kita tinggal membeli buku
yang berkaitan dengan hal itu.
Menguak fakta tentang sesuatu,
yang mungkin informasinya kurang lengkap disampaikan
oleh reporter televisi atau media cetak,
bisa kita dapatkan versi lengkapnya pada buku.
Membaca tidak bisa dipaksa atau hanya ikut-ikutan trend belaka,
kemauan untuk membaca akan timbul dari dalam hati,
dan...
kalau memang ditakdirkan sebagai pembaca...kita akan selalu rindu
mendapat pengetahuan baru.
Orang yang suka membaca disebut pembaca,
tipe pembaca ada banyak,
kalau saya adalah tipe pembaca kritis, yang selalu
ingin tahu lebih tentang hal-hal yang membuat penasaran.
Dengan membaca kita bisa tahu lebih banyak,
dan tidak sekedar menebak-nebak, membahas, menulis,
sesuatu yang tidak benar,
pantas saja ada pepatah bilang...
bahwa buku ada jendela dunia.
Karena dengan membaca saya dibawa terbang jauh,
ditempat yang tak pernah terduga,
dan membawa kembali pulang pencerahan yang
menerangi hati dan jiwa.
Selamat membaca :)
sudah tak asing lagi di telinga...
begitu memasuki halaman rumah,
saya langsung bisa menebak....siapa pengemudinya dan
untuk apa dia datang kesini.
Pak Topo nama pengemudi motor tersebut,
yang setia setiap minggu mengantarkan majalah bobo,
dan mentari...saya
selalu menyambut kedatangannya dengan riang gembira.
Dua majalah baru sekaligus datang,
yay!
segera saya robek pembungkus plastiknya...
dibolak-balik halaman yang penuh dengan warna-warni,
menarik sekaligus membuat saya...
terkagum-kagum.
Apalagi kalau dua majalah tersebut sedang dilengkapi bonus,
entah itu pencil, penggaris, pembatas buku, atau mainan,
semakin tak sabar rasanya...
membuka plastik pembungkus,
dan mencari tahu apa saja yang ada di dalamnya.
Sebenarnya ide untuk berlangganan majalah,
datang dari ibu...
mungkin beliau mau anaknya dapat asupan pengetahuan
yang positif dan berguna.
Saya menyambut ide tersebut dengan semangat,
pasti menyenangkan berlangganan majalah,
bisa melihat gambar-gambar menarik lainnya,
selain di televisi.
Ah jadi aku bisa cerita dengan teman-teman yang lain,
tentang majalah-majalah yang aku punya...
menarik bukan?!
Uhm..tokoh-tokoh yang melekat di pikiran sampai sekarang,
yaitu para tokoh dari negeri dongeng,
ada okky, nirmala, ratu,
okky yang bajunya berwarna hijau rumput,
dia jahil, dan rasa penasarannya sangat tinggi,
seringkali dia melakukan kenakalan yang membuatnya
kakaknya jengkel.
Nirmala....adalah sosok putri cantik, memakai gaun panjang
berwarna pink, rambutnya kuning dan memakai bandana melingkar
di kepalanya,
dia digambarkan sebagai sosok yang baik hati, suka menolong,
dan mempunyai ilmu sihir yang digunakan
untuk menolong orang lain.
Ah, betapa menyenangkan ternyata aku masih ingat sebagian
kecil cerita tersebut.
Tokoh lain yang masih bisa saya ingat,
adalah bobo sekeluarga,
bapak, emak, bobo, coren, upik, dan mereka punya
satu bibi bernama bibi tutup pintu,
dulu cerita-cerita seperti itu sangat menarik untuk saya.
Belum lagi gambarnya yang full colour,
membuat betah berlama-lama membacanya.
Dalam satu majalah anak-anak,
sebenarnya tidak hanya cerita saja yang disuguhkan,
ada juga pengetahuan alam, sosial,
lalu teka-teki silang, dan lain sebagainya,
namun saya cenderung...
hanya tertarik membaca cergam a.k.a cerita bergambar,
dan melihat-lihat gambar-gambar menarik lainnya,
tanpa mau membaca keterangannya,
keterangan gambarnya disusun dalam kalimat
yang panjang,
saya terlalu malas untuk membacanya,
gambarnya saja sudah bisa dinikmati, buat apa susah payah
membaca keterangannya juga.
Itulah masa lalu dengan majalah anak-anak di masa kecil,
waktu berlalu...
dan saya beranjak dewasa..
Masa remaja adalah masa dimana kita sadar akan
kehadiran dan pesona dari lawan jenis,
alias umurnya untuk mengidolakan dan naksir.
Pada masa itu saya sedang mengidolakan satu vocal group barat, dan satu
vocal group asia.
Kemunculan mereka di televisi mutlak harus ditonton,
dan volume TV harus dimaksimalkan.
Hampir setiap pulang sekolah,
saya bersama teman mampir ke sebuah kios majalah,
untuk membeli majalah, koran yang membahas
tentang group idola.
Tak peduli berapa uang yang ada di saku seragam sekolah,
pokoknya saya harus beli segala sesuatu
yang berhubungan dengan mereka-mereka itu,
sekelompok pria bule dan asia yang tampannya super!
Tak perlu pikir panjang, kalau uang saku habis tinggal minta saja
ke ibu...
beres kan masalahnya.
Mulai dari majalah, koran, khusus saya beli,
hanya demi memuaskan mata,
cerita atau keterangan gambar tak penting,
yang penting gambarnya, posternya, dan bonus-bonus yang
ada dalam majalah itu.
Wah, tanpa saya sadari...begitu lulus SMU...
begitu banyak majalah dan koran yang menumpuk,
berdebu, bahkan ada beberapa gambarnya yang sudah rusak.
Waktu di bangku kuliah,
saya habiskan dengan mencoba berhura-hura,
berbelanja dan sering pergi keluar kota.
Sehingga kamar kost mirip gudang penyimpanan,
akibat dari...sering membeli barang yang tidak penting.
Sekitar tahun 2008 saya mulai lagi membeli buku dan membaca,
judul bukunya adalah chicken soup,
ada beberapa edisi dan aku cukup tertarik pada buku itu.
Pada cover depan buku selalu ditulis,
beberapa kisah yang membangkitkan semangat,
and bla bla bla,
jadi buku-buku chicken soup berisi tentang pengalaman
orang lain, bagaimana mereka hidup, menghadapi masalah,
bangkit dari keterpurukan,
dan ditambah dengan kalimat-kalimat motivasi yang
ada disana.
Lama-kelamaan jadi bosan dengan buku tersebut,
uhm..rasanya...
saya membutuhkan sesuatu yang lebih...
lebih dari sekedar pengalaman orang lain, lebih dari sekedar
kalimat-kalimat penghiburan.
Saya mulai melirik buku-buku lain....
misalnya saja tentang petualangan seseorang,
pergi ke suatu negara, suatu museum, suatu restoran,
ternyata yang seperti itu juga sangat menyenangkan
untuk dibaca.
Sejak dulu memang saya suka pelajaran
IPS dan geografi,
namun entah karena cara guru menerangkan tidak bagus,
atau saya yang terlalu malas untuk mencari tahu lebih,
yang jelas pengetahuan tentang pulau-pulau itu sangat minim.
Padahal sama-sama pulau Jawa,
namun saya tak mengerti dengan detail,
dan (dulu) malas untuk belajar,
masa bodoh dengan itu semua! yang penting saya tinggal
di suatu tempat yang nyaman, dan suatu hari nanti saya akan
tinggal di kota besar, yang ada banyak mall.
Tentang daerah dimana saya berasal, tinggal, ada apa saja disana,
apa ada peninggalan sejarah, apa hasil buahnya,
makanan lokal, tempat-tempat yang bisa dikunjungi,
saya tak tahu karena tak ada keinginan untuk mencari tahu.
Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang....
yang mana...
Buku-buku motivasi, petualangan, novel percintaan,
pembunuhan, kisah nyata, sejarah politik,
rohani, saya lahap semuanya.
Menemukan kecintaan terhadap membaca itu seperti
bertemu seseorang yang tak disangka-sangka,
dari sifat yang malas mencari tahu, malas membaca dan tidak kritis,
saya menjadi begitu haus dengan pengetahuan.
Memang banyak hal yang bisa didapatkan dari sekolah,
tapi itu sangatlah dangkal,
seperti misalnya belajar tentang 5 gunung tertinggi di Indonesia,
terletak dimana saja? lalu seperti apa daerah yang terletak
di kaki gunungnya? lalu masih aktif atau sudah dinyatakan
non aktif? apa sudah pernah ada yang mencapai puncaknya?
saya merasa guru-guru juga tak sedemikian detail belajar dan
mencari tahu,
sialnya kita mendapat guru yang semacam itu.
Nah, menurut saya....
membaca adalah guru yang hebat,
memperkenalkan hal baru, menguak fakta,
dan merekam lewat tulisan hal atau moment yang pernah terjadi.
Membaca akan memperkenalkan hal baru tentang sesuatu,
kalau masih ingin tahu lebih, kita tinggal membeli buku
yang berkaitan dengan hal itu.
Menguak fakta tentang sesuatu,
yang mungkin informasinya kurang lengkap disampaikan
oleh reporter televisi atau media cetak,
bisa kita dapatkan versi lengkapnya pada buku.
Membaca tidak bisa dipaksa atau hanya ikut-ikutan trend belaka,
kemauan untuk membaca akan timbul dari dalam hati,
dan...
kalau memang ditakdirkan sebagai pembaca...kita akan selalu rindu
mendapat pengetahuan baru.
Orang yang suka membaca disebut pembaca,
tipe pembaca ada banyak,
kalau saya adalah tipe pembaca kritis, yang selalu
ingin tahu lebih tentang hal-hal yang membuat penasaran.
Dengan membaca kita bisa tahu lebih banyak,
dan tidak sekedar menebak-nebak, membahas, menulis,
sesuatu yang tidak benar,
pantas saja ada pepatah bilang...
bahwa buku ada jendela dunia.
Karena dengan membaca saya dibawa terbang jauh,
ditempat yang tak pernah terduga,
dan membawa kembali pulang pencerahan yang
menerangi hati dan jiwa.
Selamat membaca :)
Tuesday, April 1, 2014
Takut!!
Saya sengaja mencari arti kata takut di internet,
untuk melancarkan penulisan blog kali ini.
Takut adalah
merasa gentar atau ngeri menghadapi sesuatu yang
dianggap akan mendatangkan bencana.
Waktu saya duduk di kelas lima Sekolah Dasar,
ada wali kelas yang merangkap sebagai guru matematika,
yang cukup membuat saya ketakutan disetiap kehadirannya.
Namanya bu Rosa,
uhm...menurut kabar terakhir beliau sudah pensiun dan
membuka usaha laundry di depan rumahnya.
Bu Rosa tidak terlalu tinggi dan badannya kurus,
rambutnya keriting, sepertinya keriting alami,
dan wajahnya sangat putih, namun tidak dengan
leher dan tangannya.
Mungkin dia memakai bedak terlalu tebal,
sehingga perbedaan warna kulit wajah dan kulit leher terlihat mencolok.
Setiap pagi beliau berangkat ke sekolah dengan motor yamaha
usang berwarna biru.
Bu Rosa menjadi wali kelas 5A, yang sialnya saya masuk di kelas
itu juga.
Hhmmm...
Pada dasarnya saya kurang suka pelajaran matematika,
kurang menarik, hanya berkutat pada angka-angka yang diutak-atik,
banyak rumus yang harus dihafalkan,
yang mana menurut saya sangat susah untuk diingat.
Intinya, saya tidak suka pelajaran matematika!!
Dulu...
saya sering bertanya-tanya dalam hati,
kenapa ada ilmu matematika?
kenapa siswa yang pintar matematika selalu dianggap
pintar dalam segala hal?
kenapa guru matematika selalu menyebalkan?
adakah yang bisa membantu saya untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas?!
Pelajaran matematika adalah waktu yang mendebarkan hati,
saya takut seandainya disuruh maju ke depan kelas untuk
mengerjakan soal,
atau saya takut kalau ada hasil ulangan yang dibagikan,
nilai ulangan matematika saya selalu pas-pasan malah seringkali
saya mendapat nilai dibawah 6.
Bu Rosa adalah istri dari almarhum bapak kepala sekolah,
nama suaminya adalah Bapak Ngasidi,
perawakan mereka mirip,
tidak terlalu tinggi dan berambut keriting.
Mereka berdua adalah pasangan guru,
bekerja di satu sekolah namun di kantor yang berbeda,
kantor kepala sekolah gabung jadi satu dengan
kantor penasehat sekolah alias suster kepala yang terkenal
kejamnya minta ampun!
Ditambah lagi,
dalam seminggu ada 3 hari pelajaran matematika,
mampus!
walaupun saya diikutkan pelajaran tambahan di rumah
a.k.a les private, tetap saja tidak terlalu mempengaruhi nilai
matematika saya di sekolah.
Saya menjalani jam-jam pelajaran tersebut dengan penuh ketakutan,
pikiran dan hati selalu was-was,
jangan-jangan abis ini saya kena tunjuk,
jangan-jangan hasil ulangan bakal dibagikan.
Pada suatu hari, tepatnya sabtu siang,
setelah bu Rosa membagikan ulangan matematika,
beliau menghampiri saya dan berbisik...
kalau saya harus berjuang keras memperbaiki nilai
matematika,
karena ini sangat mempengaruhi apakah
nanti saya akan naik kelas 6 atau tidak.
Percayalah semenjak itu saya semakin tidak menyukai
pelajaran matematika dan tentu saja bu Rosa.
Beliau terlalu menitikberatkan pada matematika, seolah mengesampingkan
mata pelajaran lain,
dan kecerdasan murid di bidang lain.
hei...nilai saya termasuk bagus kecuali matematika memang,
bagaimana lagi?!
rasa suka terhadap sesuatu saya pikir adalah pilihan pribadi.
Memangnya semua murid harus pintar matematika?
harus suka dengan matematika?
rupanya bu Rosa harus belajar banyak mengenai
apa arti kata mengajar,
apa arti kata pintar,
pintar itu bukan berarti pintar matematika...
Suasana kelas semakin mencekam apalagi pada jam-jam pelajaran
matematika,
saya takut...takut sesuatu yang buruk, yang memalukan
akan menimpa diri saya hanya karena saya tak terlalu
pintar matematika.
Saat teman-teman sudah naik sepeda roda 2 untuk ke sekolah,
ekstrakulikuler, dan berkunjung ke rumah teman,
saya kemana-mana masih diantar.
Entah alasan kuat apa yang dimiliki oleh kedua orang tua,
sehingga saya tidak diijinkan untuk belajar naik
sepeda roda 2.
Sudah segala macam alasan saya coba ungkapkan pada
ayah dan ibu agar memberi ijin pada saya
untuk naik sepeda sendiri ke sekolah.
Tak masalah saya tidak dibelikan sepeda baru,
yang penting saya ingin mencoba untuk naik sepeda.
Rasanya sangat amat iri ketika melihat teman-teman saya
dengan bangganya mengayuh sepeda mereka masing-masing
masuk ke gerbang sekolah.
Aaarrgghh mengapa saya masih diantar,
malu donk ama teman-teman yang lain,
berasa jadi makhluk paling cupu di sekolah.
Dengan berjalannya waktu,
saya tetap tidak diijinkan untuk belajar naik sepeda,
ayah dan ibu meyakinkan bahwa naik sepeda
adalah sesuatu yang berbahaya untuk dilakukan.
Tak jarang mereka melarang sampai memarahi dan
menekankan dengan keras,
bahwa saya tidak boleh naik sepeda roda dua.
Demikian juga dengan sepeda motor,
disaat teman-teman saya dengan bangga naik sepeda motor,
saya masih bernasib sama,
masih diantar kemana pun bepergian.
Motor teman saya tak semuanya baru,
ada yang pakai motor tua, warnanya usang, suara mesinnya
sangat berisik,
saya tak peduli dengan motornya,
yang paling penting saya ingin diijinkan untuk mencoba
naik motor sendiri.
Seperti biasa,
usaha keras untuk meyakinkan kedua orang tua sia-sia belaka.
Lagi-lagi permohonan saya untuk
naik motor sendiri tidak dikabulkan,
karena naik motor dianggap bisa membahayakan keselamatan
diri saya.
Payah!!
akhirnya dibalik layar saya baru berani bertingkah,
mencoba hal-hal baru yang yang selama ini dilarang keras
oleh kedua orang tua saya.
Beberapa hal seperti,
belajar naik sepeda roda dua, naik sepeda motor,
merokok, membolos, minum alkohol,
semua saya coba tanpa sepengetahuan orang tua.
Rasanya sangat mendebarkan,
karena selama ini hal-hal tersebut hanya dilarang keras,
dan bahkan cenderung mengekang,
tanpa memberi penjelasan mengapa hal-hal diatas tak baik
untuk dilakukan.
Mereka hanya bilang bahwa hal-hal itu tidak baik
kalau saya bertanya lebih lanjut,
biasanya mereka akan membentak dan menyudahi
obrolan agar saya tak melanjutkan
pertanyaan saya.
Tanpa sadar itu sangat mempengaruhi saya,
jadi tanpa memperoleh jawaban yang memuaskan rasa penasaran,
maka dari itu,
saya memutuskan untuk mencobanya satu per satu,
yang penting tidak diketahui oleh
orang tua.
Waktu tinggal di rumah kost semasa SMU,
saya nekad pinjam sepeda motor dari seorang teman
demi memuaskan rasa penasaran saya
tentang bagaimana hebatnya bisa naik motor,
sepele memang,
namun harus saya lakukan,
karena memang saya sangat ingin melakukannya.
Buktinya saya bisa naik motor,
tanpa melukai diri sendiri juga
motor pinjaman itu.
Rasa bangganya sangat luar biasa,
manakala saya berhasil mengendarai sepeda motor sendiri
tanpa cedera.
Rasa takut dan penasaran menjadi satu,
hanya diri sendiri yang akan menentukan,
rasa mana yang akan dipilih untuk
mengambil suatu tindakan.
Bisa saja terlalu takut dan kemudian hari
tak ingin mencobanya,
uhm...
bisa juga rasa penasaran yang sangat kuat
sehingga menepis rasa takut tersebut,
dan membuat kita nekad untuk berbuat.
Tak masalah,
apabila ditengah-tengah keberanian
ada ketakutan,
anggap saja ketakutan itu sebagai rasa waspada
agar tetap berhati-hati.
Saya punya seorang tetangga yang sangat takut akan kesendirian,
dia takut kalau akan ada gerombolan
rampok yang mencelakainya dan merampas harta bendanya.
Meskipun rumahnya sudah dilengkapi dengan
pengamanan ganda,
tetap saja tak berhasil mengusir rasa takutnya.
Entah apa yang ada dalam pikiran ibu tersebut,
sehingga dia membiarkan perasaan takut mengendalikan
hati juga pikirannya.
Setiap malam dia sulit untuk tidur nyenyak,
karena berbagai macam pikiran buruk yang menghantuinya.
Rasa takut memang kerap kali
bisa menguasai banyak hal,
apabila tidak ada usaha untuk menghentikannya.
Ibaratnya,
rasa takut itu hanya menghantui,
dan belum sungguh-sungguh menyerang, apalagi menyakiti
secara fisik.
Mari kembali keatas tentang arti dari takut adalah,
merasa gentar atau ngeri terhadap sesuatu yang
dianggap akan mendatangkan bencana.
Garis bawahi kata AKAN,
berarti belum terjadi donk!
Justru dari diri sendirilah ketakutan itu dipupuk,
menjadi semakin subur,
semakin berkembang besar,
dan akhirnya akan memenuhi hati kita.
Saya yakin, takut bukanlah hal yang menyenangkan,
malah sebaliknya...
rasa takut itu mengambil paksa damai sejahtera yang
ada dalam hati kita.
Percaya atau tidak,
terbebas dari rasa takut juga berperan sangat penting dalam
pengembangan diri,
bagaimana mau berkembang kalau hati dan pikiran
sudah dipenuhi dengan ketakutan.
Saat pertama kali siaran,
ketakutan yang ada adalah,
suara jelek dan pendengar tidak suka warna suara saya,
takut kalau program acara yang saya bawakan setiap pagi
bakalan sepi pendengar,
takut kalau saya tidak bisa sebagus penyiar yang sebelumnya,
takut kalau ditengah-tengah siaran, saya ingin kentut dan
bersendawa,
takut kalau saya tak bisa bangun pagi,
takut kalau ada tikus dan kecoak yang masuk lagi
dalam studio,
hhmmm
nama saya bukan ivana lagi tapi takutwati,
terlalu banyak ketakutan yang ada dalam hati dan pikiran saya.
Padahal,
setelah saya coba menjalaninya dari hari lepas hari,
buktinya apa yang saya takutkan tidak terjadi!
Aaarrgghhh, saya terlanjur menaruh porsi lebih untuk
ketakutan tersebut.
Biasanya rasa takut timbul dari penglihatan, pendengaran,
pengalaman orang lain yang kita kembangkan sendiri,
menjadi sesuatu yang sangat luar biasa.
Semua menjadi mungkin dalam imajinasi ketakutan kita,
semua menjadi sangat menyeramkan,
dan seakan-akan sesuatu yang buruk
hampir pasti menimpa kita.
Tahun ini adalah tahun ketiga saya menjadi penyiar,
dan bulan ke 5 saya menulis blog,
yang tentu saja pada awalnya ada rasa takut yang menghantui.
Konyol juga kalau dipikir-pikir,
bagaimana mungkin saya takut pada sesuatu yang belum atau
bahkan tak mungkin akan terjadi?!
Kurang lebih,
saya hanya dipermainkan oleh rasa takut itu sendiri,
untung saja saya tetap melangkah dan berani
mencoba.
Jikalau tidak,
maka saya akan tetap menjadi orang yang sama,
mungkin memang saya sadar betul akan talenta-talenta yang
saya miliki,
tanpa punya keberanian untuk menggunakan dan mengembangkannya??
talenta itu hanya akan diam saja, layu, dan perlahan
tapi pasti akan mati.
Saya mengerti bahwa setiap kita pasti pernah
mengalami ketakutan,
akan apa saja...
tiap orang memiliki ketakutannya masing-masing.
Coba anda pikirkan dengan tenang sekali lagi,
apa akibatnya apabila rasa takut itu
tetap dipelihara??
hidup hanya sekali, sangat disayangkan
kalau kita menjalaninya dengan ketakutan.
Rasa takut itu bersifat mengekang dan menghambat,
dan sialnya,
hanya diri sendiri yang mampu untuk lepas dari
ketakutannya masing-masing.
Ingat bahwa rasa takut itu menyerang pikiran dan perasaan,
jadi paling tidak saya dan anda bisa tahu darimana harus
memulai untuk mengatasinya.
Ya...rasa takut itu hadir dalam wujud
perasaan,
dan hanya pribadi kita yang tahu betul
cara terbaik untuk mengusirnya,
selamat menemukan caranya ;)
mari lepas dari ketakutan!
untuk melancarkan penulisan blog kali ini.
Takut adalah
merasa gentar atau ngeri menghadapi sesuatu yang
dianggap akan mendatangkan bencana.
Waktu saya duduk di kelas lima Sekolah Dasar,
ada wali kelas yang merangkap sebagai guru matematika,
yang cukup membuat saya ketakutan disetiap kehadirannya.
Namanya bu Rosa,
uhm...menurut kabar terakhir beliau sudah pensiun dan
membuka usaha laundry di depan rumahnya.
Bu Rosa tidak terlalu tinggi dan badannya kurus,
rambutnya keriting, sepertinya keriting alami,
dan wajahnya sangat putih, namun tidak dengan
leher dan tangannya.
Mungkin dia memakai bedak terlalu tebal,
sehingga perbedaan warna kulit wajah dan kulit leher terlihat mencolok.
Setiap pagi beliau berangkat ke sekolah dengan motor yamaha
usang berwarna biru.
Bu Rosa menjadi wali kelas 5A, yang sialnya saya masuk di kelas
itu juga.
Hhmmm...
Pada dasarnya saya kurang suka pelajaran matematika,
kurang menarik, hanya berkutat pada angka-angka yang diutak-atik,
banyak rumus yang harus dihafalkan,
yang mana menurut saya sangat susah untuk diingat.
Intinya, saya tidak suka pelajaran matematika!!
Dulu...
saya sering bertanya-tanya dalam hati,
kenapa ada ilmu matematika?
kenapa siswa yang pintar matematika selalu dianggap
pintar dalam segala hal?
kenapa guru matematika selalu menyebalkan?
adakah yang bisa membantu saya untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas?!
Pelajaran matematika adalah waktu yang mendebarkan hati,
saya takut seandainya disuruh maju ke depan kelas untuk
mengerjakan soal,
atau saya takut kalau ada hasil ulangan yang dibagikan,
nilai ulangan matematika saya selalu pas-pasan malah seringkali
saya mendapat nilai dibawah 6.
Bu Rosa adalah istri dari almarhum bapak kepala sekolah,
nama suaminya adalah Bapak Ngasidi,
perawakan mereka mirip,
tidak terlalu tinggi dan berambut keriting.
Mereka berdua adalah pasangan guru,
bekerja di satu sekolah namun di kantor yang berbeda,
kantor kepala sekolah gabung jadi satu dengan
kantor penasehat sekolah alias suster kepala yang terkenal
kejamnya minta ampun!
Ditambah lagi,
dalam seminggu ada 3 hari pelajaran matematika,
mampus!
walaupun saya diikutkan pelajaran tambahan di rumah
a.k.a les private, tetap saja tidak terlalu mempengaruhi nilai
matematika saya di sekolah.
Saya menjalani jam-jam pelajaran tersebut dengan penuh ketakutan,
pikiran dan hati selalu was-was,
jangan-jangan abis ini saya kena tunjuk,
jangan-jangan hasil ulangan bakal dibagikan.
Pada suatu hari, tepatnya sabtu siang,
setelah bu Rosa membagikan ulangan matematika,
beliau menghampiri saya dan berbisik...
kalau saya harus berjuang keras memperbaiki nilai
matematika,
karena ini sangat mempengaruhi apakah
nanti saya akan naik kelas 6 atau tidak.
Percayalah semenjak itu saya semakin tidak menyukai
pelajaran matematika dan tentu saja bu Rosa.
Beliau terlalu menitikberatkan pada matematika, seolah mengesampingkan
mata pelajaran lain,
dan kecerdasan murid di bidang lain.
hei...nilai saya termasuk bagus kecuali matematika memang,
bagaimana lagi?!
rasa suka terhadap sesuatu saya pikir adalah pilihan pribadi.
Memangnya semua murid harus pintar matematika?
harus suka dengan matematika?
rupanya bu Rosa harus belajar banyak mengenai
apa arti kata mengajar,
apa arti kata pintar,
pintar itu bukan berarti pintar matematika...
Suasana kelas semakin mencekam apalagi pada jam-jam pelajaran
matematika,
saya takut...takut sesuatu yang buruk, yang memalukan
akan menimpa diri saya hanya karena saya tak terlalu
pintar matematika.
Saat teman-teman sudah naik sepeda roda 2 untuk ke sekolah,
ekstrakulikuler, dan berkunjung ke rumah teman,
saya kemana-mana masih diantar.
Entah alasan kuat apa yang dimiliki oleh kedua orang tua,
sehingga saya tidak diijinkan untuk belajar naik
sepeda roda 2.
Sudah segala macam alasan saya coba ungkapkan pada
ayah dan ibu agar memberi ijin pada saya
untuk naik sepeda sendiri ke sekolah.
Tak masalah saya tidak dibelikan sepeda baru,
yang penting saya ingin mencoba untuk naik sepeda.
Rasanya sangat amat iri ketika melihat teman-teman saya
dengan bangganya mengayuh sepeda mereka masing-masing
masuk ke gerbang sekolah.
Aaarrgghh mengapa saya masih diantar,
malu donk ama teman-teman yang lain,
berasa jadi makhluk paling cupu di sekolah.
Dengan berjalannya waktu,
saya tetap tidak diijinkan untuk belajar naik sepeda,
ayah dan ibu meyakinkan bahwa naik sepeda
adalah sesuatu yang berbahaya untuk dilakukan.
Tak jarang mereka melarang sampai memarahi dan
menekankan dengan keras,
bahwa saya tidak boleh naik sepeda roda dua.
Demikian juga dengan sepeda motor,
disaat teman-teman saya dengan bangga naik sepeda motor,
saya masih bernasib sama,
masih diantar kemana pun bepergian.
Motor teman saya tak semuanya baru,
ada yang pakai motor tua, warnanya usang, suara mesinnya
sangat berisik,
saya tak peduli dengan motornya,
yang paling penting saya ingin diijinkan untuk mencoba
naik motor sendiri.
Seperti biasa,
usaha keras untuk meyakinkan kedua orang tua sia-sia belaka.
Lagi-lagi permohonan saya untuk
naik motor sendiri tidak dikabulkan,
karena naik motor dianggap bisa membahayakan keselamatan
diri saya.
Payah!!
akhirnya dibalik layar saya baru berani bertingkah,
mencoba hal-hal baru yang yang selama ini dilarang keras
oleh kedua orang tua saya.
Beberapa hal seperti,
belajar naik sepeda roda dua, naik sepeda motor,
merokok, membolos, minum alkohol,
semua saya coba tanpa sepengetahuan orang tua.
Rasanya sangat mendebarkan,
karena selama ini hal-hal tersebut hanya dilarang keras,
dan bahkan cenderung mengekang,
tanpa memberi penjelasan mengapa hal-hal diatas tak baik
untuk dilakukan.
Mereka hanya bilang bahwa hal-hal itu tidak baik
kalau saya bertanya lebih lanjut,
biasanya mereka akan membentak dan menyudahi
obrolan agar saya tak melanjutkan
pertanyaan saya.
Tanpa sadar itu sangat mempengaruhi saya,
jadi tanpa memperoleh jawaban yang memuaskan rasa penasaran,
maka dari itu,
saya memutuskan untuk mencobanya satu per satu,
yang penting tidak diketahui oleh
orang tua.
Waktu tinggal di rumah kost semasa SMU,
saya nekad pinjam sepeda motor dari seorang teman
demi memuaskan rasa penasaran saya
tentang bagaimana hebatnya bisa naik motor,
sepele memang,
namun harus saya lakukan,
karena memang saya sangat ingin melakukannya.
Buktinya saya bisa naik motor,
tanpa melukai diri sendiri juga
motor pinjaman itu.
Rasa bangganya sangat luar biasa,
manakala saya berhasil mengendarai sepeda motor sendiri
tanpa cedera.
Rasa takut dan penasaran menjadi satu,
hanya diri sendiri yang akan menentukan,
rasa mana yang akan dipilih untuk
mengambil suatu tindakan.
Bisa saja terlalu takut dan kemudian hari
tak ingin mencobanya,
uhm...
bisa juga rasa penasaran yang sangat kuat
sehingga menepis rasa takut tersebut,
dan membuat kita nekad untuk berbuat.
Tak masalah,
apabila ditengah-tengah keberanian
ada ketakutan,
anggap saja ketakutan itu sebagai rasa waspada
agar tetap berhati-hati.
Saya punya seorang tetangga yang sangat takut akan kesendirian,
dia takut kalau akan ada gerombolan
rampok yang mencelakainya dan merampas harta bendanya.
Meskipun rumahnya sudah dilengkapi dengan
pengamanan ganda,
tetap saja tak berhasil mengusir rasa takutnya.
Entah apa yang ada dalam pikiran ibu tersebut,
sehingga dia membiarkan perasaan takut mengendalikan
hati juga pikirannya.
Setiap malam dia sulit untuk tidur nyenyak,
karena berbagai macam pikiran buruk yang menghantuinya.
Rasa takut memang kerap kali
bisa menguasai banyak hal,
apabila tidak ada usaha untuk menghentikannya.
Ibaratnya,
rasa takut itu hanya menghantui,
dan belum sungguh-sungguh menyerang, apalagi menyakiti
secara fisik.
Mari kembali keatas tentang arti dari takut adalah,
merasa gentar atau ngeri terhadap sesuatu yang
dianggap akan mendatangkan bencana.
Garis bawahi kata AKAN,
berarti belum terjadi donk!
Justru dari diri sendirilah ketakutan itu dipupuk,
menjadi semakin subur,
semakin berkembang besar,
dan akhirnya akan memenuhi hati kita.
Saya yakin, takut bukanlah hal yang menyenangkan,
malah sebaliknya...
rasa takut itu mengambil paksa damai sejahtera yang
ada dalam hati kita.
Percaya atau tidak,
terbebas dari rasa takut juga berperan sangat penting dalam
pengembangan diri,
bagaimana mau berkembang kalau hati dan pikiran
sudah dipenuhi dengan ketakutan.
Saat pertama kali siaran,
ketakutan yang ada adalah,
suara jelek dan pendengar tidak suka warna suara saya,
takut kalau program acara yang saya bawakan setiap pagi
bakalan sepi pendengar,
takut kalau saya tidak bisa sebagus penyiar yang sebelumnya,
takut kalau ditengah-tengah siaran, saya ingin kentut dan
bersendawa,
takut kalau saya tak bisa bangun pagi,
takut kalau ada tikus dan kecoak yang masuk lagi
dalam studio,
hhmmm
nama saya bukan ivana lagi tapi takutwati,
terlalu banyak ketakutan yang ada dalam hati dan pikiran saya.
Padahal,
setelah saya coba menjalaninya dari hari lepas hari,
buktinya apa yang saya takutkan tidak terjadi!
Aaarrgghhh, saya terlanjur menaruh porsi lebih untuk
ketakutan tersebut.
Biasanya rasa takut timbul dari penglihatan, pendengaran,
pengalaman orang lain yang kita kembangkan sendiri,
menjadi sesuatu yang sangat luar biasa.
Semua menjadi mungkin dalam imajinasi ketakutan kita,
semua menjadi sangat menyeramkan,
dan seakan-akan sesuatu yang buruk
hampir pasti menimpa kita.
Tahun ini adalah tahun ketiga saya menjadi penyiar,
dan bulan ke 5 saya menulis blog,
yang tentu saja pada awalnya ada rasa takut yang menghantui.
Konyol juga kalau dipikir-pikir,
bagaimana mungkin saya takut pada sesuatu yang belum atau
bahkan tak mungkin akan terjadi?!
Kurang lebih,
saya hanya dipermainkan oleh rasa takut itu sendiri,
untung saja saya tetap melangkah dan berani
mencoba.
Jikalau tidak,
maka saya akan tetap menjadi orang yang sama,
mungkin memang saya sadar betul akan talenta-talenta yang
saya miliki,
tanpa punya keberanian untuk menggunakan dan mengembangkannya??
talenta itu hanya akan diam saja, layu, dan perlahan
tapi pasti akan mati.
Saya mengerti bahwa setiap kita pasti pernah
mengalami ketakutan,
akan apa saja...
tiap orang memiliki ketakutannya masing-masing.
Coba anda pikirkan dengan tenang sekali lagi,
apa akibatnya apabila rasa takut itu
tetap dipelihara??
hidup hanya sekali, sangat disayangkan
kalau kita menjalaninya dengan ketakutan.
Rasa takut itu bersifat mengekang dan menghambat,
dan sialnya,
hanya diri sendiri yang mampu untuk lepas dari
ketakutannya masing-masing.
Ingat bahwa rasa takut itu menyerang pikiran dan perasaan,
jadi paling tidak saya dan anda bisa tahu darimana harus
memulai untuk mengatasinya.
Ya...rasa takut itu hadir dalam wujud
perasaan,
dan hanya pribadi kita yang tahu betul
cara terbaik untuk mengusirnya,
selamat menemukan caranya ;)
mari lepas dari ketakutan!
Monday, March 24, 2014
Masak yuk!
Semenjak saya kecil,
ibu sangat mencintai kegiatan memasak.
Entah itu memasak makanan atau membuat jajanan
seperti puding, kolak, kue bolu kukus,
dan lain sebagainya.
Kebetulan, nenek juga seorang juru masak
selama berpuluh-puluh tahun.
Nenek merupakan koki terkenal pada masanya,
menu makanan yang dibuatnya selalu laris manis
diburu para konsumen.
Bahkan sampai usia lanjut seperti sekarang,
kadang-kadang beliau juga masih pergi ke dapur
untuk membuat makanan.
Dengan lingkungan yang memiliki hobi memasak,
seharusnya sedikit banyak mempengaruhi saya.
Ternyata tidak juga...
saya tak begitu suka memasak karena
persiapan yang harus dilakukan sangat lama lalu
masakan yang sudah susah payah diolah habis
dalam waktu singkat.
Biarlah memasak itu jadi bagian ibu, dan
pembantu rumah tangga.
Bayangkan kalau tangan ini harus bau bawang merah,
bawang putih belum lagi panas terkena
pedasnya cabai.
Apalagi kalau harus menggoreng sesuatu,
takut ah kena minyak panas nanti wajah nggak mulus lagi.
Lagipula ini sudah jaman instant,
ngapain harus repot-repot masak,
banyak warung, banyak restaurant dan cafe,
kalau semakin banyak yang memilih masak sendiri,
bagaimana nasib mereka yang buka usaha?!
Hampir semua menu yang saya inginkan
ada yang jual,
mulai dari aneka ca sayuran, sampai ikan bakar,
juga steak.
Demikian juga minuman, dari yang agak mahal
seperti frapuccinno with double shot sampai
wedang jahe juga ada.
Banyak tempat makan menyediakan apa yang saya butuhkan,
beraneka macam menu makanan berat, jajanan,
dengan harga yang bervariasi.
Semuanya dijual, semuanya sudah tersedia,
tinggal datang ke tempatnya, pesan dari menu yang tersedia,
bahkan ada beberapa tempat yang mana saya bisa cystom,
menyenangkan bukan?!
Yang perlu dilakukan hanyalah,
duduk santai sambil menunggu pesanan datang,
sambil duduk bisa baca buku, nonton TV, mendengarkan musik,
sampai memanfaatkan akses wifi.
Begitu pesanan datang,
saya bisa langsung menikmati,
tanpa berpikir harus mencuci piring dan alat-alat masak
kemudian,
tubuh juga tetap wangi, tak ada aroma bumbu yang melekat,
wow rupanya tempat makan
banyak memberi kemudahan.
Tak heran banyak para pengusaha berbondong-bondong
membuka tempat makan,
dengan beraneka macam konsep,
karena semakin banyak orang yang lebih suka membeli
makan diluar daripada harus repot-repot menasak sendiri.
Akhir-akhir ini juga banyak rumah makan yang berbasis pada
masakan rumah seperti
sayur bayam, lodeh, ikan goreng, tahu dan tempe goreng,
ditambah lagi saya bisa pilih dan ambil sendiri
menu-menu tersebut.
Kalau ada yang bilang,
masak sendiri jauh lebih hemat dibandingkan
beli makan diluar,
ya itu relatif...
Misalnya mau masak spaghetty pesto,
beli saus pestonya aja udah 50 ribu lebih, belum lagi bahan-bahan lainnya,
walaupun sekali beli bahan bisa untuk beberapa kali sih,
setelah masak masih harus mencuci alat-alat masak yang telah digunakan,
ribet, dan betapa cepat makanan itu habis sangat tak imbang.
Beli makan diluar, hanya dengan 5 ribu rupiah,
sudah dapat nasi, gudangan, satu tahu goreng, satu tempe goreng,
dan sambal bawang,
bungkusnya tinggal dibuang, alat makan yang dicuci hanya satu
sendok makan,
kalaupun mau makan pakai tangan, ya tinggal cuci tangan,
sangat praktis kan?!
Banyak yang bilang,
kalau para mertua itu suka menantu yang rajin,
bisa membersihkan rumah sendiri, memasak, dan
pekerjaan rumah yang lain.
Saya berpikir,
mau nyari menantu atau pembantu?!
Lagian jaman sekarang, mana ada wanita yang murni
hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga,
sekarang jamannya berkarir, bekerja, dan mengejar impian.
Saya masih bertahan untuk tidak
memulai bahkan menyukai aktivitas memasak.
Di rumah, kebiasaan yang ada selama ini adalah,
ibu dan para pembantu yang memasak,
saya hanya tinggal menunggu masakan tersedia di meja makan
lalu menyantapnya.
Urusan mencuci alat masak dan alat makan pun
tak pernah ada di benak saya,
ngapain sih menyusahkan diri sendiri.
Beli di luar atau menunggu hasil masakan ibu,
jauh lebih mudah daripada,
badan berbau bumbu, dan harus berbasah-basahan untuk
mencuci alat-alat masak.
Lagipula, saya takkan belajar masak hanya demi
mertua atau siapapun,
kalau sampai suatu hari saya memutuskan untuk memasak,
itu karena pilihan pribadi tanpa sedikitpun
dorongan dari orang lain.
Saya pun tak suka pergi ke pasar,
sepanjang jalan bau daging dan ikan mentah yang sangat menyengat,
belum lagi aroma sayur busuk juga yang bercampur baur jadi satu,
jalanannya sempit,
kendaraan bermotor dan pejalan kaki saling mendahului,
sama-sama egois,
tak ada sisi menarik dari sebuah pasar tradisional.
Uhm, seringkali pedagang di tradisional itu
memandang SARA,
kalau kelihatan kulitnya putih, warna bajunya tidak kusam,
pasti dia menawarkan harga barangnya lebih mahal.
Untuk orang-orang yang kulitnya coklat, sawo busuk...
meskipun warna bajunya juga tidak kumal,
pasti orang tersebut dapat harga yang lebih murah,
ditambah lagi bisa berbahasa lokal,
ah pasti dapat bonus 5 butir cabai merah.
Apa harus saya ganti warna kulit agar dapat harga barang
yang sama seperti yang lain?!
Belum lagi saya terheran-heran tentang cara mereka
memperlakukan barang dagangannya,
ada yang jatuh di tanah dan dibiarkan begitu saja,
lalu banyak dikerubungi lalat,
dan pedaganya seakan cuek tak ambil pusing
tentang hal itu,
hhhmm...tapi masih sangat banyak yang lebih memilih
berbelanja disana karena alasan harga.
Kebanyakan wanita memang suka memasak,
mereka mencampur adukan bumbu dan bahan
sesuai dengan selera masing-masing,
tapi apa iya semua wanita harus suka memasak,
seperti halnya...
tidak semua wanita suka warna pink, demikian juga
tidak semua wanita suka memasak.
Apalagi saat masih tinggal di rumah kost,
ibu kost sangat pelit dan suka ngomel kalau
gas cepat habis, atau habis sebelum perkiraannya.
Saya juga tak punya alat-alat masak, jadi kalaupun mau masak
harus meminjam alat dari ibu kost,
yang mana alat-alat masaknya sudah tak layak pakai.
Serba repot,
apa saya bilang...beli diluar jauh lebih praktis dan mudah,
harga, menu, tempat bisa disesuaikan
dengan kondisi hati dan kondisi dompet.
Sampai pada satu kondisi,
saat saya sudah menempati rumah burung dara ini,
ibu mengirimkan beberapa alat masak,
seperti kompor gas, kuali, wajan teflon, dan lain sebagainya.
Biarpun tidak setiap hari saya memasak,
untuk berjaga-jaga saja,
kalau saya ingin masak mie instant atau merebus air
untuk bikin kopi atau green tea.
Saya sempat berpikir kalau hanya untuk mie instant
apa harus sebagus ini alat masaknya,
ah tapi barang sudah terlanjur sampai,
mungkin ibu mau memberi yang terbaik untuk saya.
Tak lama setelah keberadaan kompor tersebut,
saya punya ide untuk memasak,
seperti nasi goreng, spaghetty dan ca jamur,
baru 3 macam itu yang berhasil saya masak,
tanpa memakan korban :)
Untuk membeli bahan-bahan masaknya,
saya memilih supermarket dibanding pasar tradisional,
karena harganya lebih pasti,
semua warna kulit akan dapat harga yang sama
berdasarkan bandrolnya.
Meskipun harganya lebih mahal,
namun saya nyaman berbelanja di supermarket,
tidak becek akibat air hujan atau guyuran air
serta tidak was-was akan dipeluk tiba-tiba
oleh motor atau mobil angkutan umum.
Memang harganya bisa terpaut sampai seribu rupiah,
tapi kenyamanan dan kemudahan yang saya dapatkan
rasanya perbandingan harga bukan masalah utama.
Kalau di supermarket saya juga bisa memilih sampai capek,
terserah saya mau pilih berlama-lama juga tak ada yang marah,
coba kalau di pasar tradisional,
belum-belum pedagangnya sudah pasang wajah nggak suka.
Jadi kesimpulannya,
saya lebih memilih berbelanja di supermarket,
yang bisa tenang memilih, tenang hati juga karena kalau uang cash tidak
mencukupi bisa langsung gesek kartu debet.
Ternyata memasak juga tak seribet yang dulu-dulu
saya bayangkan,
tinggal bagaimana kita belajar dan terbiasa untuk memasak.
Tinggal pilih mau masak apa,
disesuaikan dengan budget yang ada.
Seperti minggu lalu,
saya sedang punya budget yang agak banyak,
saya memilih untuk memasak spaghetty,
bahan-bahannya nggak ribet namun harganya agak mahal.
Yang perlu dibeli hanyalah minyak goreng, saus spaghetty
bisa bolognaise, pestto, pilih sesuai selera.
Kalau yang suka manis, kecut dan berdaging maka
saus bolognaise adalah pilihan yang tepat.
Saya lebih suka saus pesto karena tak mengandung daging,
dan rasanya asin, aromanya khas dedaunan, lezat abis!!
dan telur ayam kampung, dan jangan lupa
spaghetty.
Bawang putih dikupas lalu diiris tipis,
rebus spaghetty sampai matang,
tuang minyak goreng secukupnya di teflon, tunggu sampai panas,
lalu masukkan bawang putih dan tumis sampai harum,
tambahkan telur lalu diorak-arik hingga matang,
setelah itu masukkan juga saus pesto, ditumis hingga harum
yang terakhir masukkan spaghetty yang sudah matang direbus,
aduk sampai rata, panaskan sebentar,
dan siap untuk disajikan.
Mudah bukan?
alat masak yang digunakan juga tak terlalu banyak,
waktu yang dibutuhkan untuk memasak juga
tidak lama.
Dulu, saya selalu berpikir memasak itu buang waktu,
karena saya belum pernah mencobanya,
setelah terjun langsung
ternyata tak seburuk yang diduga.
Proses memasak sebenarnya sangat sederhana,
membeli bahan, meramunya, mengolah dan menyajikannya.
Kelebihan dari memasak sendiri,
antara lain...
Pasti kebersihan dari makanan tersebut lebih terjamin
daripada membelinya diluar,
tentu saja tak ada yang ingin sakit setelah makan masakannya sendiri.
Bisa membuat kreasi apa saja yang diinginkan,
contoh sederhananya membuat nasi goreng,
banyak warung kaki lima hingga restaurant yang menyediakan
menu nasi goreng,
namun seringkali tak sesuai dengan harapan kita,
rasanya nggak enak, harganya mahal, porsinya
terlalu banyak atau terlalu sedikit belum lagi
kalau nasinya lembek, dan terlalu berminyak.
Kalau ingin merasakan nasi goreng yang sesuai dengan kemauan kita
baik dari porsi maupun rasa,
lebih baik memasaknya sendiri.
Bahannya mudah untuk didapatkan, hanya bawang putih, bawang merah,
saus sesuai selera masing-masing,
mau ditambah sawi hijau, bakso ikan, telur ayam kampung, rumput laut,
silahkan pilih sendiri.
Intinya kalau masak sendiri,
kita bakal tahu persis bahan apa saja yang dipakai,
bagaimana cara memasaknya dan mengatur rasanya sesuai
dengan selera kita.
Memasak adalah hal yang jauh dari pikiran saya dulu,
tapi sekarang...
paling tidak seminggu dua kali pasti saya memasak.
Bukan berarti
saya melakukan semua ini karena ingin disayang mertua,
saya memasak,
ya karena saya suka dengan aktivitas ini sekaligus mengembangkan
talenta yang sudah diberikan oleh Tuhan.
Yang masih ragu-ragu untuk mulai memasak,
uhm...rasa itu takkan beranjak sebelum kita sendiri mau memulainya.
Mumpung masih sehat, masih bisa beraktivitas,
cobalah sebanyak mungkin kegiatan yang positif,
dan berguna bagi orang lain,
selamat memasak ;)
ibu sangat mencintai kegiatan memasak.
Entah itu memasak makanan atau membuat jajanan
seperti puding, kolak, kue bolu kukus,
dan lain sebagainya.
Kebetulan, nenek juga seorang juru masak
selama berpuluh-puluh tahun.
Nenek merupakan koki terkenal pada masanya,
menu makanan yang dibuatnya selalu laris manis
diburu para konsumen.
Bahkan sampai usia lanjut seperti sekarang,
kadang-kadang beliau juga masih pergi ke dapur
untuk membuat makanan.
Dengan lingkungan yang memiliki hobi memasak,
seharusnya sedikit banyak mempengaruhi saya.
Ternyata tidak juga...
saya tak begitu suka memasak karena
persiapan yang harus dilakukan sangat lama lalu
masakan yang sudah susah payah diolah habis
dalam waktu singkat.
Biarlah memasak itu jadi bagian ibu, dan
pembantu rumah tangga.
Bayangkan kalau tangan ini harus bau bawang merah,
bawang putih belum lagi panas terkena
pedasnya cabai.
Apalagi kalau harus menggoreng sesuatu,
takut ah kena minyak panas nanti wajah nggak mulus lagi.
Lagipula ini sudah jaman instant,
ngapain harus repot-repot masak,
banyak warung, banyak restaurant dan cafe,
kalau semakin banyak yang memilih masak sendiri,
bagaimana nasib mereka yang buka usaha?!
Hampir semua menu yang saya inginkan
ada yang jual,
mulai dari aneka ca sayuran, sampai ikan bakar,
juga steak.
Demikian juga minuman, dari yang agak mahal
seperti frapuccinno with double shot sampai
wedang jahe juga ada.
Banyak tempat makan menyediakan apa yang saya butuhkan,
beraneka macam menu makanan berat, jajanan,
dengan harga yang bervariasi.
Semuanya dijual, semuanya sudah tersedia,
tinggal datang ke tempatnya, pesan dari menu yang tersedia,
bahkan ada beberapa tempat yang mana saya bisa cystom,
menyenangkan bukan?!
Yang perlu dilakukan hanyalah,
duduk santai sambil menunggu pesanan datang,
sambil duduk bisa baca buku, nonton TV, mendengarkan musik,
sampai memanfaatkan akses wifi.
Begitu pesanan datang,
saya bisa langsung menikmati,
tanpa berpikir harus mencuci piring dan alat-alat masak
kemudian,
tubuh juga tetap wangi, tak ada aroma bumbu yang melekat,
wow rupanya tempat makan
banyak memberi kemudahan.
Tak heran banyak para pengusaha berbondong-bondong
membuka tempat makan,
dengan beraneka macam konsep,
karena semakin banyak orang yang lebih suka membeli
makan diluar daripada harus repot-repot menasak sendiri.
Akhir-akhir ini juga banyak rumah makan yang berbasis pada
masakan rumah seperti
sayur bayam, lodeh, ikan goreng, tahu dan tempe goreng,
ditambah lagi saya bisa pilih dan ambil sendiri
menu-menu tersebut.
Kalau ada yang bilang,
masak sendiri jauh lebih hemat dibandingkan
beli makan diluar,
ya itu relatif...
Misalnya mau masak spaghetty pesto,
beli saus pestonya aja udah 50 ribu lebih, belum lagi bahan-bahan lainnya,
walaupun sekali beli bahan bisa untuk beberapa kali sih,
setelah masak masih harus mencuci alat-alat masak yang telah digunakan,
ribet, dan betapa cepat makanan itu habis sangat tak imbang.
Beli makan diluar, hanya dengan 5 ribu rupiah,
sudah dapat nasi, gudangan, satu tahu goreng, satu tempe goreng,
dan sambal bawang,
bungkusnya tinggal dibuang, alat makan yang dicuci hanya satu
sendok makan,
kalaupun mau makan pakai tangan, ya tinggal cuci tangan,
sangat praktis kan?!
Banyak yang bilang,
kalau para mertua itu suka menantu yang rajin,
bisa membersihkan rumah sendiri, memasak, dan
pekerjaan rumah yang lain.
Saya berpikir,
mau nyari menantu atau pembantu?!
Lagian jaman sekarang, mana ada wanita yang murni
hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga,
sekarang jamannya berkarir, bekerja, dan mengejar impian.
Saya masih bertahan untuk tidak
memulai bahkan menyukai aktivitas memasak.
Di rumah, kebiasaan yang ada selama ini adalah,
ibu dan para pembantu yang memasak,
saya hanya tinggal menunggu masakan tersedia di meja makan
lalu menyantapnya.
Urusan mencuci alat masak dan alat makan pun
tak pernah ada di benak saya,
ngapain sih menyusahkan diri sendiri.
Beli di luar atau menunggu hasil masakan ibu,
jauh lebih mudah daripada,
badan berbau bumbu, dan harus berbasah-basahan untuk
mencuci alat-alat masak.
Lagipula, saya takkan belajar masak hanya demi
mertua atau siapapun,
kalau sampai suatu hari saya memutuskan untuk memasak,
itu karena pilihan pribadi tanpa sedikitpun
dorongan dari orang lain.
Saya pun tak suka pergi ke pasar,
sepanjang jalan bau daging dan ikan mentah yang sangat menyengat,
belum lagi aroma sayur busuk juga yang bercampur baur jadi satu,
jalanannya sempit,
kendaraan bermotor dan pejalan kaki saling mendahului,
sama-sama egois,
tak ada sisi menarik dari sebuah pasar tradisional.
Uhm, seringkali pedagang di tradisional itu
memandang SARA,
kalau kelihatan kulitnya putih, warna bajunya tidak kusam,
pasti dia menawarkan harga barangnya lebih mahal.
Untuk orang-orang yang kulitnya coklat, sawo busuk...
meskipun warna bajunya juga tidak kumal,
pasti orang tersebut dapat harga yang lebih murah,
ditambah lagi bisa berbahasa lokal,
ah pasti dapat bonus 5 butir cabai merah.
Apa harus saya ganti warna kulit agar dapat harga barang
yang sama seperti yang lain?!
Belum lagi saya terheran-heran tentang cara mereka
memperlakukan barang dagangannya,
ada yang jatuh di tanah dan dibiarkan begitu saja,
lalu banyak dikerubungi lalat,
dan pedaganya seakan cuek tak ambil pusing
tentang hal itu,
hhhmm...tapi masih sangat banyak yang lebih memilih
berbelanja disana karena alasan harga.
Kebanyakan wanita memang suka memasak,
mereka mencampur adukan bumbu dan bahan
sesuai dengan selera masing-masing,
tapi apa iya semua wanita harus suka memasak,
seperti halnya...
tidak semua wanita suka warna pink, demikian juga
tidak semua wanita suka memasak.
Apalagi saat masih tinggal di rumah kost,
ibu kost sangat pelit dan suka ngomel kalau
gas cepat habis, atau habis sebelum perkiraannya.
Saya juga tak punya alat-alat masak, jadi kalaupun mau masak
harus meminjam alat dari ibu kost,
yang mana alat-alat masaknya sudah tak layak pakai.
Serba repot,
apa saya bilang...beli diluar jauh lebih praktis dan mudah,
harga, menu, tempat bisa disesuaikan
dengan kondisi hati dan kondisi dompet.
Sampai pada satu kondisi,
saat saya sudah menempati rumah burung dara ini,
ibu mengirimkan beberapa alat masak,
seperti kompor gas, kuali, wajan teflon, dan lain sebagainya.
Biarpun tidak setiap hari saya memasak,
untuk berjaga-jaga saja,
kalau saya ingin masak mie instant atau merebus air
untuk bikin kopi atau green tea.
Saya sempat berpikir kalau hanya untuk mie instant
apa harus sebagus ini alat masaknya,
ah tapi barang sudah terlanjur sampai,
mungkin ibu mau memberi yang terbaik untuk saya.
Tak lama setelah keberadaan kompor tersebut,
saya punya ide untuk memasak,
seperti nasi goreng, spaghetty dan ca jamur,
baru 3 macam itu yang berhasil saya masak,
tanpa memakan korban :)
Untuk membeli bahan-bahan masaknya,
saya memilih supermarket dibanding pasar tradisional,
karena harganya lebih pasti,
semua warna kulit akan dapat harga yang sama
berdasarkan bandrolnya.
Meskipun harganya lebih mahal,
namun saya nyaman berbelanja di supermarket,
tidak becek akibat air hujan atau guyuran air
serta tidak was-was akan dipeluk tiba-tiba
oleh motor atau mobil angkutan umum.
Memang harganya bisa terpaut sampai seribu rupiah,
tapi kenyamanan dan kemudahan yang saya dapatkan
rasanya perbandingan harga bukan masalah utama.
Kalau di supermarket saya juga bisa memilih sampai capek,
terserah saya mau pilih berlama-lama juga tak ada yang marah,
coba kalau di pasar tradisional,
belum-belum pedagangnya sudah pasang wajah nggak suka.
Jadi kesimpulannya,
saya lebih memilih berbelanja di supermarket,
yang bisa tenang memilih, tenang hati juga karena kalau uang cash tidak
mencukupi bisa langsung gesek kartu debet.
Ternyata memasak juga tak seribet yang dulu-dulu
saya bayangkan,
tinggal bagaimana kita belajar dan terbiasa untuk memasak.
Tinggal pilih mau masak apa,
disesuaikan dengan budget yang ada.
Seperti minggu lalu,
saya sedang punya budget yang agak banyak,
saya memilih untuk memasak spaghetty,
bahan-bahannya nggak ribet namun harganya agak mahal.
Yang perlu dibeli hanyalah minyak goreng, saus spaghetty
bisa bolognaise, pestto, pilih sesuai selera.
Kalau yang suka manis, kecut dan berdaging maka
saus bolognaise adalah pilihan yang tepat.
Saya lebih suka saus pesto karena tak mengandung daging,
dan rasanya asin, aromanya khas dedaunan, lezat abis!!
dan telur ayam kampung, dan jangan lupa
spaghetty.
Bawang putih dikupas lalu diiris tipis,
rebus spaghetty sampai matang,
tuang minyak goreng secukupnya di teflon, tunggu sampai panas,
lalu masukkan bawang putih dan tumis sampai harum,
tambahkan telur lalu diorak-arik hingga matang,
setelah itu masukkan juga saus pesto, ditumis hingga harum
yang terakhir masukkan spaghetty yang sudah matang direbus,
aduk sampai rata, panaskan sebentar,
dan siap untuk disajikan.
Mudah bukan?
alat masak yang digunakan juga tak terlalu banyak,
waktu yang dibutuhkan untuk memasak juga
tidak lama.
Dulu, saya selalu berpikir memasak itu buang waktu,
karena saya belum pernah mencobanya,
setelah terjun langsung
ternyata tak seburuk yang diduga.
Proses memasak sebenarnya sangat sederhana,
membeli bahan, meramunya, mengolah dan menyajikannya.
Kelebihan dari memasak sendiri,
antara lain...
Pasti kebersihan dari makanan tersebut lebih terjamin
daripada membelinya diluar,
tentu saja tak ada yang ingin sakit setelah makan masakannya sendiri.
Bisa membuat kreasi apa saja yang diinginkan,
contoh sederhananya membuat nasi goreng,
banyak warung kaki lima hingga restaurant yang menyediakan
menu nasi goreng,
namun seringkali tak sesuai dengan harapan kita,
rasanya nggak enak, harganya mahal, porsinya
terlalu banyak atau terlalu sedikit belum lagi
kalau nasinya lembek, dan terlalu berminyak.
Kalau ingin merasakan nasi goreng yang sesuai dengan kemauan kita
baik dari porsi maupun rasa,
lebih baik memasaknya sendiri.
Bahannya mudah untuk didapatkan, hanya bawang putih, bawang merah,
saus sesuai selera masing-masing,
mau ditambah sawi hijau, bakso ikan, telur ayam kampung, rumput laut,
silahkan pilih sendiri.
Intinya kalau masak sendiri,
kita bakal tahu persis bahan apa saja yang dipakai,
bagaimana cara memasaknya dan mengatur rasanya sesuai
dengan selera kita.
Memasak adalah hal yang jauh dari pikiran saya dulu,
tapi sekarang...
paling tidak seminggu dua kali pasti saya memasak.
Bukan berarti
saya melakukan semua ini karena ingin disayang mertua,
saya memasak,
ya karena saya suka dengan aktivitas ini sekaligus mengembangkan
talenta yang sudah diberikan oleh Tuhan.
Yang masih ragu-ragu untuk mulai memasak,
uhm...rasa itu takkan beranjak sebelum kita sendiri mau memulainya.
Mumpung masih sehat, masih bisa beraktivitas,
cobalah sebanyak mungkin kegiatan yang positif,
dan berguna bagi orang lain,
selamat memasak ;)
Wednesday, March 19, 2014
Tukang ojek langganan
matahari bersinar terang, ditambah suara ayam-ayam saling
berkokok bersahut-sahutan...
seakan mereka sedang bercakap-cakap.
Beberapa barang seperti baju, bantal, guling, kasur,
boneka, dan makanan seperti kerupuk
sedang dihangatkan di bawah terik matahari
oleh para pemiliknya.
Sebuah motor berwarna biru,
berhenti di rumah pertama...tak lama kemudian
seseorang yang duduk di bangku belakang
membayar ongkos pada pengemudi motor.
Tanpa berlama-lama tukang ojek itu segera meninggalkan
bapak yang tangan kanannya memegang walky talky itu.
Lelaki setengah baya itu membunyikan gembok yang masih
tergantung di pagar,
dia berpakaian rapi, serta membawa dua tas plastik
yang kemungkinan besar berisi makanan.
Usianya sekitar 57 tahun, kulitnya gelap, rambutnya sudah mulai
menipis, kantung matanya sangat tebal juga hitam,
namun perawakannya masih tegap dan nampak sehat.
Bapak itu hanya menunggu sekitar 10 detik sebelum
sang pemilik rumah membukakan pagar untuknya.
Wanita itu biasa dipanggil ibu,
oleh para tetangganya.
Diusia 52 tahun, tubuhnya masih bugar,
parasnya cantik, kulitnya terawat,
caranya berpakaian juga modis,
meskipun sedikit keriput di bawah matanya,
dan sekitar tulang pipi.
Ibu cantik hanya tinggal sendirian di rumah,
3 anaknya memilih tinggal di rumah yang berbeda.
Rumahnya kecil, namun tertata rapi,
penuh dengan barang-barang kesukaannya seperti
baju, piring dan gelas cantik, juga beragam toples untuk kue kering.
Halaman depannya penuh dengan tumbuh-tumbuhan,
dan bangku yang sengaja dicat warna-warni
mirip dengan bangku yang ada di taman kanak-kanak.
Ibu suka membersihkan dan merapikan rumah,
rutinitasnya sepulang kerja adalah
menyapu, mengepel, menyiram tanaman,
tak heran rumahnya selalu nampak rapi,
lantainya juga bersih dan wangi.
Meskipun berada di satu kota kecil seperti Salatiga,
ketiga anaknya jarang berkunjung,
mereka hanya datang sesekali,
kadang menginap tapi hanya untuk semalam.
Suasana di rumah itu cenderung tenang, sepi,
tak ada celotehan anak kecil dan bau masakan
yang berasal dari dapur seperti rumah-rumah para tetangganya.
Ibu itu rajin beribadah secara pribadi maupun berkelompok,
dia cukup aktif bergabung di beberapa kegiatan gereja,
di rumahnya pun ada satu meja untuk menata ornamen-ornamen
keyakinannya.
Cara bicaranya santun, nadanya rendah, tata bahasanya juga bagus,
kalimat per kalimat yang diucapkannya
sering diselingi kalimat motivasi yang kerap dihubungkannya
dengan religi.
Ibu juga terkenal ramah dan murah hati,
sering memberi makanan untuk tetangganya,
makanan berat sampai camilan,
ditambah lagi wajah ibu selalu tersenyum
bila ada orang yang lewat di depan rumahnya.
Tatanan rumahnya sangat rapi,
dua kasur yang ada di kamar mungilnya ditata sedemikian rupa,
warna sprei dan selimut senada,
bantal, guling yang diletakkan pada posisi sejajar,
meja riasnya juga sangat rapi,
tak ada sedikitpun debu menempel disana.
Kamar mandinya juga enak untuk dilihat,
warna bak dengan gayung yang senada,
dilengkapi dengan vas kecil berisi bunga-bunga hidup.
Rumahnya tak terlalu besar,
satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur,
namun dengan kepandaian ibu untuk menatanya,
rumah tersebut mungkin saja nyaman untuk ditinggali.
Rupanya ibu itu adalah seorang guru,
di sebuah SLTP negeri.
Sehari-harinya dia mengajar dari jam 8 sampai jam 2 sore,
kalaupun harus overtime,
kemungkinan besar dia tiba di rumah sekitar jam 5 sore.
Setelah itu,
sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah,
kadang-kadang membaca koran di teras,
sambil menikmati secangkir minuman hangat.
Namun sayang,
di rumah yang sudah ditata dengan rapi tersebut,
ibu sering merasa tidak nyaman.
Tidak nyaman dalam artian,
sering tiba-tiba terbangun tengah malam,
atau seringkali jam 3 subuh sudah kaget terbangun
dari tidurnya yang tak begitu nyenyak.
Dia sering berdoa tengah malam,
di teras depan,
sendirian hanya ditemani angin malam.
Tatapan matanya sering tidak fokus,
setiap kali diajak bicara, bola matanya
berlari-lari, tak bisa diam...
Ibu sering curiga pada orang lain,
pada tetangganya, apa kira-kira yang dibicarakan,
apa yang dibahas oleh para tetangganya
tentang dirinya.
Sering terlontar pertanyaan seperti,
apa yang mereka bicarakan?
apa pendapat mereka tentang ibu?
seakan-akan pertanyaan itu menggambarkan
isi hati dan pikiran ibu.
Bahkan tak segan-segan ibu bertanya pada satu atau dua tetangganya
untuk mengetahui,
apa saja yang orang lain bicarakan mengenai dirinya dan kehidupannya.
Memang pada kenyataannya,
kehidupan ibu agak mengundang kontroversi
bagi orang-orang di sekitarnya.
Konon katanya ibu sudah tidak lagi bersama
suami, a.k.a ayah dari ketiga anaknya itu.
Kabar lain mengatakan,
bahwa mereka sudah lama berpisah, dan ketiga anaknya
memilih untuk ikut ayah mereka,
karena ibu terlalu cerewet dan pelit.
Cerewet karena hal-hal kecil pun dipermasalahkan
oleh ibu,
seperti halaman rumah yang sedikit kotor lalu,
tatanan bantal sofa di ruang tamu yang tak sesuai keinginannya,
lalu peletakkan piring dan gelas yang kurang rapi menurutnya.
Dari hal-hal sepele tersebut,
anak-anaknya memilih untuk menjauh, dan hanya sesekali
mengunjunginya sekedar bersilaturahmi atau makan bersama.
Ibu sering merasa rumput tetangga lebih hijau,
contohnya...
para ibu-ibu di perumahan tempat dia tinggal ada beberapa
yang bisa menyetir mobil,
dengan semangat penuh, ibu pun ingin membeli mobil
second hand agar dia bisa mengendarai mobil juga
seperti ibu-ibu yang lain.
Walaupun jelas-jelas tak ada lahan untuk garasi ataupun
untuk memarkir mobil,
perumahan itu sempit, dua mobil takkan bisa lewat bersamaan,
ditambah lagi jalanannya yang bergelombang,
polisi tidur yang sudah rusak tak diperbaiki juga
bebatuan yang tersebar kemana-mana.
Sepertinya dia kurang puas dengan apa yang dimilikinya,
hingga seringkali sibuk membandingkan dirinya dengan orang lain,
membandingkan apa yang dia punya dengan apa yang dipunyai
orang lain,
belum mengertikah dia...bahwa membandingkan adalah
aktivitas yang melelahkan badan dan pikiran.
Ibu kerap kali berprasangka,
berprasangka pada lingkungan dan penghuninya,
prasangka itu kadang dia ucapkan,
kadang dia bawa prasangkanya dalam jam-jam doanya.
Ibu berpikir,
kemungkinan besar para tetangganya tahu tentang sesuatu
yang penting tentabg dirinya,
ibu merasa seolah-olah
dia diamati, disorot, dibicarakan.
Dia berpikir,
kehidupannya menjadi sasaran empuk untuk dibahas
oleh orang lain,
dan akan lebih baiknya lagi
kalau dia bisa mengetahui apa-apa saja yang
diperguncingkan mengenai dirinya.
Siapa bapak itu?
mengapa sering datang berkunjung kalau bukan suaminya,
mengapa ibu kerap kali terlihat memakai baju seksi
bila sedang bersamanya?
ada apa dibalik kunjungan bapak?
Para tetangganya mungkin saja
sudah menebak-nebak, bertanya-tanya,
namun mereka juga bertahan dengan prasangkanya
masing-masing.
Ada empat kursi kayu di teras itu,
juga beberapa tumbuhan hiasan di sekitarnya.
Tumbuhan hiasan itu ada yang berwarna orange, ada yang berwarna
hijau,
ibu menata teras kecil itu sedemikian rupa agar tampak menarik.
Persis di depannya ada sebuah meja kayu,
yang diatasnya ada toples kecil berisi permen,
juga beberapa tabloid khusus wanita.
Sayup-sayup terdengar suara berat dari bapak,
dan bau asap rokok yang mengelilinginya.
Ah iya bapak,
bapak yang tak bisa dipastikan kapan akan datang,
kapan mau pulang.
Pernah datang jam 9 pagi,
sampai jam 5 sore baru pulang.
Pernah juga jam 2 siang baru datang,
sampai jam 7 malam lalu akhirnya pulang,
setiap kali pulang, tangan bapak melambai pada ibu..
Tukang ojek yang mengantar dan menjemputnya selalu sama,
memakai jaket kulit yang sudah lusuh,
berwarna hitam,
senada dengan warna helm yang dipakainya.
Setiap kali datang menjemput,
tukang ojek itu berhenti di depan pagar ibu,
sembari sibuk mengetik sms, entah akan dikirim untuk siapa...
Terkadang tukang ojek itu harus menunggu lama,
sampai 20 menit pun pernah,
namun keesokan harinya
bapak tetap datang dengan tukang ojek yang sama,
sungguh setia mengantar dan menunggu langganannya.
Sepertinya tukang ojek itu sudah dipercaya oleh bapak,
untuk mengantar dan menjemputnya.
Entah kenapa,
bapak tak pernah mengendarai motor atau mobil
untuk berkunjung ke rumah ibu.
Biarlah itu hanya mereka bertiga yang
tahu persis jawabannya.
Bapak cenderung pemalu,
tidak seperti ibu yang sangat ramah pada para tetangganya,
bapak pendiam, dan terburu-buru masuk
apabila ada orang yang melihat kehadirannya.
Sesekali bapak pernah menyapa, dan berbincang,
namun malah terkesan berbasa-basi yang mudah
dimengerti.
Saat salah satu anak ibu datang berkunjung dan menginap,
bapak tidak datang sesering biasanya,
kalaupun datang, hanya ngobrol di teras saja,
tidak masuk ke dalam rumah.
Pernah di hari sabtu sore,
saat salah satu sedang berada di rumah,
setelah mandi ibu memakai baju baru dan berdandan cantik,
lipstiknya merah menyala,
belahan dadanya agak terlihat dari balik pakaiannya,
ternyata...
tak lama kemudian,
tukang ojek yang membawa penumpangnya berhenti
persis di depan rumah.
Ibu rupanya ingin menyambut tamunya dengan istimewa...
Beberapa kali,
saat mengantar kepergian bapakndari teras rumahnya,
ibu terlihat memakai kimono mandi transparan,
warna tepiannya merah muda,
warna tengahnya putih bermotif bunga mawar,
tampaknya kimono itu sudah usang dimakan waktu,
warnanya memudar, dan semakin menampakkan
warna kulit ibu.
Ibu mengantarkan kepergian bapak,
dengan penuh kasih memandangnya sampai
tukang ojek tak lagi nampak dari pandangannya.
Sedangkan menurut pengakuan dari salah satu anaknya,
bapak itu bukan ayahnya...
Dari ucapannya,
anaknya juga tak terlalu suka, tak terlalu mau tahu
identitas bapak yang sebenarnya.
Akhir-akhir ini bapak tetap sering datang,
dengan waktu yang tak bisa dipastikan,
kalau dia belum sempat datang,
maka bapak akan menelfon ibu untuk sekedar
bertanya kabar dan keadaan.
Entah apa yang membuat bapak tidak pindah,
tinggal bersama dengan ibu..
hanya mereka bertiga yang tahu..
oh sungguh..
hanya bapak, ibu, dan tukang ojek yang tahu benar
apa yang sedang mereka lakukan.
Semoga memang tukang ojek itu
bisa menjaga rahasia ini dengan nyawanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)