Tuesday, January 28, 2014

Cerita tentang cita-cita



Dulu,
belum ada facebook, jadi kalau ingin tahu lebih lagi
tentang aktivitas, makanan dan minuman kesukaan,
dan lain sebagainya....
buku diary lah tempat menuangkan semuanya.
Sebuah buku special, kenapa saya sebut special..
karena bukunya beda dengan buku pelajaran,
lebih berwarna, dan bahan kertasnya lebih bagus.
Hampir semua anak perempuan memiliki satu atau lebih diary,
untuk diisi temannya secara bergiliran.
Ada juga sedikit anak pria yang punya diary,
dengan fungsi yang sama juga.
Sebenarnya konsep itu bagus meskipun sudah dirasa kuno
atau ketinggalan jaman,
tak perlu online dan bisa diisi dengan format apa saja,
sesuai dengan selera pemiliknya.
Saya juga termasuk penggemar buku diary,
sudah pernah diisi oleh teman-teman juga,
namun sekarang sudah hilang bersama buku-buku masa kecil lainnya.
Di buku diary,
biasanya kita isi dengan nama lengkap, nick name a.k.a nama
panggilan, warna, makanan, minuman favorit,
cita-cita, kata mutiara.
Bagi saya pribadi yang cenderung sulit dijawab adalah,
cita-cita dan kata mutiara.
Saya tak pernah merasa kesulitan
mengisi pertanyaan lain selain kedua hal itu.
Pertama kali dapat giliran mengisi diary salah satu teman,
saya bertanya pada ibu..
"mam...cita-cita itu apa?"
"cita-cita itu ya kamu pingin jadi apa"
begitu jawab ibu saya.
Hhmmm pingin jadi apa ya enaknya?
saya membolak-balik halaman sebelumnya,
sebagian besar teman cewek menuliskan
cita-citanya adalah dokter, that's it!
Saya pikir menjadi dokter bukanlah hal buruk,
yang penting kolom cita-cita tidak kosong.
Dan waktu itu saya pikir sekolah dokter cuma satu bagian,
dokter umum dan selanjutnya bisa pilih sendiri tanpa
sekolah lagi...
mau memilih jadi dokter anak, dokter hewan, dokter gigi,
pokoknya dokter.
Entahlah kelak mau jadi dokter apa,
pikiran saya nggak nyampai di cita-cita...
besok ada yang kebih gawat, yaitu...
pelajaran matematika!





Waktu SD dulu saya sering iseng mengganti cita-cita,
kadang dokter...kadang pengusaha.
Padahal saya juga tak tahu persis,
pengusaha itu apa, ngapain aja.
Bagi saya pengusaha itu,
sehari-hari kerja memakai pakaian resmi,
kerjanya di kantor yang ber-AC, dan kegiatan utamanya
adalah meeting.
Sepertinya,
bercita-cita sebagai pengusaha juga bukan hal buruk deh,
bolehlah saya coba.
Kegiatan tulis-menulis diary secara bergiliran pun,
berhenti dengan sendirinya....
saat menginjak SLTP tak perlu lagi
repot memikirkan tentang cita-cita.
Masa-masa SLTP,
saya habiskan dengan les, les, dan les.
Les fisika, bahasa inggris, matematika, computer,
yang mana dari hari senin sampai sabtu sudah ada
jadwalnya masing-masing, bikin pusing :(
Tentu saja, saya tak punya inisiatif untuk ikut
les pelajaran,
yang di sekolah sudah bikin mati bosan, ngapain
harus ditambah lagi porsinya?!
Namun, saya tak bisa menyuarakan pilihan,
ibu sudah mengatur semuanya,
hari, jam, tempat dan gurunya,
saya tinggal mengikutinya.
Kalau masa SLTP,
saya lebih pingin punya pacar daripada
jadi juara kelas.
Cupu ah kalau pingin jadi anak pintar,
lebih keren punya pacar deh!
Mungkin, karena beberapa teman saya sudah ada yang punya pacar,
dan mereka sering bercerita...
betapa enaknya punya pacar...
Saya masih ingat,
betapa besarnya harapan saya untuk punya pacar,
agar seperti teman cewek yang lain.
Maka punya pacar adalah cita-cita saya waktu SLTP.
Lanjut ke SMU,
apa ya cita-cita saya?
Hhhmmmm...bahkan yang pernah
saya tuliskan di dalam diary teman-teman,
untuk jadi dokter dan pengusaha pun sudah terlupakan.
Mungkin trend mengisi diary yang sudah punah,
jadi pikiran tentang cita-cita juga ikut musnah.
Masa SMU,
saya lewati dengan berbagai macam kenakalan
yang sudah saya tuliskan di blog sebelumnya.
Yang jelas, trend ikut les pelajaran belum usai...
saya masih saja diikutkan
les matematika, fisika, bahasa inggris, computer,
melelahkan, membosankan.
Yang jelas saya tak pernah mimpi untuk jadi
pelajar teladan atau menyabet ranking kelas.
Setiap hari berangkat ke sekolah,
tak ada semangat untuk belajar,
yang ada semangat untuk berkumpul
bersama teman-teman dan buat kegaduhan.
Nah waktu SMU ini saya sudah punya pacar,
dan merasa sangat keren,
bisa dibilang saya hanya haus akan pengakuan, dan
ikut-ikutan teman yang lain.
Biarpun nilai raport saya nggak jelek,
dan jelas saya suka hal-hal yang berbau bahasa,
juga ilmu sosial,
namun belum ada ide kira-kira apa cita-cita saya.
Intinya saya pemalas,
malas baca buku, malas sekolah,
malas ikut les,
ah anehnya para guru les saya kok nggak pernah
malas mengajar.
Sebel sendiri rasanya kalau ketemu guru les,
kok niat amat sih mengajar hampir tiap sore,
kan seharian sudah kerja, masih ditambah sore sampai malam.
Lama-kelamaan,
saya nggak suka dengan kehadiran guru les,
dan beranggapan bahwa mereka mengusik
kegiatan bersenang-senang.
Dalam hati
saya berjanji nggak akan mau jadi guru les,
repot harus mondar-mandir dari rumah ke rumah,
belum lagi kalau rumah murid ada anjingnya,
wow seram!
Menurut saya,
honor dan resikonya tetap tidak sebanding.






Melangkah lagi di era perkuliahan,
tetap saja belum ada keputusan,
tentang apakah cita-cita saya.
Kuliah ya saya jalani seperti biasa,
dan jauh lebih menyenangkan.
Karena jauh dari orang tua yang memaksa
untuk ikut les tambahan,
bebas mau pergi dengan siapa dan sampai jam berapa.
Kebebasan tersebut saya salah gunakan,
dan berakibat kurang bagus untuk diri sendiri.
Gaya hidup saya menjadi tidak sehat,
makan sembarangan, sering begadang tanpa sebab,
nilai kuliah amburadul,
seamburadul keuangan saya.
Dan kebiasaan malas belum saya tinggalkan,
malas kuliah, malas belajar, malas berusaha
dapat nilai bagus, malas dan malas.
Namun masih belum malas untuk hidup,
saya pikir hidup hanya sekali,
dan harus digunakan untuk bersenang-senang,
lupakan kata belajarbdan bekerja.
Hampir setiap hari yang ada di pikiran saya
adalah...
hari ini mau ngapain dengan teman, pergi kemana,
jalan-jalan kemana,
masa bodoh dengan kuliah!
Suatu hari lah saya pasti akan berubah,
suatu hari kan nggak sekarang,
hari esok...masih ada esoknya lagi,
dan akan selalu ada hari esok.
Janji pada diri sendiri pun selalu saya ingkari,
hari esok tinggalah kenangan,
bila saya tak memulai.
Saya mulai dari hal-hal kecil,
stop begadang, nggak lagi makan sembarangan,
rajin baca buku,
semangat dalam menjalankan aktivitas,
dan memperbanyak ibadah.
Hasilnya???
Saya belum terkenal seperti artis, atau
penyanyi ibukota.
Tapi saya tahu,
bahwa setiap manusia dilahirkan untuk
menjadi berguna bagi sesamanya.






Dengan tingkat kemalasan yang parah seperti saya,
masih untung diberi kesempatan hidup lebih lama
untuk memperbaiki diri.
Bagaimana tidak...
manusia kan ciptaan Tuhan yang paling mulia,
diberi akal budi luar biasa,
itulah yang membedakannya dengan hewan dan tumbuhan.
Kalau saya tak segera sadar,
dan kembali ke jalan yang benar,
waktu juga yang akan mengejar dan menghentikan
harapan kosong saya.
Berawal diajak oleh seorang teman,
saya menjadi tukang catat a.k.a sekretaris
di sebuah radio komunitas.
Seiring berjalannya waktu,
saya pun ikut tes suara dan latihan kepenyiaraan,
maka jadilah seorang penyiar radio.
Lagi-lagi seorang teman yang lain,
menawari saya untuk memberi pelajaran tambahan
yang pada akhirnya masih saya jalani
sampai sekarang.
Padahal dulu,
saya benci setengah mati ama guru les,
eh sekarang saya jadi guru les.
Menjilat ludah sendiri,
itulah kalimat yang tepat.
Sebelumnya saya tak pernah mengira,
akan jadi penyiar radio dan guru les private,
hanya dengan satu hal...
berhenti jadi pemalas!
Apa saja aktivitas yang kita jalani,
sebaiknya dilakukan dengan segenap hati.
Sehingga apa yang kita alami,
yang kita nikmati juga nggak setengah-setengah.
Asalkan perjuangan kita juga maksimal,
yakin bahwa tak ada yang sia-sia.
Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan
pengakuan keren, cantik, seksi, kaya, terkenal,
punya ini itu.
Bunda Teresa bukan orang kaya,
tapi hampir semua orang tahu siapa dan bagimana
kiprah beliau.
Hal yang dilakukan juga sangat sederhana,
menolong orang lain dengan segenap hati,
memberi makan, mengobati luka,
menyisir rambut.
Banyak pejabat, guru, pengusaha, dokter,
penyiar radio,
profesinya sama, tapi hasil kerjanya beda.
Tentu,
karena hampir bisa dipastikan yang dikerjakan
dengan segenap hati akan berbeda.
Berhenti untuk mengatakan,
suatu hari nanti saya akan....
akan ini, akan itu,
akan bla bla bla...
Ganti dengan sekarang saya akan....
Kalimat itu juga yang sangat membantu saya
untuk tetap ingat,
bahwa setiap manusia diciptakan
pasti karena satu tujuan mulia.
Cita-cita saya yang tak pernah dituliskan
di buku diary teman..
penyiar radio, dan guru les private
ternyata baru saya sadari
di usia 25 tahun keatas.
Sekian cerita tentang cita-cita ala saya,
mungkin akan ada cerita selanjutnya... ;)
Berhenti jadi pemalas,
dan kita akan menemukan siapa diri kita yang sebenarnya.
Ganbatte!






No comments:

Post a Comment